Tinjau
Ulang RUU Pemilu
Problem
Proporsional Terbuka-Terbatas
Agus Wahid ;
Peneliti Lembaga Garuda Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 18 Februari 2017
KOREKSI secara
mendasar dan tidak ingin mengulang potret kelam. Itulah sikap politik yang
kini bergulir sebagai sikap responsif atas keluaran politik Pemilu 2009 dan
2014. Lalu, haruskah ‘karya’ politik dua pemilu itu harus dipertahankan dan
diberlakukan untuk Pemilu 2019 nanti? Yang jauh lebih krusial untuk kita
lontarkan lebih jauh, haruskah kita biarkan potret-potret kelam hasil pemilu,
yang secara faktual cukup mendegradasikan nilai-nilai politik, sosial bahkan
sistem ketatanegaraan?
Seperti yang
kita saksikan, sistem proporsional terbuka--secara faktual--telah mendorong
persaingan vulgar dan sangat tidak sehat antarkontestan separtai, apalagi
antarpartai. Implikasinya sungguh memprihatinkan. Terbentuk mentalitas
pragmatis di tengah publik konstituen. Wani piro itulah sikap politik
masyarakat ketika diajak untuk memilih kandidat wakil rakyat. Mereka tidak
mau peduli jati diri sosok yang dipilihnya, terkait dengan moralitas,
integritas, kapabilitas, dan akuntabilitasnya.
Sadarkah para
pemilih atas kekeliruan mereka? Tidak, apalagi di level akar rumput.
Mereka--secara edukatif--jauh di bawah standar kecerdasan, yang tidak mampu
memahami program. Juga--secara ekonomi--mereka jauh di bawah level sejahtera.
Karena itu, seberapa kecil rupiah yang ditawarkan pasti akan diterima dengan
penuh antusias.
Panorama
sosial itu jelaslah mengantarkan sejumlah kandidat yang--mau tak mau--harus
berduit. Menukil riset Pramono Anung untuk disertasinya, kandidat yang akan
masuk parlemen (DPR), rata-rata keluarkan dana sekitar Rp6 miliar, meski ada
jauh di bawah itu. Catatan ini menimbulkan kesimpulan, kandidat mana pun yang
tidak berduit sebesar itu, ia tak punya harapan. Sekali pun ia berkualitas
secara ilmu, mentalitas, integritas, dan dedikasi yang semua menunjang untuk
sebuah kinerja dewan. Kesimpulan itu juga menimbulkan kesimpulan lain: sistem
proporsional terbuka telah menutup pintu bagi kandidat yang memenuhi kriteria
ideal sebagai wakil rakyat. Ini jelas kerugian besar bagi kepentingan bangsa
dan negara.
Lebih
merugikan lagi ketika sejumlah kandidat yang terpilih itu kemudian abai
terhadap janji politiknya. Ia lebih mengedepankan prinsip bagaimana segera
mengembalikan biaya politiknya, bahkan lebih dari itu: pundi-pundinya harus
terisi luber. Inilah yang kita saksikan pada panorama sejumlah anggota dewan
yang menyalahgunakan wewenangnya untuk memperkaya diri, secara individual
ataupun kelompok. Itulah yang kita saksikan, mengapa sejumlah anggota Dewan
saat ini terpaksa harus menjalani proses hukum.
Sekali lagi,
ketika prinsip ‘dagangnya’ terartikulasi lebih riil, praktis sikap politik
pro rakyatnya akan mengikis. Setidaknya, patriotismenya sebagai wakil rakyat
hanya pencitraan, tanpa kerja konkret. Sebuah renungan, salahkah para anggota
Dewan abai terhadap janji politiknya? Secara moral memang salah. Namun,
secara ekonomis, bisa diperdebatkan. Mereka menilai, ketidakmaksimalan
sikapnya terhadap pro rakyat karena dirinya telah membayar atau memenuhi
sejumlah keinginan konstituen ketika maju ke parlemen.
Di sisi lain,
potret sistem pemilu yang telah berjalan pada Pemilu 2009 dan 2014 perlu kita
tinjau. Seperti yang kita saksikan, para pihak yang sudah sekian lama
mendedikasikan diri pada parpol dan sudah menjadi pilihan hidupnya, tapi
ketika harus maju ke parlemen, ia mudah tersingkir oleh pendatang baru karena
memiliki keunggulan komparatif-kompetitif seperti financing dan atau basis
massa.
Mencermati
sejumlah potret kelam sistem proporsional terbuka itu, layak kita
pertimbangkan pemikiran lama dalam sistem pemilu, yaitu memilih gambar
parpol, bukan kandidatnya. Yang akan tampil di lembaga perlemen ialah urutan teratas
dari parpol yang telah ditentukan. Meski demikian, siapa pun yang memperoleh
suara sesuai jumlah ambang batas menurut UU, ia berhak manggung, sekali pun
ia ada di nomor urut bawah. Inilah sistem proporsional terbuka-terbatas.
Sebuah
renungan, apakah semua parpol sepakat dengan pemikiran sistem proporsional
terbuka-terbatas? Belum tentu, apalagi bagi partai-partai kecil yang masih
belum mengakar kuat. Namun, jika yang ditatap lebih jauh masalah kepentingan
yang jauh lebih besar (bangsa dan negara), sistem proporsional
terbuka-terbatas menjadi opsi yang layak diperjuangkan. Menjadi sangat
relevan ketika perjuangannya dikaitkan dengan penguatan sistem presidensial
yang mengidealkan pembatasan parpol di parlemen. Agar jauh lebih efektif
sistem pemerintahannya. Tidak mudah gonjang-ganjing hanya karena perbedaan
cara pandang antarfraksi sebagai perpanjangan kepentingan parpol.
Akhirnya, kita
perlu mengarisbawahi sistem proporsional terbuka-terbatas merupakan opsi
solusi konstruktif atas implikasi output politik yang kelam itu. Namun,
seluruh elemen parpol tentu punya perbedaan cara pandang. Perlu dicari titik
tengah, yang--perlahan tapi pasti--mengarah pada perubahan besar sistem
ketatanegaraan kita.
Namun,
komitmen proproporsional terbuka-terbatas juga dinilai tidak menguntungkan
bagi sejumlah partai menengah ke bawah. Partai-partai ini--sejalan dengan
belum begitu kuat akarnya--berpotensi akan mengurangi tingkat keminatannya
ikut kontestasi politik menuju parlemen. Sepi peminat akan menjadi
konsekuensi logis bagi partai menengah, khususnya. Reaksi ini akan membuat
keberadaan parpol, bukan hanya sulit berkembang, melainkan juga stagnan
bahkan cenderung terjun bebas. Inilah yang mendorong sifat terbatas masih
menjadi tarik-menarik yang cukup kuat, terutama bagi partai-partai yang
terkategori menegah.
Implikasinya,
akan semakin banyak kader-kader baru masuk ke partai-partai prospektif,
termasuk kutu loncat. Namun, di sisi lain, akan kian mengkristal budaya baru
politik publik: pragmatisme (wani piro). Hal ini, secara alami, akan
mendegradasikan minat elemen masyarakat yang sejatinya berintegritas,
kapabel, dan full committed to pablic intetest. Rugi Besar bagi kepentingan
bangsa-negara. Namun, inilah indahnya tarik-menarik dalam kancah politik
antara kalkulasi idealitis vs pragmatisme, yang akhirnya kekuatan barisan
pragmatis akan lebih mengemuka dan tampil sebagai sang pemenang.
Ada plus-minus
ketika tetap mengambil sikap proporsional-terbuka dalam sistem pemilu itu.
Tapi, itulah urgensinya para anggota parlemen perlu mengkaji ulang atas RUU
Pemilu, yang tentunya harus bisa menjawab kebutuhan yang relatif merangkul
kedua aspek mendasar antara idealisme dan pragmatisme itu. Arahnya jelas:
demokrasi kian berkualitas, tapi masyarakat pemilihnya pun kian cerdas (mampu
menghadirkan calon wakil rakyat yang berintegritas dan kapabel). Tidak
tergiur dengan recehan rupiah yang sejatinya pasti akan mendegradasikan
kepentingan bangsa dan negara tercinta ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar