Utang
Budi
Samuel Mulia ;
Penulis Mode dan Gaya Hidup, Penulis Kolom “Parodi” di Kompas
|
KOMPAS,
04 Mei 2014
Gara-gara
teman dekat saya merasa berutang budi kepada rekan bisnisnya, sehingga
kekesalan yang menumpuk selama menjalani usaha bersama tak bisa ia ungkapkan.
Saya jadi penasaran apa sih sebetulnya yang dimaksudkan dengan berutang budi
itu.
Sapi
Maka
saya mulai membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia online. Begini. Utang budi
berarti mendapat kebaikan hati dari orang lain dan wajib dibalas. Tidak
diberi penjelasan wajib dibalas dengan hal yang sama, atau boleh dengan hal
yang berbeda.
Tetapi
masalahnya bukan terletak pada bentuk pembalasannya, tetapi apakah seseorang
yang menerima atau mendapat kebaikan hati dari orang lain, maka ia tak berhak
melawan ketika si pemberi kebaikan itu membuat hidup orang yang menerima
kebaikan itu menjadi sengsara? Apakah kalau ada ungkapan utang budi dibawa
mati, itu berarti kita menjadi semacam sapi perah atau yang tercocok
hidungnya?
Maka
pada malam itu, saya memberi dua jenis saran. Pertama, saya katakan kalau ia
memutuskan untuk sungkan, yaa...saya tak bisa berbuat apa-apa, selain memberi
saran untuk menanggung seumur hidup menjadi sungkan, dan menjadi seperti
sapi.
Saya
kemudian menambahkan, kalau ia memutuskan untuk jadi sapi, maka ia tak perlu
lagi menceritakan hal ini kepada saya. Karena sejujurnya, keluh kesahnya
terhadap si pemberi utang budi itu, sudah ia ceritakan kepada saya untuk kali
keempat.
Kedua,
saya mengusulkan sesuatu yang didasari dengan IQ yang gitu deh itu, dan
pengalaman hidup selama memiliki rekan bisnis dalam menjalani usaha yang
sudah disepakati sejak awal.
Saya
katakan, kalau saya berutang budi kepada salah satu rekan usaha saya, dan
kebaikannya itu akan saya ingat sampai saya mati. Bahkan kalau saya masuk
neraka atau surga sekali pun, saya akan tetap ingat. Itu tak akan terlupakan.
Tetapi
kalau di dalam perjalanan membangun usaha yang telah disepakati bersama, saya
merasa bahwa si pemberi utang budi tidak memenuhi kewajibannya atau
mengesalkan hati saya, yaa...saya akan bicarakan. Tidak hanya dengan nada
suara yang jauh dari emosional, tetapi juga fakta yang nyata mengapa saya
sampai menjadi kesal.
Waktu pembicaraan
itu terjadi, saya belum membaca apa arti utang budi di kamus besar itu. Saya
tidak mengerti kalau utang budi itu wajib dibalas. Jadi ternyata sama seperti
utang barang atau benda. Saya berutang dengan Anda seribu rupiah, yaa...saya
wajib membalasnya dengan seribu rupiah.
Sansak
Kemudian
saya bertanya bagaimana saya membalas utang budi? Budi itu bentuknya seperti
apa? Apakah kalau teman saya berutang budi karena ia pernah diselamatkan dari
sebuah kecelakaan, maka pembalasan yang wajib dilakukan adalah membalas
dengan hal yang sama atau boleh yang berbeda? Apakah kalau utang seribu saya
boleh mengembalikan dengan karet gelang sebanyak seratus buah, misalnya?
Kalau
saya berutang seribu rupiah, dan sudah saya kembalikan seribu rupiah, berarti
saya tak lagi memiliki status berutang kepada seseorang, bukan? Artinya sudah
lunas. Nah, mengapa kalau utang budi dibawa mati? Apakah karena utang budi
tak berbentuk?
Bagaimana
kalau si penerima kebaikan telah membalas dengan kebaikan budinya dengan cara
menjadi sansak? Lunaskah itu? Atau dibawa mati itu berarti, apa pun balasan
yang Anda lakukan untuk mereka yang telah memberi kebaikan kepada Anda, itu
tak akan terlunasi? Begitu?
Jadi tak
perlu menggunakaan jasa debt collector, tetapi adanya perkataan si penerima
yang kalau satu hari tersakiti, ia akan bernyanyi begini: ”Orang tak tahu
diri, dulu pernah ditolong sekarang bisa ngelunjak.” Begitu?
Kalimat
wajib dibalas dalam arti utang budi, adalah kewajiban si penerima utang,
bukan? Bagaimana kalau si pemberi utang alias pemberi kebaikan itu melakukan
semuanya dengan rela hati dan tidak menganggap itu sebagai utang? Kalau
demikian situasinya, apakah seseorang tetap berutang budi sampai ke liang
kubur?
Apakah
utang budi itu bisa jadi hanya sebuah ungkapan dari rasa terima kasih yang
tak terhingga si penerima, dan bukan tuntutan si pemberi? Karena selama saya
hidup, saya tak pernah mendengar atau melihat dengan kasat mata, kalau ada
manusia yang memberi kebaikan, terus mengatakan begini: ”Ini utang ya, bro.”
Maka
pada malam itu melalui telepon yang putus nyambung sebanyak tiga kali, saya
mengatakan begini kepada teman saya itu. Kalau setelah ia mengungkapkan
kekesalan hatinya dengan cara yang santun, dan berdasarkan fakta, dan rekan
bisnisnya merasa teman saya tidak tahu berterima kasih dan terlihat
ngelunjak, yaaa...itu problemnya di pemberi kebaikan.
Pamrih
atau tidak, itu bukan urusan si penerima kebaikan. Urusan si penerima
kebaikan adalah tak melupakan kebaikan, tetapi tak membiarkan diri menjadi
sansak. Malam itu ketika komunikasi terputus untuk ketiga kalinya, ia tak
menelepon saya kembali. Sekitar setengah jam ia mengirim pesan.
Begini. Terima kasih ya buat sarannya. Aku dapat banyak masukan. Malam
itu saya berdoa buatnya, agar ia memiliki keberanian untuk tidak memilih
menjadi sansak dan atau sapi.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar