Arsip
Nasional dan Kebangkitan Nasional
Susanto
Zuhdi ; Guru
Besar Ilmu Sejarah FIB Universitas Indonesia
|
KOMPAS,
20 Mei 2014
MUNGKIN saja seperti tidak dirancang, Rapat Koordinasi
Arsip Nasional Republik Indonesia pada Selasa (20/5) ini bertepatan dengan
peringatan ke-106 Hari Kebangkitan Nasional. Namun, jelas ada kaitan antara
arsip sebagai memori kolektif dan cara suatu bangsa memperingati hari
bersejarahnya.
Patut dicatat,
peringatan Hari Kebangkitan Nasional secara besar-besaran untuk pertama kali
diadakan pada 1948. Meski dapat diperdebatkan apakah tepat menjadikan Hari
Kebangkitan Nasional dikaitkan dengan berdirinya Boedi Oetomo pada 20 Mei
1908, tetapi itu sudah menjadi mitos yang diperlukan.
Peluang dan tantangan
Saat genap 40 tahun memperingati Boedi Oetomo,
Presiden Soekarno menjadikannya sebagai momentum bangsa untuk bersatu padu
melawan penjajahan kembali Belanda. Tak kurang Ki Hajar Dewantara diangkat
sebagai ketua panitia peringatan. Waktu itu nasib RI seperti ”telur di ujung
tanduk”. Sesudah penandatanganan persetujuan Renville pada Maret 1948,
wilayah RI di Jawa hanya tinggal sebagian Jawa Tengah dengan ibu kota
Yogyakarta.
Situasi
politik makin runyam mengancam perpecahan bangsa setelah Muso pada awal tahun
itu kembali dari Moskwa dengan ”Jalan Baru”-nya. Rakyat dihadapkan pada dua
pilihan: ”Muso” atau ”Soekarno-Hatta”. Tragedi bangsa tak terelakkan dengan
pemberontakan PKI di Madiun pada 18 September 1948. Tragisnya, hanya dalam
beberapa bulan saja ibu kota RI di Yogyakarta diduduki pasukan Belanda dengan
aksi militer yang kedua pada 19 Desember 1948.
Perjalanan
sejarah bangsa telah menunjukkan betapa susah payah menegakkan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebagai negara-bangsa yang telah eksis,
sekarang adalah bagaimana ketika kita dihadapkan pada peluang dan tantangan
di masa depan. Adalah menarik menelaah
pemikiran Prof Dorodjatun Kuntjoro-Jakti dalam bukunya Menerawang Indonesia
Abad Ke-21 (2012). Guru besar Ilmu Ekonomi UI itu mengatakan bahwa ada tiga
unsur penentu bagi masa depan negara bangsa Indonesia: geography, demography,
history (hlm 67).
Dengan
aspek geografi, apa yang kurang bagi sebuah negeri seperti yang dikatakan
banyak orang ”bak zamrud di katulistiwa”? Dengan ”bonus demografi” yang akan
dapat dipetik pada tiga dekade mendatang, apa pula yang mengkhawatirkan?
Dengan
history—meski merupakan faktor yang lebih labil dibandingkan dengan kedua
unsur lainnya—karena sejarah merupakan ranah multitafsir, sejarah justru
menawarkan sejumlah pilihan strategis. Hal itu karena sejarah adalah
pengalaman perjalanan suatu bangsa.
Ada tiga
filosofi melihat sejarah: berjalan maju, bergerak spiral, dan yang akan
berulang. Meski umum diketahui bahwa Indonesia merupakan fenomena muncul di
awal abad ke-20, akarnya dapat dicari jauh ke belakang.
Beginilah
jika dimensi historis hendak diterapkan. Indonesia adalah sebuah cita-cita
sekaligus konsep politik yang diperjuangkan dengan ”darah dan air mata”
sehingga mewujud ke dalam bentuk negara kesatuan (NKRI). Dalam arti
kelanjutan dari masa lampau, Nazaruddin Syamsuddin—seperti memperkuat
pendapat Muhammad Yamin—dalam pidato pengukuhan guru besar ilmu politik di UI
(1994), menyebut bahwa Indonesia yang diproklamasikan pada 1945 merupakan
”republik” ketiga.
Dua
”republik” sebelumnya adalah Sriwijaya dan Majapahit. Sulit bagi telaah ilmu
sejarah untuk membenarkan pendapat tersebut. Lagi-lagi, jika mitos boleh
dipakai, ini sangatlah perlu untuk membangkitkan rasa bangga. Ditilik dari
luas wilayahnya saja ada perbedaaan antara kedua kerajaan itu dan NKRI yang
merupakan bekas jajahan Belanda. George McTurnan Kahin (1952) pernah
mengemukakan, salah satu faktor terbentuknya nasionalisme Indonesia—sebagai
dasar berdirinya negara—karena adanya kebanggaan atas kejayaan kerajaan besar
di Sumatera dan Jawa itu.
Berada
pada silang dua benua dan dua samudra, NKRI sungguh mempunyai peluang besar
menjadi negara maju dan kuat. Namun, sekaligus dihadapkan pada tantangan dan
ancaman ke depan yang semakin berat dan kompleks. Bagaimana mempertahankan
NKRI dihadapkan pada lingkungan strategis yang semakin berubah cepat dan
sering tak terduga. Bagaimana pelajaran sejarah pertahanan bangsa dapat
dijadikan modal untuk menghadapi ancaman disintegrasi bangsa dan integritas
wilayahnya itu?
Ingatan kolektif bangsa
Faktor
sejarah sebagaimana ditekankan Prof Dorodjatun—di sini hendak diberi makna
lain sebagai ”perekat bangsa”—diharapkan mampu menjadi unsur soliditas bangsa
dan kokohnya NKRI. Sejarah dapat berfungsi sebagai perekat jika simpul-simpul
ingatan, yang merajut bangsa dengan keragaman masyarakat dan budayanya,
dirawat. Persoalannya adalah apakah pelajaran sejarah kita telah berjalan
baik? Sudahkah sejarah dipelajari dengan kritis, tetapi berdimensi penanaman
nilai-nilai cinta Tanah Air dan kebangsaan?
Rakor
Arsip Nasional yang bertujuan
menyelamatkan arsip mengenai perbatasan negara sungguh merupakan
program strategis. Berbagai instansi yang hadir diharapkan menyerahkan arsip
sebagai amanah UU Nomor 43 Tahun 2007 tentang Kearsipan Negara. Merawat arsip
pada dasarnya sama dengan merawat ingatan kolektif bangsa. Ia fondasi bagi
tegaknya negara. Karena itu, untuk memperkokoh NKRI dapat pula dilakukan
dengan cara merawat arsip dan tentu dengan menelaahnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar