Dari
Pemilih ke Konsumen Politik
Rachmah Ida ;
Dosen Komunikasi Politik, FISIP Universitas
Airlangga
|
MEDIA
INDONESIA, 18 Februari 2017
DALAM
kontestasi kampanye politik satu dekade belakangan ini, telah terjadi
pergeseran memaknai konstituen politik dari konsep pemilih (voter) menjadi
konsep konsumen (consumer). Andrew
Hughes (2011) menyebut tren kampanye politik di dunia saat ini menghasilkan
konsumen-konsumen politik (political
consumer) daripada pemilih politik: “We’ve
lost the voters, but gained the consumer.”
Awalnya,
kampanye politik dilakukan sebagai salah satu bentuk sosialisasi politik
dalam proses pemilihan. Kampanye menjadi salah satu faktor dalam proses
perilaku memilih (voting behaviour)
kepada pemilih dalam proses jangka pendek atau short-term process. Biasanya
kampanye dilakukan parpol sebagai persuasi politik bagi pemilih-pemilih yang
tidak punya partai identifikasi sebelumnya atau undecided voter dan para swing voter.
Perkembangan
dalam komunikasi politik masa post-modern ini, kampanye politik tidak hanya
dipandang sebagai bentuk dari komunikasi persuasi klasik memengaruhi
kepala-kepala pemilih dan meyakinkan pemilih untuk memilih parpolnya. Hal
yang terjadi saat ini, kampanye politik telah menjadi bagian dari marketing
atau pemasaran politik.
Politik saat
ini telah bergeser dari ideological-driven
menuju pada consumption-driven.
Hughes (2011) bahkan mengatakan pemilih atau voter telah menjelma menjadi
konsumen produk politik dalam frame marketing politik. Ke mana kampanye yang
kaya akan ide-ide ideologi politik dan demokrasi, yang kini bergeser pada
aktivisme yang mengedepankan popularitas? Karena itu, Hughes menyebut
demokrasi telah mati, marketing politiklah yang semakin hidup atau menggeliat
saat ini hingga tahun-tahun ke depan.
Kampanye
politik pun bergeser, dari yang dulunya lebih mengutamakan figur-figur
politik dengan keluarganya, ceritanya, dan perjuangannya untuk menarik hati
pemilihnya, berubah pada hip-hop politik. Kampanye yang dulunya juga lebih
fokus pada mimpi-mimpi kandidat politik untuk mengubah kondisi sosial dan
ekonomi negaranya atau daerahnya dan menjanjikan solusi-solusi masalah jika
terpilih, telah bergeser menjadi pesta-pesta popularitas.
Saat ini
barangkali, kampanye tidak lagi dilihat sebagai bentuk komunikasi persuasi
menunjukkan kekuatan dan kelemahan para petarung, tetapi lebih pendekatan
‘apa yang dibutuhkan pemilih’ (voters’ needs).
Contoh
bagaimana marketing politik yang berhasil bisa dilihat kala Presiden Barack
Obama yang mampu mewujudkan apa yang dibutuhkan atau diinginkan
khalayak/pemilih AS saat itu. Ketika ide dan diskursus perubahan--jargon
‘Change’--kala itu dipakai sebagai ikon atau tagline marketing politik tim
Partai Demokrat. Respons jeritan histeris dan tepuk tangan aplause
bertubi-tubi mengelilingi Obama. Semakin keras histerisme massa, indikasinya
parpolnya tadi disukai atau lebih populer bagi undecided voter yang jumlahnya
besar.
Keberhasilan
Obama dengan ikon ‘Change’-nya diikuti Presiden Donald Trump yang mengusung
tagline ‘Make America great again’. Komentar dan analisis politik pun
mengarahkan ide-ide populismelah yang membuat Trump menang. Sama halnya
ketika Partai ALP di Australia menggunakan ikon ‘It’s time’, kemenangan
dengan mudah diperoleh karena ide populer marketing politiknya.
Dalam
marketing politik, parpol dan para kandidat politiknya akan mendapatkan
konsumen politik daripada pemilih politik. Konsumen politik lebih tertarik
pada produk dan unsur komersialnya daripada ideologi-ideologi politik yang
membosankan. Konsumen politik pun sifatnya lebih short-term atau berjangka
pendek.
Konsumen
politik adalah warga negara yang tidak mempunyai loyalitas terhadap parpol
identifikasinya. Mereka lebih suka memilih kandidat dengan popularitas dan
ide-ide populisme daripada orang-orang lama yang konservatif terhadap
ideologi politik partainya.
Me voter
Penggunaan
iklan televisi cenderung mengalami penurunan dalam aktivitas kampanye politik
saat ini. Kampanye melalui iklan yang memakan biaya mahal tidak lagi banyak dipakai.
Di Indonesia, misalnya, awal masa reformasi, iklan-iklan televisi swasta
nasional dan swasta lokal dipenuhi dengan iklan personal branding.
Dalam fase
baru pemilu di era post-authoritarian Orba, fenomena marketing politik
dimulai dengan penampakan personal branding itu. Ideologi politik sudah mulai
ditinggalkan. Personal branding semakin kondang ketika mantan Presiden SBY
menunjukkan kesuksesan popularitas dirinya menang menjadi presiden.
Masa Pemilu
2014, fenomena ini ‘diubah’ Presiden Jokowi. Strategi political branding dan
personal branding dibuat dengan model ‘blusukan’ dan penggunaan besar-besaran
media sosial. Kubu Presiden Jokowilah yang dulu mengklaim tidak perlu buang
uang beriklan, dengan blusukan, kampanye lebih berhasil dan real voter atau
pemilih nyata lebih mudah dideteksi daripada mendeteksi penonton iklan
televisi yang tidak ketahuan batang hidungnya.
Sementara itu,
pemilih politik yang dulu lebih long-term atau mempunyai party loyalty karena
penguasa otoriter yang memegang kendali politik jangka panjang kini sirna.
Dulu, keluarga militer pasti Golkar; para nasionalis sudah pasti PDI; dan
muslim yang devout atau taat atau konservatif sudah pasti memilih PPP dengan
Kabah-nya.
Belakangan
ini, pemilih sudah tidak tertarik dengan gambar partai dan warna ideologis
yang dibawa parpol. Tren yang berkembang pemilu politik dianggap pesta
politik yang sifatnya pendek--dengan dinamika 5 tahun berganti.
Calon pemilih
bukan lagi segolongan massa besar yang mudah dimobilisasi. Pemilih sekarang
lebih ‘individual’, yang dikatakan Hughes (2011) sebagai ‘Me’ voter, yang
saat ini lebih dominan, daripada kelompok pemilih yang pasif. Konsumen baru
politik sifatnya lebih tersegmentasi dan tertarik pada isu yang spesifik.
Mereka hanya tertarik pada satu atau dua isu yang relevan dengan mereka
daripada janji-janji politik jangka panjang. Satu atau dua isu itu yang akan
menarik bagi segmen tertentu.
Sifat konsumen
politik yang ‘Me voter’ juga itulah yang jumlahnya potensial dalam marketing
politik saat ini. Mereka yang lebih tertarik pada isu tunggal atau ‘single
issue’ daripada banyak isu yang tidak membumi atau do-able. Belakangan,
pengaruh teknologi digital dan konvergensi media memberikan banyak alternatif
baru kampanye, termasuk masuknya budaya populer seperti flash mob sebagai
alat marketing politik modern. Kini demokrasi politik seakan mengalami
degradasi geregetnya bila dibandingkan dengan hip hop politik.
Media sosial
berkontribusi pada hiruk pikuk dan popularitas politik dan isu-isu poltik
identitas. Pemilih berubah menjadi konsumen politik yang terlibat dalam dua
hal itu, popularitas politik dan politik identitas. Isu ini barangkali yang
bisa dipertimbangkan dalam pemenangan pilkada dan pemilu nasional di Tanah
Air saat ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar