Fait
Accompli Bank Sentral
Candra Fajri Ananda ;
Dekan
dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
|
KORAN
SINDO, 27
Februari 2017
Sejarah krisis di masa lalu sempat menjatuhkan marwah Bank
Indonesia (BI) selaku otoritas bank sentral di negeri ini. BI sempat dianggap tidak cakap menangani
strategi-strategi mitigasi hingga dampaknya kita ”sukses” mencapai titik
kulminasi tertinggi dengan adanya krisis moneter dan politik pada 1997/1998.
Memang kita harus objektif, tidak semua ”dosa” di masa lalu merupakan
tanggung jawab BI. Profesionalisme BI pada masa itu belum terbentuk sempurna
karena tidak diberi ruang independensi.
Apalagi posisi Indonesia sebagai negara small open economy
ikut berdampak pada daya tahan negara terhadap arus depresiasi ekonomi global.
Namun masyarakat kita sudah telanjur mengalami trauma katalis yang membuat
posisi BI dianggap kurang kredibel. Dampak secara kelembagaan sudah sangat
terlihat dengan perubahan wewenang BI yang kini harus rela berbagi kamar
dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS).
Ketiganya akan berjalan beriringan untuk bergotong-royong
memangku kebijakan-kebijakan strategis di bidang moneter. Kewenangan yang
diemban BI kini berada di masa fait accompli. BI dibatasi hanya berperan sebagai
konduktor kebijakan dari sisi makroprudensial, sedangkan garis sempadan peran
mikroprudensial dibagi untuk OJK dan LPS. Keuntungannya, peran BI menjadi
semakin terfokus.
Akan tetapi sisi yang lain membuka potensi peningkatan
biaya transaksi karena sulitnya proses koordinasi dan sinkronisasi kebijakan.
Bagaimanapun pengalaman ini menjadi konsekuensi politik yang harus dihadapi
oleh sebuah institusi negara. Dan BI selaku salah satu konduktor utama harus
segera mengambil langkah kuratif untuk segera mengembalikan tingkat
kredibilitasnya.
Pertanyaannya sekarang, mengapa BI harus kredibel?
Jawabannya sangat mudah dan sederhana karena BI harus mampu menjadi anutan
publik dan secara kuat memengaruhi mekanisme pasar moneter agar berjalan
efisien. Ukuran kredibilitasnya bisa dihubungkan dengan sejauh mana
kebijakankebijakan BI mampu mengendalikan perilaku pasar yang sangat dinamis
dan heterogen.
Selain itu kredibilitas BI juga dapat diuji melalui hasil
timbal balik (feedback loop) dengan OJK dalam tatanan hubungan makro-mikro prudensial
serta hubungan antara otoritas sektor keuangan dan sektor riil (pemerintah).
Sebagai contoh mengenai efisiensi pengelolaan kredit. BI memiliki wewenang
dalam menjaga kelancaran sistem pembayaran, merawat kesehatan keuangan perbankan
dan swasta, mengamati akumulasi inflasi, serta pemantauan terhadap potensi,
dampak, dan penanganan krisis sistemik atas berjalannya mekanisme kredit.
Pada tahun lalu, BI dan OJK sama-sama mengakui ada
degradasi kualitas kredit yang disalurkan. Angka pertumbuhan kredit melambat
dari semula di atas 10% pada tahun 2015 menjadi sekitar 7,9% (year on year).
Meski penyaluran kredit sedang seret, angka non-performing loan (NPL) sebagai
indikator kredit bermasalah justru meningkat dari 2,5% menjadi 3,1% (OJK,
2016).
Peran BI tidak hanya berhenti pada realisasi kinerja
penyaluran kredit. BI juga harus berani menjamin sistem pembayaran kredit
dapat berjalan lancar untuk menjauhkan kita dari ancaman krisis keuangan
sistemik.
Fokus pada Tujuan
Kinerja keuangan di sektor kredit menjadi contoh sempurna
untuk mengukur sejauh mana mekanisme moneter dapat berjalan secara efisien.
Sektor kredit memang bukan segalagalanya di dalam kerangka kebijakan moneter,
tetapi kredit bisa berperan sebagai gerigi utama yang dapat menggerakkan
berbagai sektor strategis lain di Indonesia. Sektor kredit dapat memacu
realisasi target pemerintah untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi berkualitas.
Sasaran berjangkanya ialah dengan meningkatkan investasi
dan konsumsi di sektor riil serta mengembangkan profitabilitas di sektor
keuangan dan perbankan. Untuk saat ini pola pertumbuhan ekonomi kita telanjur
sangat bergantung pada tingkat konsumsi swasta dan pemerintah. Namun pola ini
sendiri cukup rentan untuk kepentingan jangka panjang.
Apalagi jika faktor-faktor fundamental konsumsi baik dari
sisi pendapatan maupun lapangan pekerjaan sedang dalam masamasa yang rapuh
seperti saat ini sehingga perlu ada inovasi dan strategi untuk membentuk
fundamental pertumbuhan ekonomi agar lebih kuat dan efisien, terutama dari
sisi investasi dan target kenaikan net export sebagai pertanda menggeliatnya
produktivitas dalam negeri.
Sebagai langkah awal, yang dianggap paling mendesak, BI
sepertinya perlu mengevaluasi sejauh mana efisiensi berjalan di dalam
pengelolaan kredit. Parameter efisiensi yang digunakan biasanya adalah
persentase net interest margin (NIM) dan NPL dalam kisaran yang sangat kecil.
Tahun 2016 kemarin, rata-rata NIM perbankan mencapai 5,63%, tumbuh sekitar
24bps dari capaian tahun sebelumnya.
Jika dibandingkan dengan NIM di negara ASEAN lainnya,
capaian kita ini yang paling mengkhawatirkan. Tahun 2015 kemarin, NIM
perbankan di Thailand hanya sebesar 2,60%, Filipina 3,35%, sedangkan Malaysia
hanya 2,35%. Besaran NIM yang lebih rendah tersebut cukup melegakan beban
para debitor karena hanya menanggung suku bunga kredit berkisar 6,85-7,10%.
Sementara di Indonesia target untuk sekadar memenuhi bunga kredit single
digit saja masih sangat tertatih-tatih.
LPS bahkan sudah memprediksi kemungkinan tahun ini akan
terjadi pemekaran NIM di angka 5,7% karena kalangan perbankan yang masih
enggan ”mengorbankan” NIM. Penyebabnya karena biaya operasional dan overhead
cost perbankan yang relatif masih sangat tinggi. Alasan tambahannya juga
menyebutkan karena adanya kecenderungan NPL yang terus meningkat, perbankan
masih cukup waswas terhadap kondisi likuiditas dan cadangan dana mereka akan
menjadi kian terbatas.
Kondisi pasar yang mulai kurang sehat inilah yang
seharusnya bisa segera diatasi dengan penyegaran-penyegaran kebijakan. Jadi
BI (bersama otoritas lainnya) harus segera bertindak taktis untuk membantu
perbankan menekan penyebab-penyebab kenaikan NIM dan NPL.
Cara yang pertama, BI perlu fokus terhadap core business
-nya untuk menjaga inflation targeting framework (ITF) tetap terlaksana
dengan baik. Sasaran ITF diarahkan pada stabilitas variabel jangkar nominal
(nominal anchor)seperti indeks harga, nilai tukar, atau uang beredar yang
ditargetkan secara eksplisit oleh BI sebagai patokan bagi pembentukan
nilai/harga produk-produk lainnya.
Jangkar nominal ini dianggap BI sebagai pedoman bagi
masyarakat untuk menentukan ekspektasi inflasi dan mengalkulasi potensi
ekonomi. Dari sini kredibilitas BI akan diuji melalui peramalan/ proyeksi
ekonomi (forward looking). Jika ramalan ekonomi BI semakin akurat terhadap
kondisi perekonomian, tingkat apresiasi publik sewajarnya juga akan terus
meningkat.
Kedua, langkah berikutnya ialah menjaga agar realisasi ITF
bisa sesuai dengan rencana. BI membutuhkan koordinasi antarinstansi untuk
memenuhi target-target yang telah ditetapkan. Konektivitas ini sendiri sudah
disinggung dalam Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem
Keuangan (UU PPKSK). Misalnya terkait dengan kesehatan sektor kredit yang
sangat dipengaruhi ekuilibrium pasar barang dan modal.
BI harus mampu berpadu secara alami dengan OJK dan unsur
pemerintah untuk menciptakan iklim perekonomian yang kondusif dari sisi
regulasi dan kebijakan. Misalnya untuk mengamankan sistem pembayaran dan
menekan suku bunga kredit agar lebih rendah, BI melakukan kebijakan
pemotongan tingkat suku bunga acuan. OJK dapat membantu dengan mengawasi
perilaku pasar dan memberikan insentif terhadap perbankan berprestasi (misal
NIM dan NPL rendah).
Sementara pemerintah bisa mendukung dengan memberikan
kelonggaran biaya kelembagaan (regulasi dan birokrasi) serta menetapkan
subsidi pada struktur-struktur ekonomi yang potensial. Ketiga, pentingnya
menjaga tingkat inflasi. Terkait dengan perannya, lagi-lagi BI tidak dapat
bekerja secara parsial karena berkaitan erat dengan kinerja sektor riil dan
keuangan.
Faktor-faktor utamanya akan bergantung pada pengendalian
jumlah uang yang beredar, tingkat pendapatan masyarakat, dan kapasitas
produksi barang/ jasa. Di era pemerintahan Presiden Joko Widodo catatan
inflasinya memang sudah cukup kondusif karena secara agregat berada di posisi
± 4% dan menandakan pola keseimbangan pasar supply-demand yang sangat
terjaga.
Namun posisi ekuilibriumnya terbentuk bukan lantaran
peningkatan produksi dan pendapatan, melainkan karena penurunan tingkat
konsumsi sehingga menjemput ke bawah kurva penawaran yang relatif stagnan.
Tugas BI yang sudah didistribusikan melalui Tim Pemantauan dan Pengendalian
Inflasi Daerah (TPID) perlu lebih diperkuat untuk mengakselerasi perekonomian
daerah.
Selain untuk kepentingan inflasi, aktivitas hulu dan hilir
seperti kredit dan tata niaga di sektor riil (terutama UMKM) menjadi faktor
yang tidak dapat diabaikan. BI perlu berkoordinasi dengan OJK dan pemerintah
daerah untuk urusan skema kredit dan kelembagaan lainnya agar lebih efisiensi
terhadap mekanisme pasar di setiap daerah.
Dan keempat,perlu ada langkah inovatif lanjutan untuk
memacu upaya inklusivitas keuangan. Pola ini bisa dikaitkan dengan kisah
kemiskinan dan ketimpangan Indonesia yang penanganannya sangat berbelit.
Fenomena ini seakan mengonfirmasi bahwa gelimang pertumbuhan tidak dinikmati
masyarakat secara merata.
Hasil survei dari Oxfam dan International NGO Forum on
Indonesian Development (Infid) baru-baru ini menyajikan fakta bahwa
distribusi kekayaan di Indonesia menjadi salah satu yang terburuk di dunia.
Bisa saja pola ketimpangan ini juga disebabkan akses permodalan untuk
kepentingan produksi yang terbatas pada masyarakat golongan menengah ke
bawah.
Karena itu diharapkan muncul inovasi akses terhadap sistem
keuangan dan kredit, terutama pada pengusaha marginal. Komposisi penyaluran
berdasarkan segmen (sektor ekonomi) dan fungsi kredit perlu diikuti dengan
kebijakan afirmasi. Sektor-sektor yang selama ini belum banyak tersentuh
kredit seperti pertanian dan perikanan perlu dibantu agar memiliki akses
keuangan yang lebih longgar.
Misalnya dengan mendirikan bank pertanian atau bank UMKM
agar lebih sesuai dengan karakter finansial mereka. Selain itu berdasarkan
fungsinya, komposisi penyaluran kredit seharusnya juga diarahkan untuk
kepentingan yang lebih produktif, misalnya untuk tujuan investasi atau
peningkatan modal kerja, sehingga tiap anggota masyarakat memiliki akses yang
proporsional untuk mendapatkan peluang meningkatkan kesejahteraannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar