Keniscayaan
Pemberhentian Gubernur Ahok
Hendra Nurtjahjo ;
Anggota
Ombudsman Republik Indonesia 2011-2016
|
TEMPO.CO, 20 Februari 2017
Masa cuti kampanye, yang memiliki konsekuensi status
nonaktif kepala daerah yang dijabat oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok,
telah berakhir pada 11 Februari 2017. Maka, Ahok sudah dapat aktif kembali
sebagai gubernur pada 12 Februari 2017. Namun Ahok kini telah menyandang
status sebagai terdakwa dalam kasus hukum pidana penodaan agama.
Status terdakwa ini membawa konsekuensi hukum
pemberhentian Ahok dari jabatan Gubernur DKI. Ini yang harus ditegakkan oleh
Presiden sebagai kepala pemerintahan. Tanggung jawab konstitusional
pemberhentian gubernur ini merupakan suatu conditio sine qua non, kondisi yang
mengharuskan Presiden mau tidak mau memberhentikan Ahok.
Pasal 83 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa "Kepala
daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui
usulan DPRD karena didakwa telah melakukan tindak pidana kejahatan yang
diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun, tindak pidana korupsi,
tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara,
dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah-belah Negara Kesatuan Republik
Indonesia."
Berkenaan dengan hal tersebut, timbul sejumlah pertanyaan
hukum. Pertama, apakah Presiden dan Menteri Dalam Negeri dapat memperpanjang
masa cuti Ahok sebagai gubernur nonaktif? Jawabnya tidak, karena empat hal.
Pertama, ketentuan masa cuti kampanye telah berakhir. Kedua, tidak ada lagi
istilah perpanjangan masa cuti karena kampanye telah berakhir. Ketiga, status
nonaktif dalam alasan perpanjangan cuti tidak dapat dibenarkan secara hukum.
Keempat, status nonaktif dapat diberlakukan kembali, tapi harus dengan dasar
hukum yang berbeda, yaitu Pasal 83 (1) Undang-Undang Pemerintahan Daerah
tentang pemberhentian kepala daerah dengan status terdakwa.
Kedua, apakah Presiden dan Menteri harus menunggu tuntutan
jaksa atau usul dari DPRD untuk menonaktifkan Ahok? Pasal 83 membebankan
kewajiban untuk memberhentikan itu kepada Presiden, bukan kepada Menteri.
Pemberhentian ini merupakan pemberhentian sementara, bukan tetap.
Pemberhentian tetap oleh Presiden hanya dapat dilakukan setelah adanya
putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dari pengadilan. Pemberhentian
sementara ini tidak perlu menunggu usul dari DPRD DKI Jakarta.
Pemberhentian ini juga tidak perlu menunggu pemberitahuan
atau tuntutan dari Jaksa Agung atau jaksa penuntut umum. Pasal 83 tidak
menyebut dan tidak mensyaratkan adanya "tuntutan jaksa penuntut
umum", melainkan "kejahatan yang diancam dengan pidana penjara
paling singkat 5 tahun". Apakah jaksa akan menuntut di bawah atau di
atas 5 tahun adalah persoalan lain yang sama sekali tidak menjadi syarat dari
Pasal 83.
Ketiga, apakah Presiden boleh mengeluarkan peraturan
pemerintah pengganti undang-undang dengan alasan subyektif tertentu?
Peraturan itu dapat dikeluarkan karena adanya kegentingan memaksa. Dalam
konteks kasus ini, sama sekali tidak ada keadaan yang dapat dinilai secara
subyektif oleh Presiden sebagai suatu keadaan darurat.
Keempat, apakah penonaktifan kepala daerah tersebut
merupakan tindakan maladministrasi? Ombudsman memiliki kewajiban hukum dan
moral untuk mengingatkan lembaga-lembaga negara untuk menegakkan hukum secara
tegas dan nondiskriminatif. Beberapa kepala daerah yang telah terkena
ketentuan hukum pemberhentian tersebut merupakan preseden yang harus
dilaksanakan oleh lembaga negara terkait. Penafsiran dan perlakuan yang
berbeda atas kasus ini adalah tindakan diskriminasi hukum yang, dalam
perspektif Ombudsman, adalah tindak maladministrasi.
Kelima, adakah implikasi hukum serius apabila Presiden
tidak menonaktifkan Ahok? Apabila Presiden tidak mematuhi hukum atau
memberlakukan hukum secara berbeda dalam suatu kasus, maka hal ini merupakan
pelanggaran sumpah jabatan dan akan berimplikasi yuridis serius dalam
perspektif hukum tata negara.
Ringkasnya, apabila Presiden Jokowi tidak memberhentikan
Ahok sebagai Gubernur DKI, hanya ada dua kemungkinan yang dapat terjadi.
Pertama, proses pemakzulan akan bergulir sebagai proses hukum tata negara.
Langkah ini bergantung pada konstelasi politik di DPR. Kedua, terbukanya
alasan politik untuk terjadinya gerakan sosial yang menuntut Presiden untuk
mundur dari jabatan atau softly
movement agar Presiden menegakkan hukum secara adil.
Kedua kemungkinan itu akan selalu memunculkan instabilitas
politik dan memicu munculnya kerusuhan sosial yang luas. Situasi ini rentan terhadap
intervensi kekuatan asing yang memiliki kepentingan ideologi dan kapital
dalam menguasai dan mengkooptasi kedaulatan NKRI. Hal inilah yang harus kita
cegah melalui proses hukum yang adil dan beradab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar