Telaah
Pilkada Serentak 2017
Djayadi Hanan ;
Direktur
Eksekutif SMRC;
Dosen Ilmu Politik Universitas
Paramadina
|
MEDIA
INDONESIA, 20 Februari 2017
RESMINYA, pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2017
berlangsung di 101 daerah. Namun, dari segi bobot politiknya, pilkada
serentak itu terbagi dua: pilkada serentak di seratus daerah dan pilkada
'nasional' DKI Jakarta. Pembelahan ini hanya salah satu dari sejumlah
karakteristik yang menonjol dari pilkada serentak tersebut. Hal lain yang
menonjol ialah banyaknya calon tunggal, sedikitnya calon independen,
sedikitnya rata-rata jumlah calon secara umum, dan sejumlah hal lainnya.
Secara umum, pilkada berlangsung dengan tertib, lancar,
dan aman.
Itu tidak berarti bahwa pilkada berlangsung tanpa
pelanggaran sama sekali. Di Jakarta, sejumlah TPS harus mengadakan pemungutan
suara ulang akibat adanya dugaan pelanggaran.
Mengingat tahapan pilkada masih berlangsung, tulisan ini
dimaksudkan untuk menelaah sebagian saja dari fenomena tersebut. Ia tidak
berpretensi untuk melakukan kajian yang komprehensif.
Fungsi rekrutmen parpol masih
lemah
Belum beranjak dari pilkada serentak 2015, di Pilkada 2017
ini fungsi rekrutmen politik oleh partai politik (parpol) masih belum
menunjukkan perbaikan. Bila dilihat dari jumlah calon tunggal yang meningkat
200% (dari tiga daerah pada 2015 menjadi sembilan daerah pada 2017), fungsi
rekrutmen itu dapat dikatakan mengalami penurunan. Kecuali di Kabupaten
Landak, Kalimantan Barat, calon tunggal di delapan daerah lainnya ialah
petahana.
Calon tunggal umumnya ditandai dengan munculnya calon yang
sangat dominan dari segi popularitas dan elektabilitas, kemudian hampir semua
partai politik berkerumun mencalonkannya. Atau, seorang petahana (bisa kepala
daerah, bisa juga wakil kepala daerah) mampu membangun dukungan dari sebagian
besar partai politik yang ada di DPRD meski belum tentu yang bersangkutan
sangat dominan dari segi popularitas dan elektabilitas.
Calon tunggal yang didukung sebagian besar partai politik
mengakibatkan tertutupnya jalan bagi calon lain, yang mungkin saja potensial,
untuk maju melalui jalur partai. Bisa juga disinyalir bahwa munculnya calon
tunggal yang mendapatkan dukungan dari hampir semua partai politik di DPRD,
dipergunakan sebagai jalan untuk menjamin kemenangan calon yang bersangkutan
meski peluang menangnya tidak tinggi. Bila sinyalemen ini yang berlaku,
mekanisme calon tunggal dapat menjadi arena transaksi politik untuk
mendapatkan atau menghilangkan dukungan untuk pencalonan.
Fenomena calon tunggal dengan jelas menunjukkan bahwa
partai politik menggunakan pertimbangan menang-kalah sebagai faktor dominan
dalam proses rekrutmen kepala daerah. Soal orientasi kebijakan, program,
apalagi ideologi, tidak menjadi pertimbangan yang penting.
Akibatnya, pilkada hanya berfungsi sebagai proses
menentukan kepala daerah. Fungsi lainnya seperti arena kontestasi gagasan dan
program untuk kemajuan daerah menjadi terabaikan.
Proses pilkada yang panjang, terutama masa kampanye yang
berlangsung kurang lebih selama tiga bulan, tidak terpakai untuk mencermati
kelemahan dan atau untuk mempertajam program karena tidak ada pesaingnya. Mekanisme
koreksi tidak bisa terjadi selama proses pilkada.
Bila dalam perjalanannya nanti ditemukan kelemahan
mendasar dari sang kepala daerah terpilih, baik dalam arti kepemimpinan
politik dan manajerialnya, maupun dalam arti program yang hendak
dilaksanakan, yang merugi ialah rakyat di daerah tersebut. Bila semua partai
pendukungnya merasa enggan untuk mengubah sikap dan melakukan koreksi,
kelemahan itu akan ditanggung selama lima tahun.
Arena dan proses pilkada seharusnya juga dimanfaatkan
partai politik untuk melakukan regenerasi kepemimpinan daerah. Caranya dengan
mengajukan calon pemimpin yang diproyeksikan untuk memimpin daerah tersebut
meski mungkin pada pilkada kali ini kalah. Karena partai hanya berorientasi
menang-kalah, fungsi pilkada sebagai kaderisasi kepemimpinan daerah pun tidak
tampak baik selama pilkada kali ini.
Memang pilkada dengan calon tunggal tidak serta-merta
menurunkan tingkat partisipasi pemilih yang sering dijadikan salah satu
indikator kualitas pilkada. Menurut data real count KPU, yang sebagian besar
datanya sudah masuk, hanya di Kota Jayapura dan Tebing Tinggi yang
partisipasinya di kisaran 50% (48,5% dan 56%). Di tujuh daerah lainnya
partisipasi diperkirakan di kisaran lebih dari 70%. Di tiga daerah bahkan
angka partisipasi bisa mencapai 90% lebih.
Angka partisipasi yang tinggi memang positif dalam arti
memberi legitimasi yang tinggi kepada pemerintahan yang terpilih. Namun,
dalam konteks calon tunggal, ia bisa negatif bila kepala daerah terpilih
menganggapnya sebagai cek kosong untuk menjalankan semua kebijakan yang
direncanakan.
Sejalan dengan makin banyaknya calon tunggal, Pilkada 2017
juga ditandai dengan jumlah kompetitor yang sedikit. Di 101 daerah, total
jumlah peserta ialah 310 pasangan calon. Artinya, rata-rata ada tiga calon di
setiap daerah. Ada 34 (sekitar 34%) daerah di antaranya yang hanya memiliki
dua calon.
Sedikitnya jumlah calon di pilkada ini berbanding terbalik
dengan jumlah partai di daerah. Kalau di tingkat nasional (DPR) jumlah partai
ada 10, di tingkat daerah, tidak jarang jumlahnya lebih. Di banyak daerah,
jumlah partai politik di DPRD bisa mencapai 11.
Kalau jumlah calon pemimpin daerah yang muncul hanya dua
atau tiga dari tiap daerah, itu berarti banyaknya partai tidaklah
mencerminkan beragamnya aspirasi kepemimpinan politik masyarakat. Atau boleh
jadi aspirasi kepemimpinan politik masyarakat memang beragam, tapi tidak
dapat tertampung oleh partai politik. Banyak pula calon kepala daerah yang
diusung partai politik itu bukan orang atau kader partai. Kenyataan semacam
ini dengan gamblang menunjukkan fungsi partai dalam rekrutmen politik masih
lemah.
Waktu sekitar satu setengah tahun sejak pilkada serentak
pertama 2015 terkesan diabaikan partai politik dalam mempersiapkan rekrutmen
pemimpin daerah secara lebih baik. Bisa saja partai politik berdalih bahwa
lemahnya rekrutmen politik terjadi karena partai mengalami deparpolisasi.
Dibolehkannya calon independen, sering dituduh sebagai
bagian dari deparpolisasi.
Namun, untuk Pilkada 2017, alasan itu tampaknya tidak bisa
dipakai.
Sebabnya undang-undang pilkada, yang tentu saja ialah
salah satu produk politik yang memberi peran dominan kepada partai politik,
sangat membatasi kesempatan calon independen. Persyaratan untuk menjadi calon
independen sangat berat, mulai tahapan administrasi hingga tahapan
verifikasi. Karena itu, lemahnya rekrutmen calon-calon kepala daerah tidak
dapat disalahkan kepada entitas di luar partai politik.
Pilkada 'nasional' DKI
Yang juga menonjol dari pilkada serentak 2017 ialah adanya
pilkada 'nasional', yakni pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Ia menjadi
perhatian dan kepedulian tidak saja daerah-daerah yang tidak melaksanakan
pilkada, tapi juga terasa di seratus daerah yang justru juga sedang
melaksanakan perhelatan yang sama seperti Jakarta.
Terasa ironis memang, pilkada ialah bagian integral dari
proses desentralisasi politik. Akibat pilkada DKI Jakarta, Pilkada 2017
terasa lebih mencerminkan sentralisasi politik yang sebenarnya. Sentralisasi
politik sangat mungkin juga berarti sentralisasi ekonomi dan sosial. Sentralisasi
politik juga sangat mungkin berarti ketimpangan politik, ekonomi, dan sosial.
Fenomena pilkada 'nasional' DKI mestinya menjadi hentakan
kesadaran (wake up call), terutama
bagi pemerintah bahwa pembangunan yang benar-benar 'mengindonesia' masih jauh
dari harapan. Doktrin 'membangun dari
pinggiran' yang diyakini Presiden Jokowi memerlukan komitmen dan kerja yang
sangat keras untuk dapat diwujudkan.
Fenomena pilkada 'nasional' DKI juga mencerminkan
mentalitas berpikir bangsa kita yang masih melihat Jakarta sebagai segalanya
(the only shining hill). Berbagai
kelompok masyarakat, dari segi etnik, agama, kelas sosial-ekonomi,
kedaerahan, usia, dan mungkin juga gender, sangat mungkin melihat Jakarta
sebagai refleksi keadaan mereka juga. Karena itu, masuk akal kalau ada
keyakinan bahwa pertarungan politik di Jakarta ialah pertarungan politik
mereka juga. Walhasil, pilkada DKI secara administrasi ialah peristiwa lokal,
tapi secara substansi, boleh jadi memang bersifat nasional.
Tentu kita bisa memahami bahwa karakteristik khas DKI
Jakarta membuat ia relatif menjadi perhatian semua rakyat Indonesia. Jakarta
ialah ibu kota yang keputusan-keputusannya di bidang politik, ekonomi,
sosial, dan budaya, langsung atau tidak langsung punya pengaruh terhadap
kondisi nasional. Politisi yang bertarung dalam politik Jakarta ialah
politisi berkelas nasional. Atau, politisi lokal yang bertarung di Jakarta
akan naik kelas menjadi politisi nasional. Politisi yang menang di Jakarta,
sudah ada buktinya, punya kesempatan luas untuk menjadi pemimpin nasional.
Akan tetapi, tingkat kenasionalan Pilkada DKI 2017
melampaui hal-hal yang bisa kita maklumi tersebut. Ia mengonsumsi energi
bangsa secara masif. Yang terlibat mulai kelas masyarakat biasa hingga
pemimpin tertinggi negeri. Ia merambah dunia nyata sehari-hari hingga dunia
maya di media biasa dan media sosial.
Mengapa bisa terjadi demikian?
Salah satu penyebabnya ialah kelambanan, baik dari
pemerintah, maupun dari para pemimpin masyarakat untuk melokalisasi masalah. Misalnya, pilkada DKI seharusnya tetap bisa
dikembalikan sebagai pilkada DKI, bukan pemilihan presiden. Tokoh-tokoh
nasional atau tokoh bangsa tidak perlu larut dan memandang pilkada DKI
sebagai pertarungan antartokoh tersebut. Sudah jadi persepsi umum, tampaknya,
kalau yang terjadi adalah sebaliknya.
Masalah sensitif terkait dengan elemen etnik dan agama juga
semestinya dengan cepat ditangani sehingga tidak menimbulkan menyebarnya rasa
saling tidak percaya antar kelompok masyarakat. Tentu saja hal ini lebih
mudah diucapkan daripada dilaksanakan.
Partisipasi pemilih
Masih cukup banyak masalah lain yang bisa kita
identifikasi dari pilkada serentak 2017 ini. Temuan sementara Badan Pengawas
Pemilu (Bawaslu) masih mendapati persoalan-persoalan yang sudah menjadi
klasik seperti masih adanya kesemrawutan daftar pemilih tetap (DPT), politik
uang, dan pelanggaran etik oleh penyelenggara pilkada. Bahkan, pilkada 2017
juga ditandai dengan adanya calon kepala daerah yang sudah menjadi tersangka
korupsi oleh KPK, tetap terpilih sebagai kepala daerah.
Terlepas dari berbagai kekurangannya, Pilkada 2017,
seperti pilkada serentak pertama 2015, dapat dinilai cukup sukses
dilaksanakan. Belum ada persoalan serius yang muncul yang dapat mengurangi
legitimasi pelaksanaannya. Angka partisipasi pemilih di banyak tempat,
seperti Jakarta, mengalami peningkatan yang signifikan. Ada kemungkinan
pilkada 2017 diikuti pemilih dengan jumlah yang lebih banyak dari Pilkada
2015. Karena perhitungan resmi dari KPU masih berlangsung, kita masih harus
menunggu bagaimana hasil akhirnya. Untuk saat ini, kita bolehlah mengucapkan
selamat kepada KPU, selamat kepada pemerintah, selamat kepada bangsa
Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar