Rabu, 21 Mei 2014

Pragmatisme Politik

Pragmatisme Politik

Victor Silaen ;   Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan
KOMPAS,  20 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Suhu politik nasional sepertinya mendingin setelah para capres-cawapres mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum, kemarin. Capaian pemilu legislatif yang menyandera partai sehingga tidak satu pun partai mampu mengusung pencalonan presiden tanpa berkoalisi membuat partai-partai saling merapat membentuk poros-poros.

Sebelumnya, di tengah damainya pelaksanaan pemilu legislatif, kampanye hitam terhadap para capres ternyata terus berlangsung. Jokowi sebagai capres berpasangan dengan cawapres Jusuf Kalla paling banyak mendapat serangan.
Mulai dari pendapat yang mengharuskan ia mundur sebagai Gubernur DKI hingga tuduhan ingkar janji membangun Jakarta. Capres lain, Prabowo, juga kecipratan kampanye hitam meski tidak parah.

Orang lupa ketika Gubernur Sumsel Alex Noerdin maju sebagai kontestan dalam Pilgub DKI 2012. Setelah kalah di putaran pertama, ia pun kembali aktif sebagai Gubernur Sumsel.

Kenyataannya, Presiden Yudhoyono memberikan izin cuti kepada Jokowi selama pencapresan ini. Maka, kalau pemilu presiden berlangsung satu putaran dan Jokowi memenanginya, masih ada waktu beberapa bulan untuk terus bekerja sebagai gubernur hingga menjelang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI 2014-2019.

Ketika orang meributkan ”keterikatan” Jokowi dengan jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta, bukankah setiap pejabat negara juga disumpah untuk setia mengabdi negara, bangsa, dan rakyat hingga masa jabatannya selesai? Namun, ketika ada anggota DPR yang diminta Presiden menjadi menteri, mengapa pelbagai pihak dan kalangan justru mendukungnya?

Mengapa pula ketika ada anggota DPR yang di tengah jalan menjadi gubernur, tak satu pun pihak yang meributkannya? Bahkan, pada 9 November 2011, ada anggota DPR masa bakti 2009-2014 yang dilantik dan diambil sumpahnya sebagai hakim agung di Mahkamah Agung. Tak ada yang berkeberatan.

Inilah politik

Mestinya sejak awal kita sadar inilah politik, yang oleh ahli politik Harold Lasswell (1936) dimaknakan sebagai ”siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana” (who gets what, when and how).

Memang, dalam politik, persoalan ”mendapatkan apa” selalu menjadi kepentingan. Karena itu, politik lebih bersifat pragmatis alih-alih idealis. Asalkan tak melanggar hukum, tak ada hal yang perlu dirisaukan. Maka, selain sebagai ilmu, politik juga dipandang sebagai ”seni mengelola pelbagai kemungkinan” (the art of possibilities).

Yang penting manfaat praktisnya, lebih daripada kebenaran filosofis ataupun ideologis yang melandasinya. Itulah pragmatisme. Manfaat praktis ini merupakan hasil atau akibat, bukan cara atau prosesnya.

Jadi, pragmatisme politik adalah politik yang lebih mementingkan hasil atau akibat yang bermanfaat praktis bagi pihak yang bersangkutan. Bagaimana cara atau prosesnya, itu soal lain. Yang penting tidak melanggar hukum. Soal etika dan etiket, bukan pertimbangan utama.

Jokowi memang menjadi kesayangan media. Namun, bukan hanya media yang berperan melambungkan sosok Jokowi. Artinya, kalau Jokowi bukan tipikal pemimpin yang disukai, mungkinkah media begitu gemar mewartakan dirinya?
Media, dalam konteks ini, jangan dilihat hanya media konvensional yang tercetak. Peran media sosial, utamanya Facebook dan Twitter, tak kalah penting.

Apabila ditanya berapa banyak jumlah relawan di dunia maya itu, baik secara individual maupun kolektif, yang melambungkan sosok Jokowi, jawabannya sulit dipastikan.

Pasalnya, seiring waktu, jumlah mereka terus bertambah. Termasuk kelompok-kelompok relawan yang telah bergerak membangun jejaring dan menyiapkan posko-posko di berbagai kota, bahkan di Hongkong.

Pertanyaannya sekarang, apakah Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta telah ingkar janji? Sekarang jelas tidak karena, faktanya, ia masih bekerja sebagai gubernur meski saat ini sedang cuti.

Jokowi pun tak pernah secara proaktif mengajukan diri menjadi capres. Jokowi adalah hasil dari tarik ulur pelbagai kepentingan di internal PDI Perjuangan.
Ketiga, menjadi presiden RI bukan berarti tidak lagi dapat memperhatikan DKI Jakarta sebagai ibu kota negara ini.

Justru dengan jabatan barunya, kelak koordinasi Jokowi dengan Ahok yang menggantikannya sebagai Gubernur DKI Jakarta menjadi lebih baik dan lebih efektif. Lagi pula, jika kelak Jokowi menjadi presiden, bukankah ia tetap akan berkantor di Jakarta?

Inilah realitas politik Indonesia yang amat unik hari-hari ini. Baru kali ini sebagian besar rakyat begitu peduli akan siapa yang kelak menjadi orang nomor satu di republik ini.

Baru kali ini sebagian besar rakyat menginginkan sang calon lebih daripada partai politik pengusungnya. Baru kali ini pula sebagian besar rakyat siap bergerak dan berjuang tanpa dikomando partai dan tanpa bantuan dari cukong-cukong politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar