Pragmatisme
Politik
Victor
Silaen ; Dosen
FISIP Universitas Pelita Harapan
|
KOMPAS,
20 Mei 2014
Suhu politik nasional sepertinya
mendingin setelah para capres-cawapres mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum,
kemarin. Capaian pemilu legislatif yang menyandera partai sehingga tidak satu
pun partai mampu mengusung pencalonan presiden tanpa berkoalisi membuat
partai-partai saling merapat membentuk poros-poros.
Sebelumnya, di tengah damainya
pelaksanaan pemilu legislatif, kampanye hitam terhadap para capres ternyata
terus berlangsung. Jokowi sebagai capres berpasangan dengan cawapres Jusuf
Kalla paling banyak mendapat serangan.
Mulai dari pendapat yang
mengharuskan ia mundur sebagai Gubernur DKI hingga tuduhan ingkar janji
membangun Jakarta. Capres lain, Prabowo, juga kecipratan kampanye hitam meski
tidak parah.
Orang lupa ketika Gubernur
Sumsel Alex Noerdin maju sebagai kontestan dalam Pilgub DKI 2012. Setelah
kalah di putaran pertama, ia pun kembali aktif sebagai Gubernur Sumsel.
Kenyataannya, Presiden Yudhoyono
memberikan izin cuti kepada Jokowi selama pencapresan ini. Maka, kalau pemilu
presiden berlangsung satu putaran dan Jokowi memenanginya, masih ada waktu
beberapa bulan untuk terus bekerja sebagai gubernur hingga menjelang
pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI 2014-2019.
Ketika orang meributkan
”keterikatan” Jokowi dengan jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta, bukankah
setiap pejabat negara juga disumpah untuk setia mengabdi negara, bangsa, dan
rakyat hingga masa jabatannya selesai? Namun, ketika ada anggota DPR yang
diminta Presiden menjadi menteri, mengapa pelbagai pihak dan kalangan justru
mendukungnya?
Mengapa pula ketika ada anggota
DPR yang di tengah jalan menjadi gubernur, tak satu pun pihak yang
meributkannya? Bahkan, pada 9 November 2011, ada anggota DPR masa bakti
2009-2014 yang dilantik dan diambil sumpahnya sebagai hakim agung di Mahkamah
Agung. Tak ada yang berkeberatan.
Inilah politik
Mestinya sejak awal kita sadar
inilah politik, yang oleh ahli politik Harold Lasswell (1936) dimaknakan
sebagai ”siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana” (who gets what, when and how).
Memang, dalam politik, persoalan
”mendapatkan apa” selalu menjadi kepentingan. Karena itu, politik lebih
bersifat pragmatis alih-alih idealis. Asalkan tak melanggar hukum, tak ada
hal yang perlu dirisaukan. Maka, selain sebagai ilmu, politik juga dipandang
sebagai ”seni mengelola pelbagai kemungkinan” (the art of possibilities).
Yang penting manfaat praktisnya,
lebih daripada kebenaran filosofis ataupun ideologis yang melandasinya.
Itulah pragmatisme. Manfaat praktis ini merupakan hasil atau akibat, bukan
cara atau prosesnya.
Jadi, pragmatisme politik adalah
politik yang lebih mementingkan hasil atau akibat yang bermanfaat praktis
bagi pihak yang bersangkutan. Bagaimana cara atau prosesnya, itu soal lain.
Yang penting tidak melanggar hukum. Soal etika dan etiket, bukan pertimbangan
utama.
Jokowi memang menjadi kesayangan
media. Namun, bukan hanya media yang berperan melambungkan sosok Jokowi.
Artinya, kalau Jokowi bukan tipikal pemimpin yang disukai, mungkinkah media
begitu gemar mewartakan dirinya?
Media, dalam konteks ini, jangan
dilihat hanya media konvensional yang tercetak. Peran media sosial, utamanya
Facebook dan Twitter, tak kalah penting.
Apabila ditanya berapa banyak
jumlah relawan di dunia maya itu, baik secara individual maupun kolektif,
yang melambungkan sosok Jokowi, jawabannya sulit dipastikan.
Pasalnya, seiring waktu, jumlah
mereka terus bertambah. Termasuk kelompok-kelompok relawan yang telah
bergerak membangun jejaring dan menyiapkan posko-posko di berbagai kota,
bahkan di Hongkong.
Pertanyaannya sekarang, apakah
Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta telah ingkar janji? Sekarang jelas tidak
karena, faktanya, ia masih bekerja sebagai gubernur meski saat ini sedang
cuti.
Jokowi pun tak pernah secara
proaktif mengajukan diri menjadi capres. Jokowi adalah hasil dari tarik ulur
pelbagai kepentingan di internal PDI Perjuangan.
Ketiga, menjadi presiden RI
bukan berarti tidak lagi dapat memperhatikan DKI Jakarta sebagai ibu kota
negara ini.
Justru dengan jabatan barunya,
kelak koordinasi Jokowi dengan Ahok yang menggantikannya sebagai Gubernur DKI
Jakarta menjadi lebih baik dan lebih efektif. Lagi pula, jika kelak Jokowi
menjadi presiden, bukankah ia tetap akan berkantor di Jakarta?
Inilah realitas politik
Indonesia yang amat unik hari-hari ini. Baru kali ini sebagian besar rakyat
begitu peduli akan siapa yang kelak menjadi orang nomor satu di republik ini.
Baru kali ini sebagian besar
rakyat menginginkan sang calon lebih daripada partai politik pengusungnya.
Baru kali ini pula sebagian besar rakyat siap bergerak dan berjuang tanpa
dikomando partai dan tanpa bantuan dari cukong-cukong politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar