Kontroversi
Freeport
Ferdy Hasiman ;
Peneliti
pada Alpha Research Database Indonesia
|
KOMPAS, 27 Februari 2017
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral telah menginstruksikan korporasi tambang yang menambang emas dan tembaga
di Grasberg, Papua, PT Freeport Indonesia, segera mengubah status kontrak
karya (KK) menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
Perubahan itu harus dilakukan menyusul penetapan Peraturan
Pemerintah (PP) No 1/2017 sebagai perubahan keempat PP No 23/2010 tentang
pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara, Peraturan
Menteri (Permen) No 5/2017 dan Permen No 6/2017. Dengan berubah menjadi IUPK,
Freeport wajib membangun pabrik smelter dalam lima tahun ke depan, pengenaan
bea keluar paling banyak 10 persen, dan divestasi saham ke pihak nasional
sebesar 51 persen. Tanpa mengubah status KK menjadi IUPK, Freeport tak
diizinkan mengekspor konsentrat tembaga.
Namun, Freeport bersikeras tak mau mengubah KK menjadi
IUPK. CEO Freeport McMoRan (FCX), induk usaha Freeport Indonesia, Richard C
Adkerson, misalnya, menegaskan, Freeport tetap berpegang teguh pada KK tahun
1991 yang lebih memberikan kepastian hukum untuk berinvestasi. Freeport
memang berencana mengeluarkan dana 15 miliar dollar AS untuk mengolah tambang
bawah tanah (underground) Grasberg Block Cave, Deep Mill Level Zone, Big
Gosan, Deep Ore Zone, dan Kucing Liar-yang menjadi tumpuan masa depan
Freeport.
Sejak 2004, Freeport telah mengeluarkan dana 7 miliar
dollar AS untuk membangun tambang bawah tanah. Tambang ini akan menghasilkan
24.000 metrik ton per hari untuk mengantisipasi masa transisi tambang Open
Pit pada 2017. Hanya saja puncak produksi tambang underground yang
merefleksikan pengembalian investasi baru akan terjadi pada 2021. Ini menjadi
salah satu alasan utama mengapa Freeport tak mau mengubah KK menjadi IUPK.
Status IUPK sangat berat bagi FI karena harus membangun
smelter tembaga dengan investasi 2,3 miliar dollar AS tanpa ada jaminan
perpanjangan kontrak dari pemerintah. KK akan berakhir 2021 dan FI meminta
perpanjangan kontrak sampai 2041 dengan pertimbangan nilai keekonomian
investasi mereka di Grasberg. Bukan hanya itu, dengan pengalihan status jadi
IUPK, FI harus mendivestasikan 51 persen saham ke pihak nasional. Dengan
begitu, Freeport bukan pemegang saham pengendali lagi di tambang emas dan
tembaga Grasberg. Atas kebijakan memberatkan itu, Freeport mengancam
menggugat ke arbitrase internasional.
Antiklimaks
Keputusan pemerintah terkait konversi KK menjadi IUPK di satu
sisi dan ancaman gugatan Freeport ke arbitrase internasional di sisi lain
adalah antiklimaks dan puncak gunung es dari kebekuan renegosiasi kontrak
antara pemerintah dan Freeport yang sudah dijalankan sejak 2012. Dari enam
klausul renegosiasi kontrak-peningkatan royalti, penciutan luas lahan,
penggunaan barang jasa domestik, divestasi saham, pembangunan smelter, dan
perpanjangan kontrak yang ditawarkan pemerintah, hanya beberapa klausul yang
disepakati Freeport. Di antaranya penciutan luas lahan, penggunaan barang dan
jasa domestik, serta peningkatan royalti. Sementara divestasi, perpanjangan
kontrak, dan pembangunan smelter sama sekali belum disepakati Freeport.
Soal smelter, misalnya, sejak Januari 2014, semua
perusahaan tambang dilarang mengekspor mineral mentah dan wajib membangun
pabrik smelter dalam negeri guna memberikan nilai tambah bagi pembangunan.
Namun, sampai batas waktu ditentukan (Januari 2017) Freeport belum juga
menunjukkan kemajuan berarti dalam pembangunan smelter. Alasannya, belum dapat
kepastian perpanjangan kontrak.
Ada kesan kuat, Freeport hanya ingin mengakomodasi
kepentingan korporasi, sementara kepentingan negara yang ditawarkan
pemerintah tak diterima. Simak saja pernyataan Presiden Jokowi yang akan
bersikap tegas jika Freeport tak mau bernegosiasi dan berunding dengan
pemerintah (Kompas.com, 23/2/2017). Freeport berharap pemerintah tunduk-patuh
pada keinginan Freeport saja. Dalam hal pembangunan smelter, misalnya,
Freeport berencana membangun pabrik smelter di Gresik, Jawa Timur. Padahal,
pemerintah ingin Freeport membangunnya di daerah operasi (Timika), seperti
yang dilakukan Vale Indonesia di Sorowako, agar ekonomi daerah dan industri
di daerah mekar.
Boleh jadi Freeport terlalu naif menganggap pemerintah
bisa diatur seturut kemauan mereka seperti yang mereka lakukan terhadap rezim
sebelumnya. Belum ada satu rezim pun yang memerintahkan Freeport harus
mengalihkan status KK menjadi IUPK dengan syarat wajib membangun smelter dan
divestasi saham. Hanya pada zaman Jokowi-Kalla, Freeport harus tunduk pada
negara. Negara harus berkuasa dan Freeport harus mengikuti aturan main yang
diberikan negara. Ini pemerintahan yang sedang berusaha menjalankan
konstitusi. Freeport seharusnya belajar bagaimana pemerintahan Jokowi- Kalla
menyerahkan Blok Mahakam (Kalimantan Timur) ke Pertamina dan tak melanjutkan
kontrak Total E&P (Perancis). Keputusan nasionalisasi Blok Mahakam
seharusnya menjadi referensi Freeport untuk lebih taktis melakukan
renegosiasi.
Konversi KK ke IUPK itu amanat UU No 4/2009 tentang
mineral dan pertambangan. Keputusan peralihan KK menjadi IUPK bukan hanya
keputusan pemerintahan Jokowi-Kalla, apalagi Menteri ESDM Ignasius Jonan.
Peralihan itu adalah perintah konstitusi UUD 1945 yang mengamanatkan semua
tambang strategis wajib dikontrol negara untuk kesejahteraan rakyat.
Perintah divestasi saham Freeport juga sudah ada dalam KK
yang ditandatangani pada 1991. Pasal 24b dalam KK mengamanatkan Freeport
melakukan divestasi saham 51 persen terhitung 20 tahun setelah kontrak berlaku.
Itu artinya, Freeport seharusnya sudah mendivestasikan 51 persen saham ke
pihak nasional pada 2011. Perintah divestasi juga dipertegas lagi dalam PP No
24/2012. PP itu menegaskan, tambang asing yang sudah berproduksi selama 10
tahun wajib mendivestasikan saham 51 persen kepada pihak nasional.
Dengan dalih proses hilirisasi tambang dan investasi
tambang bawah tanah, di akhir masa baktinya, Susilo Bambang
Yudhoyono-Boediono merevisi kembali PP No 24/2012 menjadi PP No 77/2014. PP
No 77/2014 mengamanatkan, perusahaan tambang asing hanya mendivestasikan 41
persen yang membangun sektor hulu-hilir (smelter), seperti Eremet (Halmahera)
dan 30 persen saham untuk perusahaan yang membangun tambang bawah tanah,
seperti FI. Sesuai kesepakatan yang ditandatangani pemerintahan SBY-Boediono,
FCX hanya mendivestasikan 20,64 persen saham ke pihak nasional karena saat
ini pemerintah telah mengontrol 9,36 persen saham Freeport.
Padahal, konstitusi mengamanatkan pertambangan strategis
harus dikendalikan negara untuk kesejahteraan rakyat. Korporasi asing tak
boleh jadi pemegang saham pengendali perusahaan tambang.
Divestasi 20,64 persen saham FI kemudian disepakati
dilakukan dalam dua tahap. Freeport sudah menawarkan 10,64 persen saham tahap
pertama kepada pemerintah dengan harga yang sangat tak wajar senilai 1,7
miliar dollar AS. Harga yang dipatok Freeport jelas tak masuk akal karena
menghitung harga dengan rencana investasi dan cadangan bawah tanah Grasberg
yang jelas-jelas milik negara. Pemerintah kemudian tak sepakat dengan harga
itu dan mematok harga 10,64 persen saham FI senilai 630 juta dollar AS.
Renegosiasi kontrak terkait divestasi kemudian menemukan
jalan buntu. Padahal, jika saja Freeport sepakat dengan harga 10,64 persen
saham yang ditawarkan pemerintah, polemik tak sebesar ini.
Perusahaan-perusahaan tambang BUMN pun telah berwacana membentuk holding yang
dipimpin Inalum agar membeli 10,64 persen saham FI. Namun, proses yang sedang
berlangsung itu terpaksa harus terhenti karena keputusan pemerintah mengharuskan
semua perusahaan tambang mendivestasikan 51 persen saham ke pihak nasional
demi menegakkan konstitusi.
Divestasi saham ini tentu berlaku bagi
perusahaan-perusahaan asing lainnya. Vale harus melepaskan 31 persen saham ke
pihak nasional. Vale SA dan Sumitomo Corp sekarang mengendalikan 80 persen
saham Vale dan 20 persen sisanya dipegang investor publik. Padahal, Vale
sudah membangun smelter di Sorowako sejak lama dan mampu memompa perekonomian
di daerah itu.
Jika tak tangkas melakukan renegosiasi dengan pemerintah,
Freeport bakal menambah panjang daftar korporasi asing yang pulang kampung
akibat tak tahan dengan aturan UU No 4/2009 tentang Mineral dan Pertambangan
yang memerintahkan korporasi asing mendivestasikan saham kepada pihak
nasional. Beberapa perusahaan asing yang sudah hengkang, seperti Newmont Nusa
Tenggara yang sudah mengalihkan semua sahamnya ke PT Amman Mineral Resources
(Medco Group) dan perusahaan tambang emas, Martabe G-Resources, yang sudah
dialihkan ke grup bisnis lokal Djarum Group. Pertanyaan yang muncul kemudian:
apakah risiko fiskal yang muncul jika Freeport tak mau mengubah KK menjadi
IUPK?
Jika demikian, Freeport hanya memproduksi 40 persen bijih
tembaga dari target produksi mereka 2017 untuk dipasok ke pabrik smelter milik
PT Smelthing di Gresik. Penerimaan negara tentu ikut berkurang. Tahun 2015,
misalnya, FI membayar 109 juta dollar AS kewajiban pajak ekspor dan 114 juta
dollar AS royalti.
Meski demikian, risiko fiskal ini bisa dicarikan solusi
alternatifnya. Dirjen Bea Cukai Heru Pambudi mengatakan, pemerintah memang
mendapat Rp 1,23 triliun dari pajak ekspor konsentrat tembaga akhir 2015,
tetapi sejak 2016 pendapatan dari pajak ekspor mineral tak dimasukkan dalam
target pendapatan. Tanpa FI melakukan ekspor, kas negara masih aman.
Pemerintah juga mendapat pajak ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan
pajak thermal coal (komoditas terbesar kedua) yang harganya kembali pulih
tahun ini. Ini adalah amunisi bagus untuk menutup gap jika FI tak melakukan
ekspor. Sebaliknya, yang merasakan kerugian besar adalah Freeport. Bagi FCX,
tambang Grasberg aset masa depan yang harus dipertaruhkan. Grasberg salah
satu tambang paling menguntungkan di dunia. Cadangan tembaga mencapai 32,7
miliar pound dan emas 33,7 juta ons. Tahun 2010, Freeport memproduksi 230.000
ton ore milled per hari dan membukukan pendapatan 6,72 miliar dollar AS
(Freeport McMoRan, 2010).
FCX mengoperasikan tambang tembaga open-pit, seperti
Morenci, Bagdad, Sierrita, Safford, dan Miami (Amerika Utara); tambang tembaga
Cerro Verde (Peru) dan El Abra (Cile); tambang emas dan tembaga di Grasberg
(Indonesia) dan Afrika dengan kontribusi yang berbeda di setiap negara. Total
asetnya sangat besar. Per 2015, total aset FCX 58,795 miliar dollar AS dan
total aset dari tambang Grasberg di Indonesia 8,626 miliar dollar AS. Akhir
2016, tambang Grasberg menghasilkan pendapatan 3,23 miliar dollar AS dan 2015
sebesar 2,62 miliar dollar AS. Kontribusi tambang Grasberg lebih besar
ketimbang kombinasi tambang FCX di Amerika Latin, Amerika Utara, dan Afrika
Selatan. Penghentian operasi tambang Grasberg tentu berdampak negatif pada
neraca keuangan FCX.
Ruang renegosiasi
Jika tak ingin pulang kampung, Freeport sebaiknya
menggunakan ruang renegosiasi dengan cerdik. Langkah Freeport menggugat
pemerintah ke arbitrase internasional hanya jalan pintas dan hanya akan
membuat Freeport tak lama lagi beroperasi di Grasberg. Freeport tak perlu
lagi mempertahankan kebiasaan lama yang bertahan pada kepentingan korporasi
semata. Pemerintah boleh saja mengacu pada konstitusi UUD 1945 dalam
pengambilan kebijakan, seperti divestasi saham, tetapi pemerintah harus luwes
menggunakan konstitusi. Keluwesan itu penting dalam kerangka menimbang biaya
investasi underground dan smelter cukup besar. Yang namanya korporasi tentu
memiliki perhitungan untung-rugi. Jadi, pemerintah harus berdiri di
tengah-tengah, antara kepentingan bangsa dan mengakomodasi juga kepentingan
korporasi.
Aturan divestasi bagi FI bisa dilunakkan sedikit. FI,
misalnya tetap menjadi operator dan kerja sama dengan perusahaan BUMN. Yang
penting, FI wajib membangun smelter di Papua, bukan di Gresik, agar
memberikan nilai tambah bagi pembangunan daerah. Divestasi saham juga tak
akan bermanfaat besar jika pemerintah dan BUMN belum siap mengolah tambang,
sekelas tambang underground yang punya risiko tinggi dan harus menggunakan
teknologi canggih. Bukan hanya itu, divestasi lebih banyak mudaratnya jika
saham FI jatuh ke tangan swasta nasional, seperti terjadi di tambang batu
Hijau (Newmont ke Medco Group) dan Martabe-Batang Toru (Djarum Group). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar