Senin, 26 Mei 2014

Oh, Politikus Tulalit…

Oh, Politikus Tulalit…

Seno Gumira Ajidarma  ;   Wartawan
KOMPAS,  25 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Kartun adalah anak resmi perkawinan seni gambar dan humor. Bila karya para kartunis muda yang merebut perhatian di masa kini, seperti Jitet Koestana, Tommy Thomdean, Didie SW, dan Arif Sutristanto, dalam buku Indonesian Damn Good Cartoon (2010) diperhatikan, maka dapat dipercaya dan dibuktikan betapa peringkat artistik kartun Indonesia sekarang bukan sekadar ”tinggi”, melainkan juga berbanding setara dengan selera ataupun kecerdasan humornya.

Justru karena itu perlu diingat, adalah dalam keberpadu-padanan artistik dan humor itulah letak keutuhan karya kartun, bukan tinggi-rendahnya ”peringkat” artistik dan humor itu sendiri. Gambar humor (pictorial humour) tidak hanya dinilai atas dasar ekspresi artistik, tetapi juga sebagai humor. Dengan begitu, humor bagus dinilai lebih tinggi dari humor buruk meskipun gambar humor buruk ini dikerjakan seniman gambar terbaik di dunia (Fongasse, 1956: 2).

Dengan catatan tersebut, cobalah tengok kartun Dodo Karundeng dalam pameran tunggal keduanya, Tahu Politik, yang berlangsung dari tanggal 20 sampai 30 Mei 2014 di Galeri Cipta III Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Jika coretan Karundeng memang bukan coretan seorang wonder boy dalam seni gambar, maka apakah yang bisa diperbincangkan dari pendekatan humornya?

Berotak, tetapi…

Dari judul pameran pertamanya, Otak Kartun (2012), tertafsirkan adanya pendekatan Koestlerian, bahwa logika humor dengan jurus bisosiatifnya (tawa adalah produk pemelesetan harapan) adalah juga pola dalam kerja intelektual, sebagaimana berlaku dalam penemuan ilmiah ataupun kreasi artistik. Namun, dalam pengantar saat itu, Karundeng menulis perkara lain: ”Orang banyak selalu mengaitkan otak dengan kecerdasan. Ternyata ada otak yang disebut bodoh juga?” Memandang Indonesia di media massa, yang serba-serbi logikanya sering mengundang tanda tanya, bagaimana menggambarkannya dalam kartun yang berotak?

Kartun Karundeng memang bikin kepala berpikir. Dalam pameran ini, gambar yang juga terpasang di baliho TIM, memainkan jari sang pemilih dalam peristiwa politik, karena jelas berwarna ungu, tetapi yang permainannya diperluas sampai kepada bahasa jari itu sendiri. Meski pesan cukup lugas, simpulan hanya tercapai lewat proses, bahwa atas nama apa pun ranah politik tidak dibenarkan memecah belah bangsa.

Dalam banyak kartun pada pameran pertama, Karundeng tampak bergaya lama, bagaikan kartun-kartun tahun 1950-an yang ganas dan membuat pemburu humor ”tinggi” akan sulit tertawa, kecuali dalam teori superioritas atau penghinaan, bahwa tawa ditemukan saat melihat ketertindasan orang lain (Hobbes, 1651). Tentu, ketika humor dibenarkan sebagai bentuk agresi (Freud, 1905), dan ditegaskan bahwa humor itu berpihak (Bergson, 1900), belum dipertimbangkan bahwa penindas yang tertawa justru mungkin saja mayoritas tertindas itu. Jadi, penguasa korup dalam kartun Karundeng sengaja ditindas, digantung, disiksa, dipermalukan, dengan cukup kejam dan kasar, demi tawa kaum duafa yang terkorbankan.

Adapun dalam pameran ini, meski sarkasmenya masih terpelihara, perkembangan Karundeng adalah penggunaan idiom bahasa komik, baik dalam balon kata-kata maupun jumlah panil yang banyak dan beruntutan. Artinya, kartun politis—di Indonesia disebut karikatur—yang semula berciri khas panil tunggal, kini didekati dalam cara bertutur baris komik (comic strip): kata-kata mengambil peran diskursif yang dalam hal ini wajib melengkapi gambar. Antara kartun politis dan tema ”tahu politik”, terkirim pesan jangan coba-coba mengibuli khalayak, bukan saja karena khalayak tak lagi bisa dikibuli, melainkan karena juga bisa menghukum—dan kartunis adalah bagian dari khalayak.

Politikus tulalit

Betapapun, kartun terbaik sebetulnya bukan yang klise, yakni menggugat penguasa atau politikus dengan jurus yang terlalu mudah ditebak. Dari semua kartun ”hitam” Karundeng, justru yang tidak mengulang klise adalah cerita soal politikus ”tulalit” (idiom gaul: politikus bodoh), yang ternyata mampu mengecoh, dan khalayak mengelukan ketika sang politikus mengakui kedunguannya. Kartun ini bersikap kritis, bukan hanya terhadap politikus, melainkan justru kepada khalayak.

Ini membuat kartun ”Politikus Tulalit” tidak menjadi terlalu mudah. Pada lapis pertama tampak lucu karena faktor bisosiasi, tetapi pada lapis kedua akan terbongkar bahwa keterkibulan dan tidak kritisnya khalayak adalah situasi yang rawan ketika khalayak itu akan berperan menentukan—seperti layaknya demokrasi.

Apabila kartun mengajak kita berpikir, begitulah mestinya kartun politis!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar