Oh,
Politikus Tulalit…
Seno
Gumira Ajidarma ; Wartawan
|
KOMPAS,
25 Mei 2014
Kartun
adalah anak resmi perkawinan seni gambar dan humor. Bila karya para kartunis
muda yang merebut perhatian di masa kini, seperti Jitet Koestana, Tommy
Thomdean, Didie SW, dan Arif Sutristanto, dalam buku Indonesian Damn Good Cartoon (2010) diperhatikan, maka dapat
dipercaya dan dibuktikan betapa peringkat artistik kartun Indonesia sekarang
bukan sekadar ”tinggi”, melainkan juga berbanding setara dengan selera
ataupun kecerdasan humornya.
Justru
karena itu perlu diingat, adalah dalam keberpadu-padanan artistik dan humor
itulah letak keutuhan karya kartun, bukan tinggi-rendahnya ”peringkat”
artistik dan humor itu sendiri. Gambar humor (pictorial humour) tidak hanya dinilai atas dasar ekspresi
artistik, tetapi juga sebagai humor. Dengan begitu, humor bagus dinilai lebih
tinggi dari humor buruk meskipun gambar humor buruk ini dikerjakan seniman
gambar terbaik di dunia (Fongasse,
1956: 2).
Dengan
catatan tersebut, cobalah tengok kartun Dodo Karundeng dalam pameran tunggal
keduanya, Tahu Politik, yang berlangsung dari tanggal 20 sampai 30 Mei 2014
di Galeri Cipta III Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Jika coretan
Karundeng memang bukan coretan seorang wonder boy dalam seni gambar, maka
apakah yang bisa diperbincangkan dari pendekatan humornya?
Berotak, tetapi…
Dari
judul pameran pertamanya, Otak Kartun (2012), tertafsirkan adanya pendekatan
Koestlerian, bahwa logika humor dengan jurus bisosiatifnya (tawa adalah
produk pemelesetan harapan) adalah juga pola dalam kerja intelektual,
sebagaimana berlaku dalam penemuan ilmiah ataupun kreasi artistik. Namun,
dalam pengantar saat itu, Karundeng menulis perkara lain: ”Orang banyak selalu mengaitkan otak
dengan kecerdasan. Ternyata ada otak yang disebut bodoh juga?” Memandang
Indonesia di media massa, yang serba-serbi logikanya sering mengundang tanda
tanya, bagaimana menggambarkannya dalam kartun yang berotak?
Kartun
Karundeng memang bikin kepala berpikir. Dalam pameran ini, gambar yang juga
terpasang di baliho TIM, memainkan jari sang pemilih dalam peristiwa politik,
karena jelas berwarna ungu, tetapi yang permainannya diperluas sampai kepada
bahasa jari itu sendiri. Meski pesan cukup lugas, simpulan hanya tercapai
lewat proses, bahwa atas nama apa pun ranah politik tidak dibenarkan memecah
belah bangsa.
Dalam
banyak kartun pada pameran pertama, Karundeng tampak bergaya lama, bagaikan
kartun-kartun tahun 1950-an yang ganas dan membuat pemburu humor ”tinggi”
akan sulit tertawa, kecuali dalam teori superioritas atau penghinaan, bahwa
tawa ditemukan saat melihat ketertindasan orang lain (Hobbes, 1651). Tentu, ketika humor dibenarkan sebagai bentuk
agresi (Freud, 1905), dan
ditegaskan bahwa humor itu berpihak (Bergson, 1900), belum dipertimbangkan
bahwa penindas yang tertawa justru mungkin saja mayoritas tertindas itu.
Jadi, penguasa korup dalam kartun Karundeng sengaja ditindas, digantung,
disiksa, dipermalukan, dengan cukup kejam dan kasar, demi tawa kaum duafa
yang terkorbankan.
Adapun
dalam pameran ini, meski sarkasmenya masih terpelihara, perkembangan
Karundeng adalah penggunaan idiom bahasa komik, baik dalam balon kata-kata
maupun jumlah panil yang banyak dan beruntutan. Artinya, kartun politis—di
Indonesia disebut karikatur—yang semula berciri khas panil tunggal, kini
didekati dalam cara bertutur baris komik (comic
strip): kata-kata mengambil peran diskursif yang dalam hal ini wajib
melengkapi gambar. Antara kartun politis dan tema ”tahu politik”, terkirim
pesan jangan coba-coba mengibuli khalayak, bukan saja karena khalayak tak
lagi bisa dikibuli, melainkan karena juga bisa menghukum—dan kartunis adalah
bagian dari khalayak.
Politikus tulalit
Betapapun,
kartun terbaik sebetulnya bukan yang klise, yakni menggugat penguasa atau
politikus dengan jurus yang terlalu mudah ditebak. Dari semua kartun ”hitam”
Karundeng, justru yang tidak mengulang klise adalah cerita soal politikus
”tulalit” (idiom gaul: politikus bodoh), yang ternyata mampu mengecoh, dan
khalayak mengelukan ketika sang politikus mengakui kedunguannya. Kartun ini
bersikap kritis, bukan hanya terhadap politikus, melainkan justru kepada
khalayak.
Ini
membuat kartun ”Politikus Tulalit”
tidak menjadi terlalu mudah. Pada lapis pertama tampak lucu karena faktor
bisosiasi, tetapi pada lapis kedua akan terbongkar bahwa keterkibulan dan
tidak kritisnya khalayak adalah situasi yang rawan ketika khalayak itu akan
berperan menentukan—seperti layaknya demokrasi.
Apabila
kartun mengajak kita berpikir, begitulah mestinya kartun politis! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar