Arogansi
Eksekutif Rusak Citra Legislatif
Aditya Anugrah Moha ; Wakil Sekretaris Fraksi Partai Golkar DPR RI
|
KORAN
SINDO, 28 November 2014
Melarang
menteri Kabinet Kerja menghadiri rapat kerja dengan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) adalah tindakan Presiden Joko Widodo mengeskalasi persoalan. Jika
berlarut-larut, pemerintah dan DPR akan terperangkap dalam sengketa mengurus
diri sendiri, bukan mengabdi kepada rakyat dan negara.
Larangan
tersebut resmi, tertuang dalam Surat Edaran bernomor SE-12/Seskab/XI/ 2014
per 4 November 2014. Ditandatangani Menteri Sekretaris Kabinet (Seskab) Andi
Widjajanto, surat edaran ditujukan ke para menteri, Panglima TNI, Kapolri,
Kepala Staf Angkatan, Kepala BIN, dan Plt Jaksa Agung.
Bahkan,
Menteri BUMN Rini Soemarno langsung menindaklanjutinya dengan menerbitkan
surat edaran kepada semua pimpinan BUMN dengan instruksi larangan yang sama.
Menanggapi pertanyaan pers mengenai alasan larangan itu, presiden Joko Widodo
(Jokowi) memberi kesan bahwa DPR masih terbelah sehingga pemerintah kikuk;
kubu mana yang harus ditemui?
Alasan
lainnya adalah menunggu DPR menuntaskan revisi Undang-Undang (UU) No. 17/2014
tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3). Cara pandang Presiden Jokowi seperti
itu praktis merusak etika ketatanegaraan. Ekstremnya, Presiden
terang-terangan mengakui adanya dua institusi DPR di negara ini, yakni DPR
bentukan Koalisi Merah Putih dan DPR versi Koalisi Indonesia Hebat (KIH).
Cara
pandang ini merusak dan berbahaya, sebab fakta legal konstitusionalnya hanya
ada satu DPR di republik ini, yakni DPR RI, yang kepemimpinannya telah
disahkan dalam sidang Paripurna DPR RI pada 2 Oktober 2014. Konsekuensi
logisnya, presiden Republik Indonesia, siapa pun dia dan dari partai politik
mana pun asalnya, harus mengakui dan menghormati DPR RI yang legal
konstitusionalnya tak bercacat.
Untuk
alasan apa pun, presiden RI tak boleh memberi ruang, apalagi mengakui
eksistensi DPR RI tandingan. Jika tetap berpandangan atau berasumsi bahwa ada
dua DPR di negara ini, Presiden Jokowi bisa dikatakan mengambil posisi yang
inkonstitusional, karena dia mengakui DPR tandingan yang legal
konstitusionalnya jelas-jelas bercacat.
Sama artinya Presiden Jokowi tidak mengakui keabsahan Sidang Paripurna
DPR RI pada 2 Oktober 2014 yang telah mengesahkan kepemimpinan DPR RI periode
2014-2019. Menyikapi posisi presiden seperti itu, DPR bisa saja langsung
menghadap ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengajukan gugatan sengketa
antarlembaga.
Tensi
perpolitikan dalam negeri pasti akan sangat panas jika DPR menempuh langkah
itu. Selain gugatan ke MK, DPR juga masih punya amunisi lain untuk membuat
suasana makin tidak kondusif. UU MD3 dan tata tertib DPR telah menetapkan
bahwa jika menteri tidak mau menghadiri undangan rapat kerja DPR, DPR akan
melayangkan surat panggilan kedua.
Kalau
panggilan itu tak digubris, DPR berhak melakukan pemanggilan paksa. Sudah
barang tentu tak elok jika menteri harus dipanggil paksa untuk sekadar
melakukan rapat kerja dengan DPR. Maka sebelum disharmoni DPR-Presiden
sekarang ini berlarut- larut, Presiden Jokowi, Wapres Jusuf Kalla, serta para
menteri Kabinet Kerja harus mengubah posisi mereka dalam menyikapi persoalan
internal di DPR.
Tidak pernah
boleh ada dalam benak Presiden Jokowi tentang DPR versi KMP atau DPR versi
KIH. Pemerintah harus menerima satu institusi DPR RI yang utuh. Fakta
persoalan tentang koalisi partai politik di DPR sejatinya tidak pernah bisa
membelah DPR. Sejak dulu koalisi partai politik di DPR selalu ada, dan tak
pernah memunculkan DPR tandingan. Mengapa sekarang harus berbeda?
Kualitas Kepemimpinan
Dengan
begitu, melarang menteri memenuhi undangan DPR sama sekali tidak urgen, pun
tak ada relevansinya. Apalagi, rivalitas KMP versus KIH sudah berakhir dengan
islah. Presiden seharusnya proaktif membangun komunikasi dengan pimpinan DPR,
semua fraksi di DPR dan bila perlu bersama para ketua partai sebagai
lokomotifnya, demi mewujudkan kemitraan yang kondusif, efektif dan produktif.
Tak hanya
itu, dari larangan itu, muncul juga pertanyaan tentang kualitas kepemimpinan
Presiden Jokowi. Publik melihat bahwa dengan larangan itu, Presiden
memperkeruh keadaan. Padahal, Presiden seharusnya mengambil inisiatif untuk
mewujudkan kemitraan eksekutif-legislatif yang harmonis.
Presiden tak
pernah mengambil inisiatif seperti itu. Di permukaan, yang terlihat justru ketiadaan
iktikad baik Presiden terhadap DPR RI sebagai mitra kerjanya. Alih-alih jadi problem solver atau ikut urun rembuk
membantu menyelesaikan masalah, Presiden Jokowi justru memperkeruh keadaan.
Sebagai
institusi, DPR merasa citranya dirusak oleh Presiden, sebab larangan itu
memunculkan gambaran tentang DPR yang destruktif dan harus dihindari.
Beralasan jika DPR merasa dilecehkan oleh Presiden Jokowi. Selain itu,
larangan Presiden itu bisa dimaknai sebagai manuver politik Presiden Jokowi
untuk mendegradasi posisi DPR sebagai lembaga tinggi negara.
Ini menjadi preseden buruk ketatanegaraan.
Tentu saja manuver seperti ini tidak elok, bahkan tidak produktif karena
presiden pada dasarnya butuh DPR yang solid. Demi soliditas itu, Presiden
hendaknya selalu berpegangan pada Pasal 20A UUD 1945 yang menegaskan bahwa
DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.
Setiap
anggota DPR juga punya hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan
pendapat serta hak imunitas. Program pembangunan Presiden Jokowi tahun-tahun
mendatang terbilang ambisius. Dari pembangunan infrastruktur di darat hingga
realisasi Poros Maritim.
Realisasi
proyek jalan tol Trans-Sumatera sepanjang 2.700 kilometer dari Lampung hingga
Aceh, dan jalur kereta api Trans-Sumatera, juga Lampung–Aceh sepanjang 2.168
kilometer, akan dimulai tahun 2015. Jokowi mungkin akan membiayai dua mega
proyek itu dengan dana yang bersumber dari hasil penghematan kenaikan harga
bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang jumlahnya lebih dari Rp100 triliun
lebih.
Tentu saja
pemerintahan Presiden Jokowi tidak bisa jalan sendiri untuk merealisasikan
mega proyek itu. Peran dan dukungan DPR amat dibutuhkan Presiden Jokowi.
Paling tidak, Jokowi berharap fungsi anggaran yang digenggam DPR dapat memuluskan
realisasi proyek-proyek tersebut. Jokowi pasti menyadari bahwa jika DPR
bersikap minimalis, realisasi proyek-proyek itu bisa saja tidak tepat waktu.
Maka itu, ada
dua hal penting yang patut digarisbawahi Presiden Jokowi dan para menteri
Kabinet Kerja. Pertama, buang jauh-jauh keinginan mempertontonkan ego dan
arogansi eksekutif. Pemerintahan Jokowi harus mau mewujudkan kesetaraan
eksekutif-legislatif.
Kedua, jangan
menjadi pemerintah yang hanya respek pada kekuatan politik tertentu.
Pemerintahan Jokowi harus mau menerima kenyataan bahwa semua unsur kekuatan
politik di DPR sebagai mitra, walau tidak semuanya selalu sependapat dengan
pemerintah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar