Guru
Bandung Mawardi ; Esais
|
KORAN
TEMPO, 25 November 2014
Di
Indonesia, guru mendapat kehormatan melalui peringatan Hari Guru, mengacu
pada sejarah pendirian Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), 25 November
1945. Kita tentu tak bakal cuma bermula dari PGRI saat ingin mengerti secara
utuh kesejarahan dan peran guru. Sekolah pendidikan guru pertama didirikan di
Solo, pada 1852. Pendirian sekolah itu dimaksudkan agar tersedia guru-guru
untuk mengajar di sekolah-sekolah desa. Pada 1907, di Hindia-Belanda tercatat
ada 122 sekolah desa (Koentjaraningrat,
1984). Guru sangat diperlukan untuk mendidik dan mengajar. Pendirian
sekolah dan kemunculan profesi guru dipengaruhi oleh kebijakan kolonial saat
berpikiran memberi pendidikan bagi pribumi, sejak 1849.
Guru
tercatat dalam Serat Jayengbaya gubahan Ranggawarsita sebagai jenis profesi
idaman. Teks sastra pada akhir abad XIX itu mengandung peringatan bahwa
pekerjaan sebagai guru memang terhormat, tapi mengandung aib dan petaka jika
tak dijalankan sesuai dengan amanah. Sejak awal abad XX, guru di Jawa adalah
sosok mulia. Profesi guru mengantar orang masuk kelas priayi. Guru adalah
teladan atas kehidupan beradab pada zaman kemadjoean. Obsesi menjadi priayi
melalui jalur keprofesian guru berlanjut sampai masa Orde Lama dan Orde Baru.
Kita bisa simak ikhtiar guru-guru menapaki kelas priayi dalam novel moncer
berjudul Para Priyayi (1992)
garapan Umar Kayam.
Guru-guru
pada masa awal di Hindia-Belanda memiliki tugas berat dalam mengajar dan
mendidik. Mereka dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran bercorak Eropa. Mereka
mesti menempuh pendidikan guru sesuai dengan kurikulum kolonial dan
bacaan-bacaan bertema keguruan. Buku bisa dianggap sebagai pedoman menjadi
guru. Pada 1915, terbit buku berjudul Pemimpin
Goeroe karangan J. Kats, terbitan G. Kolff & Co, Betawi. Tebal buku
itu 112 halaman, berisi uraian-uraian menjalankan pengajaran, penjagaan diri,
dan pendidikan murid. Kats menjelaskan bahwa goeroe oetama adalah guru yang sadar akan pemeliharaan diri dan
berperan sebagai pendidik bagi jiwa dan hati murid-murid. Buku ini termasuk
penting dalam daftar buku bacaan bagi guru-guru di Hindia-Belanda.
Urusan
mendidik dan mengajar mulai mendapat "tambahan" melalui pendirian
Perguruan Taman Siswa (1922). Ki Hajar Dewantara menghendaki guru adalah
teladan dan penggerak kebangsaan. Guru juga penentu peradaban bangsa agar tak
terlena dalam imperatif-imperatif kolonial. Kebijakan pendidikan guru di Taman
Siswa berbeda dengan tuntutan pemerintah kolonial dan Orde Lama. Ki Hajar
menganjurkan, "Tiap-tiap orang
jang tjukup pengetahuan dan kepandaian hendaknja mendjadi guru."
Kecakapan diutamakan ketimbang ijazah. Usul ini menggunakan dalih jutaan
murid di Indonesia pada masa 1950-an memerlukan guru. Pemikiran Ki Hajar
berseberangan dengan pemerintah dan PGRI. Perkembangan sekolah dan idealisme
pendidikan memerlukan guru-guru dalam sistem pendidikan resmi.
Tahun demi tahun berlalu, ambisi orang-orang menjadi guru bisa
diwujudkan dengan mengikuti pendidikan di SPG, IKIP, atau fakultas pendidikan
dan ilmu pendidikan di universitas. Guru-guru adalah kaum berijazah. Mereka
bertugas mendidik dan mengajar demi pembangunan. Tugas itu tak semua bisa
dipenuhi berbarengan dilema politik, nafkah, dan nasionalisme. Kini,
kesejarahan guru telah bergerak jauh. Kita selalu menginginkan goeroe oetama
adalah pengisah kehormatan Indonesia melalui kerja, kerja, dan kerja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar