Institusionalisasi
Kebohongan
Agus Sudibyo ; Direktur Indonesia New Media
Watch
|
KOMPAS, 06 Mei 2017
”Dengan menyediakan akses ke berbagai kalangan dengan
beragam latar belakang, media sosial memperkaya pengetahuan dan perspektif
penggunanya.” Inilah klaim perusahaan media sosial Facebook tentang apa yang
mereka berikan kepada penggunanya.
Harus diakui, media baru memberikan keluasan lingkup
pemikiran dan sudut pandang. Internet hadir menembus berbagai
ketidakmungkinan. Hari ini, masyarakat dapat memperoleh informasi, data, dan
wacana dalam spektrum yang sangat luas dengan begitu mudah dan murah. Media
sosial memungkinkan setiap orang untuk bertindak sebagai sumber yang otonom
dan bebas dalam ruang publik baru yang sangat egaliter.
Peran internet
Namun, benarkah internet memperkaya perspektif dan
pemahaman penggunanya? Farhad Manjoo dalam ulasannya berjudul ”How the Internet Is Loosening Our Grip on
the Truth” (New York Times,
3/11/2016) menunjukkan tren yang sebaliknya. Merujuk pada beberapa penelitian,
Manjoo mengingatkan media sosial juga berdampak distortif terhadap pemahaman
masyarakat tentang kebenaran dan bagaimana kebenaran semestinya diperlakukan.
Kebanyakan pengguna internet, terlebih-lebih ketika menghadapi hoaks dan
fakenews, terjerembab dalam apa yang disebut sebagai echo chambers of information.
Keluasan data, informasi, dan perspektif yang tersaji di
dunia maya tidak selalu membuat pikiran kita lebih terbuka terhadap perbedaan
dan keragaman tafsir. Sering terjadi, banyak orang menggunakan internet hanya
untuk memperoleh informasi atau pernyataan yang mengafirmasi pendapatnya
sendiri, lalu kemudian menganggap informasi dan pernyataan yang sebaliknya
sebagai bohong atau palsu.
Banyak orang menggunakan internet untuk menjumpai
orang-orang seideologi serta untuk menempatkan orang-orang yang tidak
seideologi sebagai musuh atau pesakitan. Lebih jauh lagi, mereka kemudian
menyebarkan keyakinan ideologis tanpa merasa perlu untuk melakukan
falsifikasi terlebih dahulu. Alih-alih memperluas cakrawala pemikiran,
internet di sini lebih berfungi sebagai sarana untuk meneguhkan dan
menyebarkan keyakinan ideologis tanpa peduli betapa problematisnya penyebaran
keyakinan tersebut bagi khalayak luas.
Hal ini dibuktikan dalam penelitian The Laboratory of Computational
Social Science di IMT School for Advanced Studies Lucca, Italia, tahun 2014.
Penelitian ini menunjukkan ketidakpercayaan institusional (institutional
distrust) dan bias kognitif merupakan fakta dominan dalam lalu lintas diskusi
di media sosial. Para pengguna media sosial hanya tertarik pada informasi
atau pernyataan yang sesuai dengan pandangannya sendiri meskipun mereka paham
informasi dan pernyataan tersebut spekulatif atau palsu.
Berhadapan dengan pluralitas pendapat dan perspektif,
pengguna internet justru cenderung irasional dan acuh tak acuh. Mereka selalu
terdorong berbicara secara impulsif dan spontan berdasarkan pra-anggapan,
bias, dan apriori yang telah terlebih dahulu ada dalam benak mereka.
Apa yang hilang pada aras ini lebih mendasar dari sekadar
keterbukaan terhadap perbedaan pendapat, tetapi juga sesuatu yang khas bagi
spesies manusia: kemampuan berkomunikasi dengan diri sendiri (intrapersonal communication).
Yang membedakan manusia dengan binatang adalah binatang
bertindak murni berdasarkan naluri, sedangkan manusia mampu bertindak
berdasarkan pertimbangan hati nurani, norma-norma serta empati pada orang
lain. Manusia adalah makhluk yang mampu menunda tindakannya untuk berpikir
tentang dampak dan konsekuensi.
Pada era media sosial hari ini, kemampuan berkomunikasi
intrapersonal ini memudar pada begitu banyak orang. Tiba-tiba saja pengguna
media sosial, tidak peduli latar belakang pendidikan dan status sosialnya,
muncul bagaikan serigala yang siap menerkam siapa pun yang berbeda pendapat
dengan dirinya.
Yang juga hilang pada diri pengguna media sosial adalah
kemampuan melakukan verifikasi. Hari ini, kemampuan atau lebih tepatnya
kemauan untuk melakukan verifikasi menjadi sesuatu yang mahal. Bahkan, media
konvensional pun semakin lazim mengabaikan disiplin verifikasi. Kalaupun
masih ada segmen media jurnalistik yang berusaha berdisiplin verifikasi,
ikhtiar mulia ini kalah gaungnya dengan arus hoaks dan fakenews yang begitu
deras membanjiri ruang media.
Industri kebohongan
Dalam konteks inilah, Manjoo berbicara tentang fenomena
institusionalisasi kebohongan. Institusionalisasi ini terjadi paling tidak
dalam tiga pengertian. Pertama, hoaks dan fakenews tidak diperlakukan sebagai
amoralitas atau pelanggaran hukum, tetapi justru secara sengaja dipraktikkan
bahkan dikomodifikasi. Persebaran hoaks dan fakenews telah menjadi bisnis
baru dan diadopsi sebagai bagian dari strategi pemenangan pemilu.
Analisis BuzzFeed terhadap pesan-pesan politik yang
disebarkan melalui Facebook tentang pemilihan Presiden Amerika Serikat tahun
lalu menunjukkan 38 persen dari pernyataan-pernyataan kubu Republik
berisihoaks atau fakenews, demikian juga sebaliknya, 20 persen dari
pernyataan-pernyataan kubu Demokrat juga hoaks atau fakenews.
Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Dalam Pilkada DKI
Jakarta, misalnya, cukup mudah menemukan bukti-bukti bahwa di gelanggang
media sosial, semua kandidat dirugikan sekaligus diuntungkan oleh
penyebaranhoaksdan fakenews. Menyudutkan lawan politik dengan informasi yang spekulatif
dan menghakimi menjadi hal yang tak terelakkan dalam strategi pemenangan
pemilu pada kedua belah pihak.
Kedua, cara yang paling ampuh untuk menghadapi hoaksdan
fakenews sesungguhnya adalah dengan mengalihkan perhatian publik pada
jurnalisme yang benar dan bermartabat. Namun, bersamaan dengan datangnya
gelombang hoaks dan fakenews, media jurnalistik konvensional justru tengah
mengalami krisis eksistensi yang luar biasa.
Meminjam analisis Senator Claire McCaskill (The New York
Times, 6/10/2016), jika demokrasi mengalami krisis dewasa ini, penyebabnya
bukan hanya karena hoaksdan fakenews telah merasuki masyarakat, tetapi juga
karena media jurnalistik konvensional tidak mampu hadir sebagai ”juru
selamat”.
Media konvensional gamang dalam mentransformasikan diri
dalam lanskap komunikasi-informasi yang baru dan semakin memudar performa
bisnis sekaligus pengaruh politiknya. Jika masyarakat semakin terseret oleh
arushoaks dan fakenews, itu karena jurnalisme yang benar dan bermartabat
tidak hadir dengan kekuatan yang mengarahkan masyarakat.
Ketiga, institusionalisasi kebohongan pada akhirnya
mewujud dalam ketidakmampuan kolektif untuk membedakan mana yang bohong dan
mana yang jujur, mana yang palsu dan mana yang asli. Dalam ruang publik yang
sedemikian rupa didominasi oleh media-media baru hari ini, masyarakat
kehilangan referensi untuk memahami persoalan secara jernih dan hati-hati.
Sebagian media jurnalistik konvensional tidak bisa mengambil jarak dari arus
hoaksdan fakenews, alih-alih justru memanfaatkannya sebagai strategi untuk
menarik perhatian khalayaknya.
Karena itu, yang terjadi kemudian adalah yang bohong
dianggap sebagai kebenaran, yang benar dipahami sebagai fitnah, yang palsu
sering dianggap sebagai asli dan seterusnya. Inilah habitat yang kondusif
untuk berkembangnya industri kebohongan dan kepalsuan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar