Sayangi
KPK sesuai Hukum
Nurul Ghufron ; Dekan Fakultas Hukum Unej
|
JAWA
POS, 04
Mei 2017
PR
telah mengetok palu hak angket terhadap KPK, pro dan kontra terbelah pada
pemihakan ”pro-KPK vs kontra-KPK”, yang setuju dicap sebagai kontra-KPK. Saya
akan mengajak khalayak untuk mencintai KPK dengan cara hukum.
Sebelumnya,
mari kita koridori hak angket tersebut sebagai hak konstitusional DPR untuk
menyelidiki suatu kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting,
strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
bernegara bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Hak
angket adalah bagian dari hak dari lembaga legislasi. Hak tersebut diatur
dalam UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Dalam negara
demokrasi, kekuasaan dipercaya harus dibagi dan tidak disentralkan.
Sentralisasi kekuasaan hanya mengakibatkan absolutisme yang cenderung korup.
Pemikiran itu yang mendasari kekuasaan negara, yang setidaknya dibagi dalam
tiga poros kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Adalah
salah jika ada pihak yang akan menggunakan wewenangnya kemudian dihalangi dan
dianggap tidak layak. Bagaimanapun, DPR adalah lembaga legislatif yang
karenanya menyandang hak angket.
Sementara
itu, KPK berdasar UU No 30 Tahun 2002 adalah lembaga independen yang
berwenang melakukan penyelidikan dan penuntutan. Kekuasaan tersebut tidak
mungkin masuk di wilayah legislatif ataupun yudikatif. Menyidik dan menuntut
di mana pun pasti masuk kekuasaan eksekutif sehingga KPK dalam pemilihan
kekuasaan masuk bagian eksekutif. Namun, KPK juga termasuk lembaga
independen. Maksudnya, independen dalam menyidik dan menuntut yang tidak di
bawah kendali kekuasaan lembaga negara lainnya.
Ada
sejumlah alasan penolakan terhadap penggunaan hak angket. Pertama, asumsi
yang berkembang bahwa angket dilancarkan untuk menghambat penyidikan dugaan
korupsi e-KTP. Seandainya asumsi itu benar, tentu tidak kemudian angket bisa
memasuki hasil berita acara pemeriksaan (BAP). Sebab, objek angket adalah
sesuatu hal tentang pelaksanaan kekuasaan yang dianggap tidak sesuai
perundang-undangan. Berkaitan dengan kewenangan substansial dan prosedur
formal penyidikan dan penuntutan, angket tidak boleh masuk pada hasil BAP
yang dalam koridor kerahasiaan sampai dakwaan dibacakan di pengadilan.
Semua
itu memang sebuah kewajaran. Namun, juga tidak berarti bahwa penggunaan
angket masuk materi penyidikan dan penuntutan. Angket hanya bisa menyoal
apakah dalam menyidik atau menuntut terdapat pelaksanaan yang tidak sesuai
UU. Angket hanya boleh mempermasalahkan aspek formal pelaksanaan
undang-undang dan bukan hasil secara materiil pelaksanaan penyidikan dan
penuntutan berdasar UU KPK.
Panitia
hak angket DPR dalam bertugas menyelidiki dapat meminta keterangan dari perwakilan
pemerintah, saksi, pakar, organisasi profesi, dan semua pihak terkait
lainnya. Sekali lagi hanya untuk menilai pelaksanaan kewenangan penyidikan
dan penuntutan oleh KPK, dan bukan masuk pada hasil penyidikan dan penuntutan
yang dilindungi kerahasiaannya oleh hukum. Termasuk kekhawatiran tentang
pemaksaan sebagaimana terjadi di Komisi III DPR yang meminta agar hasil
rekaman komunikasi saksi dan tersangka untuk dibuka. Hal tersebut bukanlah
objek angket.
Kedua,
pengusung hak angket adalah para teman tersangka korupsi e-KTP sehingga bisa
dipahami bahwa itu adalah serangan balik. Publik dan pengamat pun kemudian
dibelah bahwa yang pro-angket dianggap kontra-KPK. Sebaliknya, yang
kontra-angket dianggap pro-KPK. Pemisahan tersebut tentu tidak menyehatkan
bagi KPK. Bagaimanapun, KPK adalah harapan dan tumpuan pemberantasan korupsi.
Namun, menyayangi KPK dengan membiarkannya tanpa pengawasan juga akan
mendorong KPK kepada jurang kesalahan yang sama dengan lembaga lainnya yang
memiliki kekuasaan besar tanpa ada kontrol. KPK adalah bagian dari lembaga
dalam struktur demokrasi yang memerlukan check and balance. Karena itu,
biarlah KPK tumbuh sehat selayaknya lembaga di negara demokrasi yang butuh
pengawasan agar tumbuh secara sehat dan terus menjaga diri dalam kebenaran.
Menyayangi KPK dengan melindunginya agar tidak terjamah dari pengawasan hanya
akan melahirkan lembaga yang semakin jauh dari hukum.
Sebaliknya
bagi DPR, hal itu juga tidak berarti kesempatan untuk menekan dan memaksakan
kehendaknya kepada KPK. Seluruh rakyat akan terus melihat kerja angket yang
sedang dilakukan DPR, jika angket tidak lebih sebagaimana dikhawatirkan
banyak orang dan itu terbukti. Taruhan secara politik tersebut akan semakin
merusak citra DPR, malah dalam kondisi itu KPK akan semakin dilindungi
rakyat. Bukan tidak mungkin rakyat akan kembali turun untuk melindungi KPK
dari ”dagelan” angket DPR. Karena itu, ini adalah momen bagi DPR untuk
rebound atas sejumlah perilaku yang memperburuk citra DPR. Ini sekaligus
menjadi pembelajaran politik bahwa DPR ternyata masih bisa benar.
KPK
pun tidak perlu menganggap angket adalah musibah buruk. Hadapilah angket DPR
dengan penjelasan atas pelaksanaan kewenangan penyidikan dan penuntutan yang
telah dilakukan selama ini. Andai ada hal-hal yang salah, itu adalah
kesempatan bagi KPK untuk memperbaiki, asumsi diri bahwa pelaksanaan wewenang
penyidikan dan penuntutan telah sesuai dengan UU KPK dan hukum acara pidana.
Semua perlu diuji dan dibuktikan agar asumsi yang ada bisa menjadi kebenaran
yang tidak terbantahkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar