Pendidikan
dan Urgensi Budi Pekerti
Ali Usman ;
Pendidik
dan Pemerhati Pendidikan
|
MEDIA
INDONESIA, 20 Februari 2017
PENDIDIKAN sejatinya tidak hanya mencetak generasi bangsa
untuk memperoleh pekerjaan yang layak karena memperoleh ijazah kelulusan di
tingkat tertentu. Namun, lebih dari itu, yaitu menjadikan peserta didik
sebagai manusia yang cerdas, baik, dan berbudi luhur sehingga membawa dampak
positif bagi keluarga, masyarakat, dan bangsa. Itulah sebabnya, lembaga
pendidikan sekurang-kurangnya memiliki empat fungsi utama, (1) sebagai sarana
transfer ilmu pengetahuan; (2) konservasi dan pengembangan ilmu pengetahuan;
(3) penguasaan life skill dan teknologi; (4) sarana pembangunan karakter
(Ismail, dkk, 2006: 76).
Fungsi pendidikan seharusnya berjalan sesuai dengan
proporsi yang seimbang sehingga menghasilkan keluaran yang kompeten dalam
bidang ilmu pengetahuan. Bukan saja mampu mengandalkan kemampuan pikir dan
kognitif yang baik, melainkan juga memiliki jiwa dan karakter yang luhur. Pada
kenyataannya, dari keempat fungsi pendidikan yang dikemukakan itu, umumnya
hanya tiga fungsi yang dijalankan, yaitu fungsi transfer ilmu, fungsi
konservasi dan pengembangan ilmu, serta fungsi penguasaan life skill dan
teknologi.
Sementara itu, fungsi keempat, yaitu sarana pembangunan
karakter, masih jauh dari harapan. Ketimpangan itu menyebabkan
ketidakseimbangan keluaran antara kemampuan kognitif dan pembentukan karakter
yang positif. Kemampuan kognitif yang tidak diimbangi dengan karakter yang
positif menyebabkan munculnya pribadi-pribadi yang cacat secara nilai. Oleh
sebab itu, di antara pekerjaan rumah sistem dan lembaga pendidikan di
Indonesia saat ini ialah mengembalikan pendidikan pada fungsinya sebagai
pembentuk karakter bangsa yang tidak hanya bertugas sebagai sarana transfer
ilmu pengetahuan, pengembangan keilmuan, penguasaan life skill dan teknologi,
tetapi juga sebagai wahana internalisasi nilai-nilai luhur dan ideal bagi
masyarakat.
Nilai-nilai moral merupakan salah satu unsur dalam
nilai-nilai luhur yang dimaksud. Pendidikan, dengan demikian, dapat
berkontribusi dalam penanaman budi pekerti yang baik bagi peserta didik.
Spirit budi pekerti ini umumnya bersumber dari diri sendiri yang berkorelasi
dengan norma-norma agama dan adat masyarakat. Meminjam ungkapan HAMKA, untuk
mencapai kesentosaan masyarakat, kita harus mengikuti satu peraturan, yaitu
peraturan budi. Peraturan budi tertulis pada damir (perasaan halus) kita
sendiri yang menimbulkan satu keperluan.
Untuk mencukupkan segenap kewajiban, kita sama-sama
memikul satu hak, dan semua kita wajib sama-sama menghormati hak itu. (HAMKA,
1983: 135). Nilai-nilai moral sebagai salah satu unsur penting pembentuk
nilai-nilai luhur kehidupan selayaknya menjadi inti dari pembentukan karakter
bangsa yang secara psikologis merupakan bagian dari kompetensi yang berada
pada domain afektif, kognitif, dan psikomotorik. Dari karakter tersebut akan
terbentuk suatu pribadi yang memiliki karakter luhur. Kriteria pribadi yang
baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu
masyarakat atau bangsa secara umum ialah nilai-nilai sosial tertentu, yang
banyak dipengaruhi budaya masyarakat dan bangsanya.
Hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan
di Indonesia ialah pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai luhur yang
bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina
kepribadian generasi muda (Wibowo, 2012: 34).
Aktualisasi budi pekerti
Karena itu, penanaman budi pekerti yang baik bagi generasi
bangsa lewat jalur pendidikan sangat urgen diinternalisasi, sebab memiliki
relevansi dengan perkembangan perilaku masyarakat dewasa ini. Pertama, dalam
arus perkembangan teknologi modern, penting menjaga lisan atau ucapan kotor
yang tersalurkan secara langsung maupun tidak langsung lewat media sosial
(medsos). Sekadar menyebutkan contoh, adalah KH Musthafa Bisri (Gus Mus) yang
menjadi korban perundungan lewat perkataan kotor dan caci maki yang tidak
etis oleh beberapa orang pengguna media sosial (medsos). Namun, Gus Mus memilih
diam dam memaafkannya sebelum pelaku meminta maaf secara langsung menemuinya
di Rembang selang beberapa hari kemudian.
Sikap Gus Mus ini memberi teladan sebagai seorang ulama.
Tokoh lain yang juga layak diapresiasi ialah Buya Syafii Maarif. Kasus perundungan
yang menimpa Gus Mus, Buya Syafii, dan tokoh-tokoh lain, memberikan pelajaran
berharga tentang pentingnya memaafkan kesalahan orang lain, yang merupakan
anjuran ajaran Islam sebagai perbuatan sangat mulia. Islam melalui doktrin
dan institusi ibadahnya sangat memberikan perhatian soal maaf-memaafkan,
suatu dimensi sosial kehidupan yang menurut Alquran sangat sentral untuk
ditegakkan sebab dari sinilah kehidupan kemasyarakatan yang sehat bisa
dimulai.
Jika suatu masyarakat telah tumbuh saling curiga dan
semangat balas dendam, itu sebuah pertanda masyarakat tersebut sedang sakit.
Proses penyembuhannya tidak lain kecuali cara-cara damai, antara lain melalui
konsep rekonsiliasi (islah). Dengan islah, manusia bisa saling mengenali
secara baik kultur kehidupan setiap individu untuk kemudian dicarikan
penyelesaian terbaik. Kedua, penanaman budi pekerti yang baik kepada generasi
bangsa merupakan langkah preventif untuk mencegah perilaku amoral yang
menjadi endemi di kalangan masyarakat. Pola penanaman budi pekerti ini dapat
dilakukan lewat pendidikan dalam arti luas, yaitu formal maupun nonformal.
Pendidikan formal yang dimaksud ialah pola pembelajaran di
lembaga-lembaga pendidikan yang diselenggarakan pemerintah maupun swasta,
sedangkan pendidikan nonformal sebaliknya, yaitu proses pembelajaran di luar
jam sekolah formal, seperti peran keluarga. Keluarga dan pendidikan sekolah
yang selalu membiasakan dan menghargai kejujuran membuat anak akan merasa
salah dan jiwanya tersiksa kalau tidak jujur. Kebiasaan ini pada urutannya
akan membentuk pribadi jujur.
Ketika berbuat curang, rasanya tidak enak dan tidak
percaya diri sebagaimana berangkat sekolah tidak mandi atau tidak gosok gigi
(Hidayat, 2009: 801).
Keluarga merupakan ormas kecil. Hubungan di antara anggota
keluarga tidak dikendalikan oleh aturan umum yang bersifat impersonal dan
tidak dapat diubah, tetapi selalu dan biasanya ada dalam suasana kebebasan.
Anak harus belajar menghormati peraturan dan bertanggungjawab atas
kewajibannya. Selanjutnya, sekolah mengembangkan tanggung jawab dan
menghormati peraturan secara lebih dewasa. Terdapat jarak yang lebar antara
kualitas moral anak ketika ia meninggalkan keluarganya dan kualitas moral
yang harus menjadi tujuan. Diperlukan perantara yang kondusif bagi perkembangan
moral anak. Sekolah sebagai perantara yang merupakan komunitas baru bagi anak
diharapkan dapat membantu mengasah dan memupuk perkembangan moral anak
melalui metode dan sistem pendidikan yang baik.
Namun, terdapat dimensi lain dari hubungan timbal balik
orangtua, keluarga, masyarakat dengan sekolah, yaitu tiadanya inisiatif dari
kedua belah pihak untuk secara kreatif menciptakan ruang komunikasi yang
efektif untuk menjaga moralitas anak-anak. Teladan kebersamaan sekolah dan
masyarakat sangat diperlukan dalam rangka menumbuhkan mental dan karakter
anak yang mandiri dan mau berbagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar