Verifikasi
Media dan UU Pers
Sabam Leo Batubara ;
Wakil Ketua Dewan Pers 2006-2010
|
TEMPO.CO, 15 Februari 2017
Editorial dan
berita Koran Tempo pada 7 dan 6 Februari lalu memuat kritik terhadap
pemberlakuan verifikasi media oleh Dewan Pers. Demi keberimbangan, saya ingin
memberi informasi khususnya tentang dua hal berikut ini.
Tajuk Koran
Tempo menyatakan, pertama, verifikasi media yang dilakukan Dewan Pers adalah
tindakan gegabah. Apa yang dikerjakan Dewan Pers sesungguhnya untuk memenuhi
perintah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers). Pasal 15
(2) a mengamanatkan fungsi Dewan Pers adalah melindungi kemerdekaan pers dari
campur tangan pihak lain. Pada bagian Menimbang, UU Pers menegaskan, pers
nasional harus dapat melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya
berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional.
Profesional
berarti, pertama, dari segi kelembagaan, setiap perusahaan pers wajib
berbentuk badan hukum Indonesia (pasal 9) dan wajib mengumumkan nama, alamat,
dan penanggung jawab secara terbuka. Untuk penerbitan pers ditambah nama dan
alamat percetakan (pasal 12).
Kedua, dari
segi penyelenggaraan pekerjaan jurnalistik, pers berfungsi menyampaikan
informasi yang faktual dengan fakta jurnalistik yang benar. Fungsi pers juga
untuk mendidik bangsa dan melakukan fungsi kontrol sosial (pasal 3). Pers
juga berperan melakukan pengawasan, kritik, dan koreksi untuk kepentingan
umum (pasal 6). Selain itu, pers mempunyai hak mencari, memperoleh, dan
menyebarkan informasi (pasal 4). Pers dalam melaksanakan pekerjaan
jurnalistik di atas wajib menaati Kode Etik Jurnalistik (pasal 7).
Dalam
perkembangannya, terjadi ledakan media. Ironisnya, dari puluhan ribu media
itu, sebagian besar tidak memenuhi standar keprofesionalan, tidak berbadan
hukum, dan tidak menaati Kode Etik Jurnalistik. Dari ribuan media yang
diadukan ke Dewan Pers, sejumlah media terkesan intensinya hanya untuk
menguber amplop, memeras, menghakimi, berbohong, memfitnah, dan beriktikad
buruk. Sejumlah juru bicara instansi pemerintah mengeluh, media centre yang
mereka sediakan dipenuhi wartawan abal-abal.
Dewan Pers
kini melaksanakan verifikasi media, yang merupakan bagian dari pelaksanaan
fungsi Dewan Pers untuk melindungi kemerdekaan pers dari penumpang gelap,
yakni media abal-abal dan sebagian media sosial. Sesuai dengan UU Pers, Dewan
Pers bertugas memfasilitasi organisasi pers untuk menyusun
peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi
wartawan.
Dewan Pers di
bawah kepemimpinan Ichlasul Amal berhasil menerbitkan landasan
keprofesionalan pers sebagai turunan dari pasal-pasal UU Pers sebagaimana
dikemukakan di atas. Landasan keprofesionalan tersebut dideklarasikan pada
Hari Pers Nasional (HPN) pada 9 Februari 2010 di Palembang. Isi pokoknya
adalah kesediaan perusahaan pers untuk meratifikasi empat Peraturan Dewan
Pers: (1) komit memenuhi Standar Kompetensi Wartawan, (2) komit mematuhi Kode
Etik Jurnalistik, (3) komit mematuhi Standar Perusahaan Pers, dan (4) komit
mematuhi Standar Perlindungan Profesi Wartawan.
Setelah tujuh
tahun disosialisasikan, pada HPN 9 Februari 2017 di Ambon, Ketua Dewan Pers
Yoseph Adi Prasetyo secara resmi mencanangkan pemberlakuan verifikasi media. Nantinya,
media cetak dan online terverifikasi akan diberi Quick Response (QR) Code
yang tersambung dengan basis data Dewan Pers tentang data perusahaan tersebut.
Adapun stasiun televisi dan radio akan mencantumkan bumper tanda
terverifikasi pada program berita yang ditayangkan. Kemudian menyusul telah
terverifikasinya 77 media. Semua media yang merasa telah memenuhi ketentuan
UU Pers pasti akan lolos verifikasi.
Kedua, Dewan
Pers disebut menabrak aturan karena menyatakan tak akan memberikan bantuan
terhadap media yang tak tercantum dalam daftar verifikasi. Sejak berlakunya
Nota Kesepahaman Dewan Pers-Polri pada 9 Februari 2012 untuk menyikapi
perkara media yang dilaporkan, Polri berkoordinasi dengan Dewan Pers. Selama
ini pernyataan penilaian dan rekomendasi Dewan Pers kepada Polri tercatat,
pertama, perkara yang dilaporkan adalah perkara pers. Polri memahami bahwa
perkara itu diselesaikan di Dewan Pers.
Kedua, perkara
yang dilaporkan terindikasi melanggar UU Pers, misalnya, karena media terkait
menolak melayani hak jawab. Rekomendasi Dewan Pers adalah pengadu dapat
memprosesnya ke jalur hukum dengan pedoman UU Pers.
Ketiga, Dewan
Pers menemukan media yang dilaporkan adalah media abal-abal karena tidak
berbadan hukum dan/atau tidak memenuhi standar jurnalistik. Pengadu dapat
memprosesnya ke jalur hukum dengan pedoman undang-undang lain. Jika ditemukan
bahwa media yang dilaporkan adalah media sosial, Dewan Pers menyatakan
kewenangan penyelesaiannya ada di tangan penegak hukum.
Merujuk
penjelasan di atas, tidak ada aturan yang ditabrak oleh Dewan Pers jika
sengketa berita oleh media abal-abal dan media sosial tidak bisa dibantu oleh
Dewan Pers.
Sebagai
penutup, ada satu masukan untuk Dewan Pers. Membiarkan media tidak
profesional bebas beroperasi lebih dari 17 tahun telah berakibat tidak hanya
mencederai kemerdekaan pers dan tidak terpenuhinya hak publik untuk
memperoleh informasi yang benar, tapi penertibannya pun kini mengundang
perlawanan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar