Pemimpin
Melampaui Politikus
Lasarus Jehamat ;
Dosen
Sosiologi FISIP Undana Kupang
|
MEDIA
INDONESIA, 21 Februari 2017
HIRUK pikuk kampanye dalam rangka pilkada serentak di 101
daerah telah berakhir. Keramaian di gang dan jalan serta di tanah lapang
sudah usai. Sekarang, semua pihak yang terlibat dalam kontestasi itu tinggal
menunggu hasil akhir. Daerah yang akan menggelar putaran kedua berarti akan
memasuki masa tenang kedua juga nanti. Masa tenang politik adalah saat-saat
semua pihak merenung dan memeriksa setiap pasangan calon yang laik untuk
dipilih menjadi pemimpin. Memilih calon yang laik menjadi pemimpin jelas
membutuhkan perenungan autentik. Di sana dibutuhkan ruang asketik. Ruang
asketik adalah ruang pertapaan yang sungguh jernih dalam melihat dan
memeriksa setiap insan yang lain memimpin. Setiap orang yang belajar mengenai
politik Indonesia akan berhadapan dengan realitas kosong. Politik berujung
pada kehampaan politik dan kebingungan demokrasi. Hal itu disebabkan minimnya
pemahaman elite politik akan esensi politik dan enggannya elite politik
mempelajari makna dasar demokrasi.
Di negara yang masih berada dalam transisi demokrasi
seperti di Indonesia, politik selalu identik dengan uang, barang, dan
jaringan. Politik hanya dimengerti sejauh kesiapan seorang dalam menyediakan
sejumlah uang untuk membeli suara, dan berjarak sejauh pembangunan jaringan
manipulatif dan dadakan dengan konstituen. Itulah yang disebut patronase dan
klientisme dalam politik.
Tulisan ini mengangkat realitas politik nasional dan
lokal. Yang ingin dikatakan di sini ialah sejauh ini politik kita tidak
pernah berusaha mencari pemimpin. Politik mentok dan seakan sibuk mencari
politisi semata. Politik mencetak politikus. Politik dipahami hanya sebatas
itu. Padahal, sebelum sebuah kebijakan dilahirkan, dibutuhkan manusia yang
bisa secara kreatif memikirkan kebijakan itu. Politik kita tidak pernah
mempersiapkan manusianya menjadi pemimpin. Akhirnya, politik berujung di
tangan politikus. Miris memang.
Politikus bukan pemimpin
Saya paham benar bahwa banyak orang menolak tesis yang
mengatakan politikus bukan pemimpin. Ahli manajemen organisasi akan
mengatakan setiap orang memiliki kemampuan untuk memimpin, termasuk
politikus. Meminjam terminologi Bourdieu, setiap orang memiliki kuasa, dan
oleh karena itu, politikus juga memiliki kuasa untuk memimpin. Saya sepakat.
Itu definisi ideal. Meskipun demikian, untuk konteks Indonesia, politikus
lebih cenderung menjadi pecundang ketimbang menjadi seorang ayah dan bapak
bagi semua orang.
Bila membaca politik, kita semua nyaris sepakat bahwa
politik harus berujung pada produk kebijakan yang prorakyat. Kontestasi
politik dengan beragam variannya hanyalah dinamika sesaat dan itu lumrah.
Riuhnya pesta politik dalam waktu hampir sebulan di 101 daerah dan di hampir
seluruh Indonesia, berujung pada munculnya nama-nama yang akan menjadi
pelayan rakyat di kemudian hari. Pelayan rakyat ialah mereka yang sibuk
berkontestasi itu. Pelayan harus mampu menyiapkan semua hal yang dibutuhkan
bos yang ialah rakyat itu sendiri. Kebijakan yang prorakyat ialah sebagian
materi yang harus disiapkan pelayan.
Karena itu, oleh sebagian kalangan, politik ialah
mekanisme baku mencari pemimpin. Itu sangat ideal. Sebab, sepintas, gegap
gempita politik nasional hingga lokal berikut aneka kontestasi di dalamnya
sampai pada menghasilkan pemimpin. Mereka yang terlibat dalam politik itu
kemudian disebut politikus. Ketika politikus dikonsepkan seperti itu, gugatan
muncul di sana. Gugatannya ialah apakah politikus itu benar-benar pemimpin
untuk konteks Indonesia? Hemat saya, di situlah kelemahan politik kita.
Politik Indonesia hanya sampai pada menghasilkan politikus dan bukan
pemimpin. Padahal, politikus dan pemimpin merupakan dua entitas berbeda.
Bagi saya, untuk kasus Indonesia, politikus (sebagian
besar) ialah broker kekuasaan. Politikus bermain di ruang kekuasaan. Oleh
karena itu, produk yang dihasilkan tidak mungkin luput dari banyak
kepentingan. Ini berbeda dengan pemimpin. Pemimpin ialah manusia autentik
yang akan menjadi kepala. Jika politikus berurusan dengan kekuasaan, pemimpin
berkutat dengan kebangsaan. Politikus menghasilkan kekuasaan, sedangkan
pemimpin membuahkan kebajikan. Itulah sebabnya mengapa kemudian banyak ahli
mengatakan politikus itu lebih banyak bermain di ruang abu-abu, sedangkan
pemimpin berjuang di lapangan negara bangsa. Bila merujuk pada praktik
politik di lapangan, sulit untuk tidak mengatakan bahwa elite kekuasaan
memang tidak menginginkan lahirnya pemimpin-pemimpin berkualitas di semua level.
Kita gagal merancang sistem politik yang berujung pada munculnya pemimpin
yang berwawasan kebangsaan.
Politik di lapangan
Mereka yang terlibat dalam politik menjadi sangat
pragmatis. Politik dianggap sebagai lapangan pekerjaan yang bisa mendatangkan
uang. Politik jarang, bahkan tidak pernah, dilihat sebagai tanggung jawab
untuk kesejahteraan bersama. Politik mengandaikan adanya rekrutmen dan proses
pendidikan politik. Di sana ditanam nilai-nilai kebangsaan. Sulit rasanya
mendapatkan manusia politik yang cerdas (bukan pintar) jika proses itu dibuat
menjadi sangat instan. Kita gagal di situ.
Harus disadari bahwa untuk konteks Indonesia, pilihan
seseorang menjadi pemimpin, lebih didorong dua motif utama, yakni ekonomi dan
kekuasaan. Perselingkuhan dua motif itu menyebabkan bangsa ini berjalan di
tempat. Ketika dua hal itu tidak dikontrol, peradaban bangsa berjalan mundur
dan perkembangan demokrasi menjadi sangat lamban. Hemat saya, dibutuhkan
kekuatan besar untuk membongkar kedok kepalsuan ideologi politik. Lembaga
politik sulit diharapkan untuk melakukan kerja seperti itu. Elemen masyarakat
sipil, media, kampus dan akademisi harus bahu-membahu bekerja mencari dan
menghasilkan pemimpin. Skema sistem politik harus segera diubah. Elemen
rekrutmen politik menjadi sesuatu yang harus diperiksa terlebih dahulu.
Dengan begitu, pilkada menjadi penting untuk diikuti dan didalami.
Yang ingin terlibat dalam politik harus benar-benar diuji
dalam laboratorium sosial. Perangkat peraturan harus benar-benar menuntut
yang ingin terlibat dalam politik berbasiskan segudang pengalaman politik.
Selain itu, harus pula dirumuskan prosedur operasional standar (standard
operating procedure/SOP) soal cara dan mekanisme seseorang menjadi anggota
partai. Hal tersebut, menurut saya, bisa menyaring seseorang menjadi pemimpin
berwatak kebangsaan dan tidak sekadar politikus. Pernyataan itu tidak sedang
membatas orang lain yang bukan berlatar belakang politik untuk terlibat dalam
politik.
Setiap orang memiliki kapasitas untuk memimpin. Artinya,
kepemimpinan itu tidak semata datang dari ladang politik. Yang dimaksudkan
ialah jika seseorang ingin masuk ke ruang politik, dia harus benar-benar
diuji dari berbagai aspek. Tanpa itu, kita hanya sibuk mencetak politikus dan
enggan menghasilkan pemimpin dari perut politik kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar