Terorisme
Ekonomi Daging Sapi
Rochadi Tawaf ;
Dosen
Ekonomi Peternakan Fakultas Peternakan
Universitas Padjadjaran; Anggota Persepsi Jabar
|
KOMPAS, 20 Februari 2017
Kasus operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap
PA, seorang hakim Mahkamah Konstitusi, merupakan klimaks dari karut-marutnya
persoalan daging sapi selama ini.
Sejak program swasembada daging jadi tren pada 1995,
hingga kini pembangunan peternakan sapi potong diwarnai situasi tidak
menentu. Banyaknya kebijakan yang lahir tidak berbasis saintifik merupakan
salah satu penyebab maraknya importasi daging ilegal pada 2003-2004 dan
tingginya fluktuasi harga daging.
Pada akhir 1990-an muncul wacana untuk mengubah
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH)
karena dirasakan UU itu harus mampu mengikuti perkembangan zaman. Meski
demikian, upaya mengubah UU tersebut memerlukan waktu panjang, sekitar 10
tahunan baru terbentuk UU No 18/2009. UU tersebut ternyata hanya berusia
seumur jagung. Setelah diuji materi pada 2010, UU itu kemudian diperbarui
atas inisiatif DPR menjadi UU No 41/2014.
Hingga kini terhadap UU PKH yang baru telah dilakukan uji
materi sebanyak empat kali: dua kali oleh kelompok masyarakat peternak sapi
dan masing-masing sekali oleh kelompok masyarakat perunggasan serta
masyarakat konsumen. Jika diamati secara saksama, perjalanan panjang tersebut
tidak menjamin UU yang dihasilkan DPR sesuai harapan para pemangku
kepentingan. Pasalnya, UU PKH belum mampu memenuhi aspirasi para pemangku
kepentingan.
Terorisme ekonomi
Terorisme ekonomi, menurut Pakkanna (2016), adalah jenis
teror yang kerap menyelimuti ekonomi rakyat. Rakyat menjadi tidak berdaya
karena menghadapi problema struktural, yang ujung-ujungnya melahirkan
ketimpangan dan kesenjangan. Gerakan terorisme apa pun jenisnya adalah produk
ketidakadilan struktural. Dalam bidang ekonomi, ketidakadilan dapat dilihat
kasatmata berupa ketimpangan.
Lemahnya keberpihakan negara pada ekonomi rakyat, yang
diiringi pemberian keistimewaan khusus bagi kelompok tertentu, terutama
kepada kelompok pemodal yang didukung oligarki politik, memberikan
"karpet merah" kepada pemodal yang menguasai sumber daya ekonomi.
Dalam konteks itulah, kuasa pemodal melakukan siasat "teror mental"
(Andalas, 2010) sehingga memicu ekonomi rakyat tidak berdaya.
Terorisme ekonomi membuat tatanan ekonomi rusak, jutaan
pekerja kehilangan pekerjaan, tak ada perdamaian, kehidupan sosial menjadi
kacau, penuh pembunuhan dan tindak kriminal. Bahkan, bangsa bisa bangkrut
sehingga semua milik negara dijual kepada asing (Mahathir Mohamad dalam
Khudori, 2003). Sejumlah pendapat menyatakan bahwa cara kerja untuk
memuluskan "terorisme ekonomi" dimulai dari menggarap berbagai
kebijakan dasar sampai dengan kebijakan tingkat operasional.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, sejatinya proses
pembentukan UU PKH diduga merupakan ajang bagi kaum predator ekonomi,
khususnya pemodal dan pebisnis daging sapi, dalam memanfaatkan kebijakan
tersebut untuk kepentingannya menjalankan "terorisme ekonomi daging
sapi".
Faktanya, terang benderang ada keterlibatan para pengusaha
importir daging dalam kasus operasi tangkap tangan KPK meski dengan cara
memutarbalikkan fakta seolah membela kepentingan peternakan rakyat, kendati
sejatinya tak ada untungnya buat mereka. Melihat fenomena selama ini
sesungguhnya tak mungkin importir daging membela kepentingan peternak
domestik.
Pasar daging sapi
Indonesia dengan penduduk sekitar 250 juta merupakan pasar
daging sapi terbesar di Asia Tenggara. Dalam setahun, kebutuhan daging sapi
sekitar 670.000 ton, dipenuhi dari potongan sapi lokal 440.000-an ton dan sisanya dari impor
230.000-an ton. Berdasarkan analisis dari data yang ada, volume impor daging
sapi dari tahun ke tahun terus meningkat. Hal ini terutama disebabkan
elastisitasnya permintaan daging sapi. Artinya, makin tinggi pendapatan,
konsumsi akan meningkat.
Namun, di sisi lain pemerintah menetapkan kebijakan atas
harga daging Rp 80.000 per kilogram. Atas kebijakan ini ternyata dalam
operasionalisasinya pemerintah telah melahirkan berbagai aturan yang
sepertinya tak lagi mengindahkan kaidah-kaidah normatif pembangunan
peternakan yang berpihak kepada produsen. Kondisi ini dimanfaatkan para
penikmat bebas yang bertualang memanfaatkan bisnis ini.
Bisa dibayangkan apa yang tengah terjadi, yaitu besarnya
keuntungan importir "daging industri" yang dijual sebagai
"daging konsumsi" dengan profit bisa lebih dari 50 persen. Hal
serupa terjadi pada bisnis importasi daging kerbau yang berasal dari negara
yang belum bebas penyakit mulut dan kuku (PMK).
Pada posisi seperti sekarang ini, peternak rakyat sebagai
produsen telah menjadi korban, sementara konsumen dan importir yang menikmati
keuntungan. Dampak lanjutnya kini mulai dirasakan di sentra-sentra konsumen,
seperti di Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten. Para peternak penggemukan
sapi potong rakyat yang semula menyangga wilayah ini untuk pengadaan sapi
siap potong domestik kini telah mulai mengubah orientasi bisnis usahanya pada
bisnis penyediaan hewan kurban tahunan.
Alasannya, pasar hewan kurban jauh lebih menjanjikan
harganya ketimbang pasar tradisional yang ada. Hal ini terjadi karena pasar
mereka dibanjiri daging kerbau asal India yang relatif murah harganya sebagai
substitusi daging sapi. Jika kondisi ini dibiarkan, jebakan pangan daging
sapi akan segera terwujud, terutama jika pemerintah tak segera mereorientasi
kebijakan-kebijakan dasarnya, yaitu kebijakan yang tertuang dalam UU No
41/2014 tentang PKH.
Berdasarkan situasi dan kondisi yang telah dan tengah
terjadi itu, semoga keputusan yang dikeluarkan majelis hakim MK atas uji
materi yang diajukan peternak rakyat akan memberikan dampak positif terhadap
pembangunan peternakan dan kesejahteraan bangsa ini. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar