Mendadak
Merasa Berbeda
J Kristiadi ; Peneliti
Senior CSIS
|
KOMPAS, 16 Mei 2017
Secara eksistensial dan natural, bangsa Indonesia adalah
nation yang multikultural. Perbedaan bukan sesuatu yang asing bagi rakyat
Indonesia karena keragaman sudah melekat erat dan dianggap sebagai kodrat
keberadaan bangsa Indonesia. Namun, mengapa beberapa tahun terakhir tiba-tiba
mendadak timbul rasa berbeda antarwarga bangsa, masing-masing merasa menjadi liyan (bukan lagi teman). Nuansa itu
sangat mudah dicecap mulai dari relasi dengan sopir, sejawat, tetangga, grup
WA (Whatsapp), hingga teman sekantor. Bahkan, sampai mode pakaian dan
arsitektur bangunan pun dapat memicu rasa berbeda dan menimbulkan rasa tidak
nyaman. Relasi sosial sudah tidak wajar, masing-masing seakan mencoba
menyembunyikan rasa saling curiga.
Rasa berbeda itu terasa mendadak dan menyengat karena
selama puluhan tahun bangsa Indonesia merawat kodrat keragaman dengan
mengembangkan harmoni, toleransi, dan saling menghargai. Pluralitas bukan
menjadi garis pembatas identitas, melainkan justru menjadi khazanah mulia
bangsa. Relasi itu makin cair karena garis kesetiaan afiliasi primordial
sudah silang-menyilang sehingga unit sosial terkecil, keluarga, dapat terdiri
atas berbagai unsur primordial yang tumpang tindih, garis agama, suku, ras,
dan lain-lain.
Kebinekatunggalikaan sudah dirasakan dalam keluarga. Maka,
tidak mengherankan kalau dunia pun tidak hanya terpesona, tetapi juga
ternganga dengan praktik kebangsaan di Indonesia. Mereka juga sangat
mengagumi dan menghargai sikap moderat Islam di Indonesia sehingga selalu
dijadikan contoh bagi negara-negara lain yang mayoritas penduduknya memeluk
agama Islam.
Keharmonisan kehidupan bangsa tidak jatuh dari langit,
tetapi merupakan hasil perjuangan berdarah-darah dan kerja amat keras dan
saling berkorban untuk mencari titik temu dari para pendiri bangsa yang
terdiri dari berbagai aliran, agama, suku, ras, dan ciri-ciri identitas
eksklusif lainnya. Mereka bahu-membahu melakukan gerakan melawan penjajah
dengan merajut semua perbedaan dan solidaritas primordial menjadi suatu
kekuatan dahsyat sehingga dapat melawan kebengisan kolonial. Proses rakyat
Indonesia mengembangkan kebangsaan dimulai dari dinamika dan dialektika
pergerakan rakyat membangun bangsa, membentuk negara berdasarkan nilai-nilai
inklusif dalam Pancasila, konstitusi yang menegaskan bentuk negara adalah
republik serta kesetaraan semua warga bangsa di depan hukum.
Namun, pertanyaannya, mengapa kalau fondasi hidup harmonis
yang ditopang oleh nilai-nilai luhur dan sejarah panjang perjuangan para
pendiri negara mendadak merasa berbeda dan bernuansa saling curiga?
Jawaban
generik dan klasik adalah semua perjalanan bangsa tidak selalu linier, tetapi
berliku-liku dan tidak jarang sarat derita. Penyebab yang lebih spesifik
adalah beban berat bangsa mengelola negara (kekuasaan).
Penelusuran sejarah, antara lain dalam buku Menjadi
Indonesia oleh Parakitri Simbolon (Penerbit Buku Kompas dan Grasindo, 1995),
bahwa rakyat Indonesia selama ratusan tahun dijajah sampai Jepang menyerah
tahun 1945, tidak berpeluang membangun tradisi pemerintahan yang bertanggung
jawab. Praktik pengelolaan kekuasaan sejak kemerdekaan hingga sekarang ini
selalu bersifat ”uji coba”; narasi besarnya adalah Demokrasi Terpimpin,
Demokrasi Pancasila, dan kini Demokrasi Pascareformasi.
Tragisnya, keterbatasan empirik mengelola negara berpacu
dengan hasrat menggebu para elite politik berburu kekuasaan. Akibatnya,
pranata dan lembaga negara menjadi lemah; sementara itu tantangan membangun
negara semakin kompleks karena faktor ketidakadilan mengelola globalisasi,
praktik pasar bebas yang nyaris absolut, jurang kaya-miskin semakin lebar.
Semua faktor tersebut bertemu dengan paham populisme berbasis solidaritas
primordial, neonasionalisme, politik pasca-kebenaran (post-truth politics)
dengan digitalisasi politik.
Adonan dari berbagai variabel tersebut juga melanda jagat
perpolitikan Indonesia. Pilkada DKI Jakarta yang keras dan kumuh karena
polusi ujaran kedengkian SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) telah
usai, tetapi tampaknya rasa berbeda bernuansa SARA antarwarga masih akan berlanjut.
Putusan penjara dua tahun atas Basuki Tjahaja Purnama oleh Pengadilan Negeri
Jakarta Utara dan langsung masuk tahanan dalam kasus dugaan penodaan agama
dianggap oleh sebagian masyarakat Indonesia dan dunia tidak adil.
Gerakan mengirim bunga dan menyalakan lilin sebagai
manifestasi pengakuan heroisme Basuki berjuang habis-habisan menyejahterakan
warga Jakarta berlanjut ucapan duka atas ketidakadilan. Bola salju pengiriman
bunga dan menyalakan lilin tampaknya tidak hanya berkenaan dengan nasib Basuki,
tetapi juga gerakan dan simbol menyelamatkan ke-Indonesia-an dari ancaman
serius politik sektarian.
Mencermati dinamika dan dialektika politik dewasa ini,
kalau tidak ditangani dengan bijak, pertaruhannya adalah ke-Indonesia-an yang
inklusif. Langkah mendesak adalah dialog rasional para tokoh masyarakat untuk
mendinginkan politik yang hampir mencapai titik didih yang membahayakan
eksistensi dan survivalitas negara. Berikutnya, negara atau persisnya
presiden harus mengonsolidasikan pemerintahan dan bertindak tegas terhadap
mereka yang mengancam konstitusi dan Pancasila, serta berkompromi secara
terukur dengan lawan-lawan politiknya. Semua itu dilakukan demi masa depan
bangsa Indonesia yang lebih kuat dan sejahtera. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar