Menghindari
Penaklukan Kultural
Agus Maladi Irianto ; Antropolog,
Dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Diponegoro
|
SUARA
MERDEKA, 08 November 2014
MEMBACA Indonesia hari ini adalah gambaran tentang masyarakat
konsumen yang tumbuh beriringan dengan sejarah globalisasi ekonomi dan
transformasi kapitalisme konsumsi. Sejak hiruk-pikuk orang memadati shopping
mall, hingga potret hutan kota yang dipenuhi baliho iklan parfum, telepon
genggam, apartemen, makanan cepat saji, dan suplemen obat kuat.
Membaca Indonesia hari ini adalah gambaran tentang generasi tua
yang berusaha melakukan konservasi budaya, dengan generasi kontemporer yang
berjuang mengikuti pengetahuan dan peradaban bangsa yang terus-menerus
berubah. Membaca Indonesia hari ini adalah gambaran kebudayaan yang tidak
statis dan tidak mapan, melainkan berubah dan bergerak.
Sejalan dengan itulah, menjadi menarik ketika menyimak susunan
kabinet Jokowi-JK, yang dideklarasikan beberapa hari lalu. Dalam struktur
tersebut, kata ”kebudayaan” menjadi salah satu diskursus yang bakal dijadikan
kebijakan pemeritah. Terlepas siapa yang jadi menterinya, setidak-tidaknya
sudah ada dua kementerian yang memasang kata ”kebudayaan”, yakni Kementerian
Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah (dengan singkatan tetap
Kemdikbud) dan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan
Kebudayaan.
Dua kementerian tersebut seolah-oleh menegaskan bahwa eksistensi
bidang kebudayaan sebenarnya tidak kalah penting dibanding bidang lain
seperti politik, ekonomi, hukum, tekonologi, pertanian, dan sebagainya.
Adanya dua kementerian yang menggunakan kata ”kebudayaan” itu, berarti
mengindikasikan bahwa kebudayaan merupakan isyu penting yang patut mendapat
perhatian dalam konstelasi kebijakan pemerintah ke depan.
Niat negara menangani persoalan kebudayaan melalui struktur
kabinet tersebut di satu sisi memberi angin segar, namun di sisi lain tidak
menutup kemungkinan melahirkan kekhawatiran. Kekhawatiran akan mengemuka jika
nilai strategis kebudayaan dijadikan alat negara untuk mengendalikan ruang
kreatif masyarakat.
Kebijakan pemerintahan Soeharto yang cenderung mengedepankan
struktur (politik) justru telah mengalahkan kultur (masyarakat). Masih lekat
dalam ingatan kita tentang politik kebudayaan Orde Baru, ketika kebudayaan
justru dimanipulasi untuk kepentingan status quo penguasa.
Atas nama menangani
kebudayaan, pemerintah pada
waktu itu justru telah mengendalikan ruang kreatif warga negaranya. Dengan
menempatkan kebudayaan pada struktur pemerintahan, Soeharto melakukan
penaklukan daya kultural masyarakat. Jika dalam struktur pemerintahan
Jokowi-JK kali ini telah menempatkan kebudayaan.menjadi bagian kebijakannya,
maka tidak berlebihan jika kita pun menjadi khawatir.
Namun saya berusaha tidak larut dalam kekhawatiran
berkepanjangan. Setidak-tidaknya, saya masih ingat janji Jokowi ketika
kampanye bahwa dia akan membawa bangsa ini berkepribadian secara kultural.
Dengan berpegang konsep Trisakti Bung Karno, saya justru sangat berharap
pemerintahan Jokowi-JK menempatkan diskursus kebudayaan sebagai payung
sejumlah kebijakannya.
Di era kontemporer saat ini, tanggung jawab negara menangani
diskursus kebudayaan dapat dilihat sebagai kebijakan pembangunan harkat dan
martabat manusia seutuhnya dalam merespons perkembangan peradaban bangsa.
Dari sinilah, diharapkan lahir strategi kebudayaan. Strategi itu merupakan
gerakan menuju kesadaran, kemartabatan, dan kepribadian kultural bangsa.
Pemikiran Pascamodernitas
Perkembangan fenomena
sosial saat ini, pada dasarnya telah melampaui pemikiran modernitas —yang
ditandai dengan munculnya industri barang dan jasa— menuju pemikiran
pascamodernitas yang cenderung lebih diorganisasikan konsumsi budaya. Untuk
itulah, sesungguhnya permasalahan pokok tentang negara menangani kebudayaan tidak semata-mata bertolak dari
ketakutan menghadapi globalisasi.
Gambaran Indonesia hari ini yang lebih ditandai oleh
perkembangan teknologi informasi dan diorganisasi konsumsi budaya, maka
kehadiran negara dalam menangani kebudayaan janganlah berhenti sekadar
melakukan konservasi semata. Saya berkeyakinan bahwa konservasi tanpa ada
gerakan revitalisasi sama saja mendorong kebudayaan tersebut ke ambang kehancuran.
Bertolak dari sejumlah gambaran tersebut, dengan adanya dua
kementerian kebudayaan dalam struktur pemerintahan Jokowi-JK, saya justru
sangat berharap kepribadian kultural bangsa ini jadi kekuatan yang harus
selalu dinegosiasikan. Sebaliknya, saya tidak berharap dengan ditempatkannya
kultur (masyarakat) menjadi bagian dari struktur (politik) membuahkan
tindakan penaklukan kultural.
Saya juga tidak berharap dua kementerian yang menggunakan kata ”kebudayaan” itu, akan dijadikan
sarana manipulasi kepentingan negara demi pengendalian kreativitas warga
negara. Semoga dengan dimasukkan kultur dalam struktur justru akan mampu
menegaskan tentang strategi kebudayaan menuju kesadaran, kemartabatan, dan
kepribadian kultural bangsa Indonesia ini ke depan. ●
|
BalasHapushttp://jaeabidinmerahhitam.blogspot.com