Senin, 26 Mei 2014

Politik Ingatan

Politik Ingatan

Bre Redana  ;   Penulis kolom “Catatan Minggu” Kompas
KOMPAS,  25 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Salah satu korban penculikan di seputar tahun 1998 pernah bercerita kepada saya mengenai pengalamannya diculik, dianiaya, disiksa pada waktu itu. Sambil bercerita mata dia kadang berkaca-kaca, mengenang titik paling nadir dari hidup yang dikiranya bakal segera berakhir. Bahwa dia selamat, ia yakini sebagai keajaiban dan karena berkah Allah.

Ia bercerita sangat detail. Di antara detail cerita yang saya ingat adalah bagaimana dalam keadaan mata ditutup kain, ia mencoba mengenali keadaan sekeliling dan para penyiksanya. Dia kerahkan pendengarannya, juga penciumannya. Pada suatu ketika ia menangkap sosok baru masuk ruangan. Dia membaui aroma parfum mahal. Ia berkesimpulan, sosok ini pasti perwira tinggi.

Saya jadi ingat Milan Kundera, novelis Ceko yang terusir dari negerinya. Melalui novel-novelnya, banyak sekali Kundera membabar teka-teki mengenai memori, mengenai ingatan. Berada pada ruang yang sama, waktu yang sama, peristiwa politik yang sama, apa yang diingat si korban ini misalnya, pasti berbeda dengan yang diingat sosok yang ia tengarai perwira tinggi berparfum mahal.

Sahabat saya si korban mengingat sampai detail aroma parfum. Andaikan di hadapannya saya bawa sampel sejumlah parfum mahal, pasti dia bisa mengenali mana yang ia baui waktu itu. Sama seperti cewek, yang barangkali masih terbayang-bayang aroma parfum cowok yang pernah dicintainya pada suatu masa. Ah....

Di lain pihak, apa yang diingat si perwira? Mana mungkin ia ingat parfum yang dipakainya. Maklum kaya. Parfumnya banyak. Siapa makhluk sial yang compang-camping berdarah-darah di hadapannya boleh jadi ia lupa. ”Nothing personal”, saat itu cuma tugas negara. Bahkan ada peristiwa penculikan pun jangan-jangan dia lupa.

Begitulah memori bekerja. Ibarat geografi, memori adalah wilayah yang separuhnya hilang, menjadi terra incognita, daerah tak dikenal. Pada simpul-simpul sejarah, kami mengingat sesuatu, kalian tidak. Atau sebaliknya, kalian mengingat yang kalian paksakan untuk diingat semua orang, dan untuk itu kami bilang tidak dan tidak. Kami sadar, memori rentan untuk dimanipulasi, serta sanggup memanipulasi dirinya sendiri.

Setiap orang hendaknya sadar mengenai hal ini. Baik-baiklah menjaga memori, menjaga otak masing-masing, agar tidak gampang hilang ingatan. Ada itu politikus berusia mbah-mbah, yang jadi bahan ketawaan di dunia maya, karena baru kemarin bilang A, sekarang bilang lain lagi.

Ingat, terbawa perkembangan teknologi informasi termasuk di dalamnya microchip alias memori buatan, memori manusia menjadi kian lemah karena kurang terlatih. Kalangan muda, generasi gadget, rentan terkena sindrom ini.

Gejala ahistorik bermula dari situ. Pada awal republik ini misalnya, cerita mengenai para pejuang kita adalah cerita tentang keberanian berbagi penderitaan, kebersahajaan, termasuk romantisme berbagi sepiring
nasi bersama saudara kita di gunung, di desa. Ada lagu langgam-keroncong berjudul ”Caping Gunung”, yang dengan bagus menggambarkan semangat tersebut. Kisahnya kurang lebih, di zaman perjuangan, kami orang gunung mengasuh kamu para pejuang dengan makanan dan tempat tinggal. Kini, di zaman merdeka, kok kamu lupa....

Sebagian politisi mencoba mempertautkan kekinian mereka dengan masa yang hilang tadi, lewat simbol-simbol dan atribut yang mereka kenakan. Lihat, mereka mengenakan peci, yang pada zamannya menjadi simbol kaum republiken.

Betapa susahnya simbol-simbol baru, atribut baru, outfit baru ini mendadani roh-tubuh-jiwa yang sudah berubah. Dulu setiap orang ingin diakui lebih menderita dan lebih banyak berkorban dibanding yang lain. Itulah heroisme zaman itu.

Sekarang orang ingin diakui sebagai manusia sukses. Pahlawan zaman ini adalah orang yang sukses, kaya, bukan orang yang menderita, apalagi korban.

Soal ingatan, memori, banyak orang tak peduli. Asal sukses, banyak duit, lupa ingatan tak jadi masalah. Tetap dielu-elukan.

Korban perlu hati-hati. Jangan-jangan mereka ditembak dua kali....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar