Australia
Day, Pelajaran untuk Kita
Iqbal Aji Daryono ;
Praktisi Media Sosial; Penulis; Kini
ia tinggal sementara di Perth, Australia, dan bekerja sebagai buruh
transportasi
|
DETIKNEWS, 31 Januari 2017
Kamis
kemarin, saya sekeluarga bersama teman-teman di sini ramai-ramai datang ke
tepian Sungai Swan. Hari itu tanggal 26 Januari, resminya merupakan hari
terpenting bagi Australia. Tiap tanggal tersebut, segenap kota di sekujur
benua ini menggelar perayaan sangat megah, dengan ribuan orang berkostum
meriah, dan kembang api raksasa yang jauh lebih warna-warni ketimbang kembang
api Tahun Baru.
Australia
Day, begitu mereka menyebutnya. Meski saya bukan orang Australia, sebagai
turis paruh waktu dan bapak yang ingin momong anak, setiap tahun saya selalu
datang menonton. Acara di Perth kemarin batal karena terjadi kecelakaan yang
memakan korban jiwa, namun tiap kali Australia Day saya selalu membayangkan
adegan semacam ini:
Suatu
kali di masa lalu, pintu rumah kakek buyut kita didobrak segerombolan orang.
Para pendobrak masuk, tidur di ranjang nenek kita, mengusir yang punya rumah.
Ketika kakek-nenek kita menolak pergi, mereka dibunuh oleh para 'tamu'.
Jauh
hari setelah masa-masa gelap itu, kita tinggal bersama anak-cucu para
perampas rumah, di rumah yang semestinya menjadi hak waris kita. Lalu setiap
tahun, dengan sangat megah dan meriah, mereka memperingati hari ketika kakek
mereka mendobrak pintu rumah kakek kita. Dan semua peringatan itu digelar di
depan hidung kita!
Seperti
itulah kira-kira Australia Day di mata penduduk lokal Aborigin. Perih banget,
kan? Memang.
Sebagai
sebuah negeri yang tak punya hari kemerdekaan, Australia memang membentuk
kesadaran kolektif atas nation yang mereka buat dengan memancangkan hari
penting yang lain. Maka, dipilihlah 26 Januari, sebagai peringatan atas 26
Januari 1788, ketika armada laut pertama Kerajaan Inggris Raya mendarat di
Teluk Sidney lantas mengibarkan The Union Jack di sana.
Bagi
orang Eropa dan keturunannya, hari tersebut adalah awal mula dibangunnya
sebuah peradaban baru. Sementara, bagi masyarakat lokal, hari itu merupakan
grand opening dari rangkaian panjang pesta pora perampasan tanah, perebutan
paksa anak-anak dari orangtua mereka, pemerkosaan-pemerkosaan, dan tentu saja
pembantaian demi pembantaian atas mereka.
Itulah
kenapa, ada dua penyebutan untuk perayaan bernilai jutaan dolar ini.
Australia Day untuk mereka di sisi kanan, dan Invasion Day bagi mereka di
sisi kiri.
Sisa
dari kelamnya masa lalu Australia masih terus mewarnai hari ini. Tiap kali
berlangsung perayaan Australia Day, selalu digelar pula demo-demo penolakan.
Itu terjadi karena Australia Day masih saja memakai 26 Januari sebagai waktu
pelaksanaannya.
Perdebatan
terus berlangsung tentang hari kontroversial tersebut. Hingga kemudian muatan
maknanya coba dinetralisir. "Sekarang, Australia Day bukan lagi
memperingati momentum pendaratan armada Inggris. Ini adalah perayaan atas
Australia yang multikutur. Australia adalah milik semua." Begitulah
pernyataan resmi pemerintah.
Australia
memang sudah menjadi negeri warna-warni. Dominasi kulit putih, itu pasti.
Namun para imigran dari berbagai belahan dunia adalah bagian tak kalah
penting di tanah ini. Di zaman sekarang, muatan nilai kebhinnekaan pada
Australia Day menemukan relevansinya. Jadi sekilas memang masuk akal mengubah
makna Australia Day dengan hari multikulturalisme.
Namun
persoalan belum selesai. Bagaimana bisa sebuah hari diganti maknanya,
sementara tanggalnya tetap persis seperti sedia kala? Lalu apa makna historis
26 Januari bagi kebhinnekaan? Apa mereka bisa menjawabnya? Kenapa nggak
diganti tanggal lain saja?
Ingat,
kita ini kan selalu sensitif dengan momen-momen bersejarah. Jangan lupa
bagaimana berisiknya penetapan Hari Santri Nasional di Indonesia, misalnya.
Ingat juga perdebatan tentang hari-hari penting lain, semisal Hari
Kebangkitan Nasional. Pendeknya, mengubah makna 26 Januari dari hari
pendaratan kapal penjajah menjadi hari multikulturalisme, itu rasanya tak
lebih dari aksi penguasa untuk menjalankan strategi kebudayaan yang nanggung
dan canggung.
Problem
psikologis dari tanggal 26 Januari itu kemarin disikapi oleh pemerintah City
of Fremantle, sebuah area administratif setara kecamatan di dekat tempat kami
tinggal. Mereka menggeser perayaan ke tanggal 28, dan menempatkan masyarakat
Aborigin sebagai elemen dominan perayaan tersebut. Ini langkah maju yang
penting, apalagi dukungan publik atas sikap tersebut sangat kuat. Saya
menduga, di tahun-tahun berikutnya akan ada daerah-daerah lain yang mengikuti
Fremantle.
Secara
umum, masyarakat Australia memang tidak denial. Mereka mengakui buruknya masa
lalu Australia. Pembentukan kesadaran atas itu pun sudah diajarkan di
sekolah-sekolah, perpustakaan, dan sarana pendidikan publik lainnya.
Saya
ambil contoh, di museum-museum, ekspresi yang menggambarkan sikap publik
seperti ini sudah gampang kita temukan. Di Western Australia Museum dan
Maritime Museum, misalnya, dipajang surat-surat tulisan tangan dari anak-anak
sekolah, yang menunjukkan rasa sedih dan penyesalan mereka atas gelapnya masa
lalu Australia, berikut segala perbuatan tercela nenek moyang mereka.
Di
Geraldton Museum, saya melihat satu narasi yang menceritakan bagaimana
orang-orang lokal Aborigin menjadi pemandu bagi pendatang Eropa untuk
mengeksplorasi, memetakan wilayah, dan membuat rute jalanan baru. Cerita itu
diakhiri dengan penekanan: "Ironisnya, bantuan orang Aborigin tersebut
justru membuka jalan bagi perampasan atas tanah mereka sendiri oleh
orang-orang Inggris."
Seiring
pengakuan dan permintaan maaf tersebut, warga Aborigin juga mendapatkan
beberapa hak khusus semisal jaring kesejahteraan.
Pengakuan,
permintaan maaf, dan jaminan sosial. Selesai? Belum. Di tengah-tengah
masyarakat, masih tetap bermunculan bigot-bigot ekstrem yang rasis,
anti-imigran, pemuja supremasi kulit putih, dan merasa bahwa hanya orang
Eropa yang paling berjasa bagi kemajuan Australia. Lebih parah lagi ketika
Tony Abbot, perdana menteri yang lalu, berkata sembrono dan menyatakan bahwa
sebelum kedatangan orang kulit putih, di Australia hanya ada semak-semak.
Itu
baru tentang pengakuan. Di sisi lain, jaring kesejahteraan memunculkan
masalah sosial baru. Angka bolos sekolah tertinggi dipegang anak-anak
Aborigin. Di Murdoch University, kata istri saya yang belajar di sana, pun
nyaris tak ia jumpai ada mahasiswa Aborigin yang kuliah. Bahkan di dunia
kerja rendahan semacam aktivitas saya, situasinya tak beda. Dari pekerjaan
saya sebagai sopir merangkap pengantar barang, saya bisa punya banyak teman
dari berbagai negara. Mulai Amerika Latin, negara-negara miskin di Eropa
Timur, hingga Afrika. Anehnya, tak satu pun saya berjumpa dengan orang
Aborigin. Jika saya ketemu mereka, lebih sering orang-orang tersebut
menggelandang di jalanan, mabuk, atau mengemis.
Mungkin
ada efek ketergantungan di sini. Karena jaminan sosial, need of achievement
di kalangan masyarakat Aborigin jadi rendah. Kenapa harus belajar dan bekerja
keras, lha wong tanpa itu pun sudah bisa hidup. Barangkali begitu mereka
berpikir.
Begitulah.
Setidaknya, ada dua pelajaran yang bisa kita ambil dari Australia dan
perayaan tanggal istimewanya.
Pertama,
kita tidak perlu gumunan, kalau orang Jawa bilang. Tak perlu gampang
terpukau. Kadang kita terkagum-kagum melihat kemajuan negara-negara kaya,
termasuk Australia. Salah satu kotanya, yakni Melbourne, dinobatkan sebagai
kota di dunia yang paling layak ditinggali (most liveable city). Human development index-nya tertinggi nomor
dua sedunia. Pengangguran mendapat santunan dari negara. Negara memberikan
perhatian sangat tinggi bagi kesejahteraan dan keselamatan anak-anak, manula,
dan kaum difabel. Dan sebagainya dan sebagainya.
Namun
ternyata, di balik semua gemerlap itu, negeri ini berdiri di atas genangan
darah dan tumpukan mayat ratusan ribu manusia.
Kedua,
untuk bisa melangkah maju, kita harus mengakui masa lalu. Australia punya
masa lalu yang gelap, Indonesia pun punya. Tragedi 1965-1966, peristiwa suram
di Aceh, Timor Timur, Papua, dan entah mana lagi, adalah setumpuk PR yang
semestinya membuat kita terus berkaca.
Proses
menuju pengakuan atas masa lalu yang buruk sudah pasti akan panjang dan tidak
gampang. Kondisi di Australia lebih mudah daripada kita. Masa kelam mereka
telah lama lewat, dua abad silam, dan para pelaku sejarahnya sudah almarhum
semua. Adapun kondisi kita jauh lebih sulit. Masa gelap kita belum seabad
berlalu. Banyak pelaku yang masih hidup, masih mengingat situasi emosional di
masa-masa itu, sehingga subjektivitas pun masih mendapat posisi kuat. Belum
lagi versi sejarah yang tidak tunggal, penuh kontroversi dan pertentangan.
Namun
semua upaya untuk berdamai dengan masa lalu tetap harus dijalankan.
Orang-orang biasa macam kita pun bisa mendukungnya. Minimal dengan tidak
latah mengikuti sikap-sikap paranoid, yang memupuk ketakutan tak beralasan
atas kebangkitan hantu-hantu masa silam, yang sesungguhnya tak lagi relevan
untuk dikhawatirkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar