Jaksa Agung
dan Jaminan Penegakan Hukum
Frans H Winarta ; Ketua Umum Peradin dan Dosen Fakultas Hukum
Universitas Pelita Harapan
|
KORAN
SINDO, 26 November 2014
Pengumuman
nama menteri-menteri di Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo (Jokowi) bukan
merupakan akhir dari tugas Presiden Jokowi dalam memilih the right man in the right place untuk mengurus negara ini.
Beberapa
waktu lalu tidak pelak lagi bahwa pemilihan jaksa agung RI merupakan dilema
tersendiri bagi Presiden Jokowi karena memakan waktu yang cukup lama dalam
pemilihan tersebut. Namun, pengangkatan M Prasetyo sebagai jaksa agung RI
pada 20 November 2014 tetap saja menuai banyak kritikan dari berbagai pihak.
Ada
kekhawatiran bahwa revolusi mental yang dicanangkan Presiden Jokowi tidak
akan berjalan dengan baik karena jaksa agung RI terpilih tersebut merupakan
orang dalam yang dianggap konservatif dan di-takutkan tidak akan reformis
membersihkan diri ke dalam internal kejaksaan. Padahal, integritas dan
profesionalisme yang dituntut dari jabatan jaksa agung RI sungguh diharapkan
oleh masyarakat Indonesia.
Apalagi
saat ini kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap penegak hukum khususnya
Kejaksaan RI sangatlah rendah, serta agenda pemberantasan korupsi dan
pengembalian aset (asset recovery ) selama ini lamban dengan berbagai alasan
yang menghambat. Kemudian banyak pula deretan putusan berkekuatan hukum tetap
(inkracht ) yang antre dan tidak segera dieksekusi karena ada berbagai
pertimbangan politis dan intervensi kekuasaan.
Selain itu juga mengenai persoalan pelanggaran hak asasi manusia masa
lalu (past human rights abuses) yang mandek karena tidak ada kemauan keras
menyelesaikan itu. Dalam penegakan hukum, tentu saja selain keadilan yang
harus diutamakan, harus ada juga penghormatan hak asasi manusia terhadap tiap
individu sesuai perlindungan yang diberikan konstitusi (UUD 1945) dan undang-undang.
Berkaca pada hal tersebut, apakah figur
jaksa agung RI terpilih saat ini merupakan figur yang dapat memberikan
jaminan kepastian hukum bagi para korban serta keluarga korban yang
ditinggalkan. Saat ini enam puluh sembilan tahun setelah kemerdekaan
Indonesia, pelanggaran hak asasi manusia seperti kejahatan terhadap
kemanusiaan, pembasmian etnis, terorisme, dan pelanggaran hak asasi manusia
pada umumnya seperti penembak misterius, peristiwa Trisakti, peristiwa
Lampung, peristiwa Tanjung Priok, peristiwa Semanggi, pembantaian Santa Cruz,
pelanggaran hak asasi di Aceh dan Papua, kasus Marsinah, dan kasus Munir,
masih menyisakan duka yang mendalam bagi keluarga yang ditinggalkan.
Karena itu,
pemikiran tentang pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (Commission
of Truth and Reconciliation) pada zaman pemerintahan Abdurrahman Wahid perlu
dipikirkan dan dikaji ulang untuk mengatasi sejarah hitam pelanggaran hak
asasi manusia masa lalu (past human rights abuses ).
Kita tidak
dapat hidup terus-menerus dengan sejarah masa lalu c.q. pelanggaran hak asasi
manusia yang serius dan masif (gross violation of human rights). Untuk tidak
terus-menerus dibayangi masa lalu, perlu dimunculkan lagi kemungkinan
membentuk komisi tersebut.
Jika Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi pada akhirnya terbentuk, diharapkan pelanggaran
hak asasi manusia masa lalu tersebut dapat diselesaikan dengan tuntas.
Presiden dapat memilih alternatif berupa pemberian maaf secara terbuka kepada
pihak yang terlibat, permohonan maaf di hadapan publik oleh pelaku terutama
mantan pimpinan lembaga penegak hukum atau keamanan yang merupakan penggagas
(actor intelectualis), atau rehabilitasi dan ganti rugi kepada keluarga para
korban.
Intinya,
penyelesaian yang manusiawi dan pemberian maaf dapat dijadikan langkah
alternatif dalam mengupayakan gagasan pembentukan komisi tersebut. Hal serupa
juga perlu diterapkan dalam persoalan korupsi yang pada dekade terakhir ini
dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang serius, dengan ada
gagasan PBB untuk memulai gagasan UNCAC (United Nations Convention Against
Corruptions).
Korupsi
dianggap menciptakan kemiskinan, kebodohan, kriminalitas, dan pemerintahan
yang tidak efisien yang bertentangan dengan konsep good governance
(pemerintahan yang efisien). Kejahatan korupsi biasanya dekat dengan praktik
pencucian uang (money laundering). Karena itu, pemerintahan Jokowi-JK harus
membuat kebijakan bagaimana mengatasi korupsi yang semakin merajalela.
Apalagi,
tidak semua korupsi murni dilakukan oleh keinginan pelakunya, tidak sedikit
korupsi justru diakibatkan oleh sistem yang sudah terbangun dengan mapannya
sehingga siapa pun yang memangku kekuasaan tersebut, mau tidak mau, akan
terseret dalam korupsi. Penegakan hukum harus segera dimulai dengan kekuatan
penuh. Jaksa agung adalah penegak hukum. Walau berada di dalam kabinet, dalam
menegakkan hukum dia harus tegas dan independen.
Dia tidak
boleh didikte oleh atasannya. Karena jaksa agung sudah terpilih, fair jika
masyarakat memberikan kesempatan kepada yang bersangkutan untuk menjalankan
tugas dan kewajibannya. Namun, jika dalam kurun waktu 100 hari tidak ada
petunjuk gebrakan berarti dan signifikan dalam penegakan hukum, jaksa agung
RI harus diganti. Begitu pula dengan menteri-menteri yang lain.
Penegakan
hukum salah satu pekerjaan rumah besar pemerintahan sekarang. Pembangunan
ekonomi tanpa penegakan hukum yang dikawal oleh kepastian hukum akan menjadi
gagal. Rule of law adalah conditio sine qua non Indonesia dalam pembangunan
ke depan.
Nelson
Mandela, seorang pejuang hak asasi manusia, sekali waktu pernah berkata: ” A
good head and a good heart are always a formidable combination.” Selain
memiliki rekam jejak yang bersih, jaksa agung RI yang baru nanti juga
memiliki integritas dan rasa kemanusiaan yang tinggi. Dia harus tegas
mengingat banyak putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap,
tetapi belum juga dieksekusi sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Semua
itu demi Indonesia baru ke depan di bawah kepemimpinan Jokowi dan JK. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar