Dilema
Pendidikan Nasional
Saiful
Mustofa ; Pegiat
Literasi di Tulungagung
|
KOMPAS,
19 Mei 2014
Setiap musim ujian nasional
alias UN, saya selalu teringat pada Muhammad Abrary Pulungan (14), siswa dari
SD Negeri 06 Petang, Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Tiga tahun lalu, ia
pernah menjadi pusat pergunjingan lantaran melaporkan kecurangan UN di
sekolahnya. Naas, bukannya mendapat apresiasi, ia justru dihujani kecaman
dari berbagai pihak terkait. Seperti orang Jawa bilang, nulung malah
kepentung.
Pada tahun yang sama, kasus
serupa dialami oleh Alif (14), siswa dari SD Negeri 02 Gadel, Tandes,
Surabaya, Jawa Timur. Seperti dikabarkan media, ia diminta gurunya memberikan
jawaban soal UN kepada temannya yang tidak bisa. Pasca ujian, ia tidak tahan
dan melaporkan perintah guru itu kepada orangtuanya.
Dampaknya, Alif dan
keluarganya diusir warga karena tidak suka dengan kejujuran tersebut. Mereka
dituding sok jujur oleh guru, orangtua siswa lain, dan masyarakat sekitar
tempat tinggalnya.
Pendidikan kita memang masih
karut-marut. Meski bukan lagi menjadi penentu tunggal kelulusan siswa, UN
yang tetap menjadi momok siswa telah dipolitisasi menjadi penentu
keberhasilan guru, sekolah, dan pemerintah daerah. Alhasil, ketidakpercayaan
pemerintah dengan membuat varian soal begitu banyak, tetap saja bocor karena
UN telah menjadi muara berbagai kepentingan.
Yang pasti, anggaran untuk UN
pada tahun lalu mencapai Rp 600 miliar. Ini hampir sebanding dengan anggaran
awal revisi Kurikulum 2013 sebelum kemudian membengkak mencapai Rp 1,4
triliun lebih, dengan perincian anggaran pencetakan buku Rp 1,03 triliun dan
biaya pelatihan guru Rp 422 miliar.
Kelayakan pendidikan
Seperti apa pun wajah pendidikan
kita, pendidikan tetaplah penting. Namun, bagaimana kelayakan pendidikan itu?
Bagaimana memformulasikan implementasinya? Dengan kata lain, rumusan konsep
yang baik masih menjadi wacana. Pendidikan kita masih berorientasi pada
pemenuhan nilai tertulis ketimbang aspek perilaku, sesuatu yang lebih krusial
daripada itu. Nilai tertulis atau lebih tepatnya aspek kognitif masih menjadi
ukuran baku. Kasus Abrary dan Alif menunjukkan, masyarakat kita masih terpaku
pada nilai sebagai satu-satunya keutamaan yang harus didapat siswa,
bagaimanapun caranya.
Aspek kognitif tentu saja
penting. Namun, pencapaian kognitif dalam wujud nilai tertulis hanyalah salah
satu parameter yang harus diselaraskan dengan pencapaian afektif dan
psikomotorik. Aspek kognitif tak boleh jadi ukuran tunggal. Sebab, itu
berarti program pendidikan nasional dewasa ini baru sebatas menggerakkan
fungsi otak siswa, bukan jiwa. Program pendidikan semacam itu sebatas
melahirkan ”manusia kaset” yang hanya bisa mendengar, tetapi tidak mampu
mewujudkan dalam bersikap dan bertindak (Kompas, 22/9/2001).
Akar permasalahan lain yang
menjadi kendala terciptanya pendidikan yang layak adalah anggapan bahwa
belajar adalah suatu kewajiban, bukan hak dan kebutuhan. James Foo dalam
artikelnya, Retorika Pendidikan Indonesia, menjelaskan bahwa jika diamati
dengan saksama, gagasan wajib belajar merupakan suatu absurditas atau
kontradiksi.
Bukan paksaan
Pertama, proses belajar tidak
mungkin berjalan efektif jika ada suatu pemaksaan pada diri pembelajar.
Gagasan pendidikan yang berpusat pada siswa senantiasa mengedepankan
kesadaran diri pembelajar atas proses belajar yang dijalaninya. Ini
berdasarkan prinsip bahwa dorongan atau keinginan belajar dari diri sendiri
merupakan unsur utama dalam proses belajar. Proses belajar yang dipaksakan
juga tidak akan pernah bertahan.
Kedua, wajib belajar tampaknya
telah rancu dengan wajib bersekolah. Seorang siswa atau siswi yang tidak
pergi ke sekolah pada jam sekolah jelas menyalahi wajib bersekolah. Bagaimana
dengan wajib belajar? Jika belajar merupakan suatu kewajiban, indikator apa
yang menentukan seseorang lalai belajar atau tidak?
Betapa sulitnya mengukur apakah
seseorang sedang belajar atau tidak. Seorang anak yang bermain di pematang
sawah atau tepi pantai, apakah sedang tidak belajar? Seorang anak yang
membantu ibunya berjualan di pasar apakah sedang tidak belajar? Seseorang
anak berumur 10 tahun dan sedang melamun di bawah pohon pada jam sekolah,
misalnya, apakah sedang melanggar kewajiban belajar?
Hal itulah yang harus kita
pahami bersama. Intinya, seorang pendidik selain menanamkan nilai, juga harus
memberi penyadaran bahwa belajar itu bukan suatu kewajiban, melainkan sebuah
hak. Dengan begitu, siswa menganggap, belajar itu merupakan kebutuhan yang
menyenangkan, bukan beban.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar