Minggu, 04 Mei 2014

Siapa Presiden

Siapa Presiden

Bre Redana  ;   Penulis Kolom “Udar Rasa” di Kompas
KOMPAS,  04 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Ke Bali beberapa waktu lalu, saya bertemu teman, seorang pengusaha restoran. Dia hendak membuka restoran baru lagi. Dia mengajak saya melihat proyeknya, yang saat ini sedang tahap pembangunan tempat.

Sembari menyetir, ia berkeluh kesah, mengenai pusingnya mengurusi para tukang. Anda pasti pernah merasakan sendiri, sewaktu membangun rumah atau entah apa. Susah mencari tukang yang bisa diandalkan.

Yang paling ajaib tukang cat, begitu ia bercerita. Setiap kali saya datang, bukannya bicara pekerjaan, tetapi malah politik. Paling suka mengajak berdiskusi, siapa kira-kira nanti bakal jadi presiden. Saya peringatkan, tidak usah bicara siapa presiden. Bayangkan, warna biru yang seharusnya admiral blue, di tembok yang lain lagi jadi midnite blue, teman ini melanjutkan cerita.

Semua kacau gara-gara ngurusin siapa presiden, ia menggerutu.

Soal presiden itu, saya jadi ingat teman lama dulu, yang kemudian sama-sama pindah ke Jakarta. Saya ceritakan agak panjang lebar. Yang paling menonjol, teman tadi punya rekor luar biasa dalam hal berganti pekerjaan. Seingat saya, paling stabil ketika dia bekerja di sebuah perusahaan finance. Keluar. Selanjutnya pekerjaan yang pernah dilakukan: desainer interior, pengusaha tambak bandeng, mendirikan lembaga pelatihan untuk satpam, bahkan pernah coba-coba memproduksi film. Yang terakhir itu tak pernah ada kelanjutannya.

Belakangan ia menelepon saya, menyatakan ia sudah memutuskan tak akan melakukan pekerjaan apa-apa selain menulis. Ya, dia ingin jadi penulis.

Sebenarnya saya tak peduli dia mau jadi apa. Yang jadi masalah, sejak saat itu dia tak henti mengirimkan tulisan-tulisannya untuk saya nilai.

Tulisannya tak keruan. Kalau bukan karena persahabatan, masa lalu, kota lama, tak sudi saya membaca.

Coba Anda bayangkan. Dia mengirim yang disebutnya novel. Memori kota lama kita, katanya. Berdasar riset, ia membual. Seperti penulis lain, gara-gara riset ia anggap dengan sendirinya tulisan jadi bagus.

Saya tak pernah menemukan tulisan semembosankan ini. Dia tulis semua orang di kota kami bekerja di pabrik tekstil. Paiman bekerja dari gajinya Rp 25.000 sekarang Rp 900.000. Sukini dari Rp 30.000 sekarang Rp 800.000. Widodo dari Rp 40.000 sekarang Rp 1,5 juta. Wulandari dari Rp 35.000 sekarang Rp 900.000. Nanik dari Rp 600.000 sekarang Rp 900.000. Soal nama dan gaji panjangnya lima lembar.

Ada juga petualangan asmara. Ia ceritakan banyak wanita. Semua wanita ia gambarkan melulu hanya kaki dan sepatunya. Aspek wanita seolah hanya kaki dan high heel. Membaca tulisannya, diam-diam saya khawatir menjadi ikut gila.

Tulisan kamu benar-benar membosankan, kata saya. Lebih baik kamu berhenti menulis. Kamu akan gagal sebagai penulis, saya menghardik, dengan harapan dia tak lagi mengirimkan tulisan-tulisannya.

Tanpa terduga dia malah tertawa.

Kalau saya gagal dalam segala hal, berarti saya berkesempatan untuk jadi presiden, ucapnya sembari tertawa cekakakan.

Teman saya si pengusaha restoran tertawa mendengar cerita saya. Dia orang gila, komentarnya.

Kami sampai di proyek. Ia panggil si tukang cat.

Ada apa, Pak, tanya tukang cat.

Kita ngopi dulu, kata teman ini.

Si tukang cat terbengong-bengong.

Sambil ngopi, kepada tukang cat teman saya mengulangi cerita yang baru saja saya tuturkan kepadanya. Dia bertutur dengan mendramatisir, untuk memberi tekanan pada bagian: kalau saya gagal dalam segala hal, berarti saya berkesempatan untuk jadi presiden.

Ganti tukang cat tertawa terbahak-bahak.

Bapak ada-ada saja, katanya terkekeh-kekeh.

Tahu maksud saya, tanya teman saya kepadanya.

Tahu, bapak tidak ingin saya bicara siapa presiden, jawab tukang cat, masih sambil tertawa. Dia beranjak dari tempat duduk, memanjat stager, kembali ke pekerjaannya.

Terdengar ia mengulang-ulang kata-kata yang dianggapnya lucu: wong gagal dalam semua hal, kok, hendak jadi presiden, ha-ha-ha....

Teman saya si pengusaha restoran berbisik: mudah-mudahan mulai saat ini ia berhenti bicara siapa presiden.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar