Selasa, 20 Mei 2014

Indonesia Mencari Wakil Presiden

Indonesia Mencari Wakil Presiden

Eep Saefulloh Fatah ;   Pendiri dan Pemimpin PolMark Indonesia Inc, Pusat Riset dan Konsultasi Political Marketing
MEDIA INDONESIA,  19 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
SETIAP zaman punya kecemasannya sendiri. Setiap kecemasan punya zamannya sendiri. Begitulah, di masa Orde Baru banyak orang cemas bahwa wakil presiden (wapres) sekadar ban serep. Hari-hari ini, sebagian orang mencemaskan kemungkinan hadirnya wapres yang tak sekadar ban serep. Tiba-tiba, wapres yang berfungsi optimal menjadi sumber kecemasan.

Lalu, seperti apakah sepatutnya wapres diposisikan dan difungsikan? Apa yang Indonesia cari dan butuhkan; wapres ban serep atau wapres optimal atau yang berada di antara keduanya?

Duet dinamis vs harmonis

Boediono ialah wapres ke11 sepanjang sejarah Indonesia merdeka. Jika periode Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) ikut ditimbang, dan Wakil Ketua PDRI, Teuku Mohammad Hasan, ikut diperhitungkan sebagai wapres, Boediono ialah wapres ke-12.

Secara metodologi, sulit memband ingkan wapres lintas zaman. Jika dipaksakan akan senasib dengan membandingkan buah apel dengan kanguru. Maka, lebih baik kita fokus saja ke wapres era Reformasi. Selama masa Reformasi, kita mengena dua jenis wapres; yang bertugas penuh dan bertugas tak penuh. Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri (1999-2001) dan Hamzah Haz (2001-2004 ialah wapres yang tak sempat bekerja penuh. Muhammad Jusuf Kalla (2004-2009) dan Boediono (2009-2014) termasuk kategori wapres yang bekerja penuh.

Perbandingan yang paling layak dilakukan ialah di antara wapres yang bertugas penuh. Maka, bersu alah kita dengan dua karakter kombinasi kepemimpinan nasional yang berbeda; duet dinamis versus duet harmonis.

Yudhoyono-Kalla merupakan duet dinamis. Kalla memainkan peranan besar dengan menjadi sparring partner Yudhoyono dalam merumuskan berbagai kebijakan pokok. Wapres juga ikut aktif mengelola pemerintahan dengan berkoordinasi dengan bahkan mendireksi para menteri untuk mengelola isu-isu strategis tertentu, terutama di bidang ekonomi.

Bukan hanya itu, wapres beberapa kali mengambil inisiatif yang keluar dari pakem konvensional selama ini Di atas segalanya, aktivitas politik strategis dijalankan Kalla dengan menjadi semacam general manager koalisi pemerintahan. Banyak pertemuan antarpimpinan partai dan/atau antarpimpinan fraksi DPR dilakukan di rumah dinas wapres, langsung dipimpin Kalla.

Gaya kepemimpinan Kalla pun menjadi daya magnet besar bagi media. Kerapkali hubungan kerja presiden dan wakil pre siden menjadi pemberitaan luas media massa. Gaya Kalla yang atraktif bahkan sempa menimbulkan kesan bahwa wapres bekerja melampau yang selayaknya dilakukan orang nomor dua. Itulah yang ingin saya sebut sebagai `duet dinamis'.

Selepas Kalla, Boediono menampilkan gaya yang berbeda secara diametral. Tampil santun, lebih senang bekerja tekun dalam senyap, tak suka dan tak terbiasa berurusan dengan politisi dan partai politik. Wapres Boediono membangun `duet harmonis' dengan Presiden Yudhoyono. Gaya kepemimpinan Boediono membuatnya tak menjadi pusat perhatian media massa. Ia seperti terkurung dalam ruang kerjanya, mengelola aspek-aspek teknokratis dari berbagai kebijakan.

Latar belakang Wapres Boediono sebagai `orang kampus' dan transformasinya menjadi `birokrat yang lurus' berkombinasi dengan kebersahajaan kepribadian. Hasilnya adalah postur wapres yang tak terlihat menonjol, tak suka beratraksi di atas panggung. Berbeda dengan Kalla yang pandai bermanuver di sela-sela kepentingan politik yang berseliweran dalam kerja pemerintahan, Boediono canggung mengurusi lalu lintas pertukaran kepentingan politik. Maka sebagai `pertunjukan' duet dinamis Yudhoyono-Kalla tentu saja lebih `mencekam' karena mengandung banyak unsur `drama politik' ketimbang duet harmonis Yudhoyono-Boediono.

Terlepas dari perbedaan karakter itu, baik Kalla maupun Boediono, dengan cara masing-masing, membuktikan arti penting `wapres yang bekerja', yang fungsional. Baik dilakukan secara atraktif (gaya Kalla) maupun gaya senyap (Boediono), sang wapres mesti memiliki karakter kepemimpinan yang kuat serta kemampuan manajemen pemerintahan dan kebijakan yang mumpuni. Perkara bahwa dalam kedua termin itu kedua pasang presiden dan wapres melahirkan prestasi pemerintahan dan kebijakan yang berbeda, ialah soal lain yang bisa kita diskusikan di kolom lain.

Maka, belajar dari pengalaman satu dekade terakhir, Indonesia tak membutuhkan wapres simbolik, tapi wapres fungsional. Sebagai demokrasi ketiga terbesar di dunia, Indonesia membutuhkan bukan hanya Presiden yang kuat, melainkan juga sinergi sang presiden dengan wapresnya yang juga kuat. Hanya dengan cara itu kita bisa menyandingkan kerumitan prosedur demokrasi dengan kesuksesan pencapaian kesejahteraan.

Elektoral dan fungsional

Walhasil, terlepas dari perbedaan di antara dua karakter kombinasi pemimpin itu, sebuah pelajaran pokok menjadi benang merah yang menyambungkan kedua termin kepresidenan Yudhoyono itu. Benang merah itu, yakni bahwa mencari wapres bukan semata-mata perso alan menemukan rumus elektoral yang paling paten, melainkan juga membangun kerangka kerja fungsional yang paling produktif.

Mencari wapres bukanlah sekadar menemukan pasangan yang berpotensi memenangi pemilu presiden. Mencari wapres adalah mencari formula sinergi orang nomor satu dan nomor dua Republik yang berpotensi membuktikan kerja pemerintahan yang efektif, terutama dalam perbaikan kualitas layanan dan kesejahteraan publik.

Maka, ketika calon presiden dalam Pemilu 2014--baik Joko Widodo, Prabowo Subianto maupun figur lain yang bisa saja muncul belakangan mencari pasangan, selayaknya ia menimbang daya tarik elektoral sekaligus potensi sinergi fungsi yang dimiliki sang kandidat wapres. Sebab Indonesia tak hanya membutuhkan `pasangan juara' yang mampu mendulang suara terbanyak. Indonesia juga membutuhkan sepasang presiden dan wapres yang berkemampuan memenuhi janji-janji kampanye mereka serta mengelola pemerintahan dan kebijakan secara layak.

Walhasil, yang selayaknya dilakukan pun bukan sekadar mengemas `citra' pasangan capres dan cawapres sehingga menarik minat calon pemilih. Yang justru sangat penting yaitu membangun, memelihara, dan mengelola `identitas' dan `integritas' sepasang kandidat itu sejalan dengan kebutuhan pembentukan pemerintahan yang efektif dan penyehatan demokrasi.

Tugas penagih janji

Dalam kerangka itu, sebagai warga negara, saya berharap agar politisi dan pimpinan partai politik tidak hanya sibuk mencukupkan kursi untuk membentuk koalisi pengusung kandidat presiden dan wapres. Saya berharap bahwa mereka juga menimbang dengan seksama kebutuhan mengajukan calon pemimpin yang punya kompetensi sekaligus integritas.

Itu baru separuh harapan. Harapan berikutnya, untuk melengkapi itu, adalah tumbuhnya kualitas baru di kalangan pemilih. Dalam rumusan sederhana, pemilih selayaknya tidak memandang hari pencoblosan atau pencentangan sebagai babak akhir penunaian tugas warga negara, tapi sebagai titik awal. Selepas mencentang atau mencoblos, para pemilih selayaknya mentransformasikan kualitas mereka menjadi warga negara yang aktif menagih janji. Dalam konteks ini, peringatan Susan Stokes lewat buku klasiknya, Mandate and Democracy (2001), layak ditimbang.

Stokes meriset 44 pemilihan presiden di 15 negara Amerika Latin sepanjang 1982-1995. Salah satu hasilnya; para presiden yang dalam kampanye menjanjikan kebijakan populis atau nasionalistis-Stokes menyebutnya sebagai security-oriented policies-lebih banyak yang melanggar janji kampanye mereka ketimbang yang memenuhi dengan teguh.

Ada beberapa sebab yang disebut Stokes di balik gejala pelanggaran janji itu. Salah satunya ialah tidak adanya para warga negara yang menjadi penagih janji. Tanpa para penagih janji, para pemimpin akan dengan sangat mudah melanggar janji. Sambil menyebut Stokes, saya ingin menutup kolom ini dengan menegaskan bahwa Indonesia saat ini bukan hanya sedang mencari wapres (bersama presiden) baru, melainkan juga mencari para penagih janji.

Para penagih janji akan memainkan peranan strategis dalam dua fase politik sekaligus; 1) mencoblos (atau tidak mencoblos) dengan bertanggung jawab dan, 2) memastikan bahwa presiden dan wapres yang terpilih bukan hanya juara secara elektoral, melainkan juga kompeten membuat kebijakan-kebijakan yang menyejahterakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar