Melawan
Daya Tarik ISIS
Stanislaus Riyanta ;
Pengamat Intelijen dan Terorisme;
Alumnus FMIPA Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta dan Pascasarjana Kajian Stratejik Intelijen Universitas
Indonesia
|
DETIKNEWS, 30 Januari 2017
Pertengahan
tahun 2015 publik di Indonesia dikejutkan dengan Dwi Djoko Wiwoho, mantan
Direktur Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSO) Badan Pengusahaan (BP) Batam
yang bergabung dengan ISIS. Dwi Djoko Wiwoho meninggalkan pekerjaan dan
jabatan yang cukup bergengsi, dari sisi ekonomi sudah tidak ada masalah lagi.
Kejadian
serupa kembali terulang pada tahun 2017. Triyono Utomo Abdul Sakti, mantan
Kepala Subdirektorat Penerimaan Negara Bukan Pajak Non Sumber Daya Alam
Kementrian Keuangan mengundurkan diri dari PNS dan mencoba bergabung dengan
ISIS.
Keputusan
Triyono Utomo cukup mengejutkan, pendidikan Triyono cukup bergengsi. Triyono
merupakan alumni Sekolah Tingggi Akuntansi Negara (2004) dengan gelas Sarjana
Sains Terapan (S.ST), dan alumni dari Flinders University South Australia
(2009) dengan gelar Master of Public Administration (MPA). Dari sisi
finansial, tentu saja tidak perlu diragukan lagi. Namun daya tarik ISIS yang
kuat mampu membuat Triyono berpaling dan memilih meninggalkan karir dan
jabatannya untuk bergabung dengan ISIS.
Sebelum
kedua pejabat tersebut yang bergabung dengan ISIS, pada bulan Juli 2015
publik dikejutkan dengan kabar bergabungnya Brigadir Syahputra, Anggota
Kepolisian dari Polres Batanghari Jambi. Syahputra bergabung dengan ISIS di
Suriah dan berganti nama menjadi Abu Azzayn al Indunisiy. Kabar terakhir,
Syahputra telah tewas dalam sebuah serangan udara oleh koalisi international
pimpinan AS, meskipun hingga saat ini belum ada konfirmasi atau bukti resmi
yang diterima oleh pemerintah Indonesia.
Faktor Pendorong dan
Motivasi
Dalam
berbagai kesempatan, pemerintah menyatakan bahwa kurang lebih 500-an WNI
telah bergabung dengan ISIS. Banyak dari mereka yang tertahan di
negara-negara transit seperti Malaysia dan Turki. Angka sebesar itu tentu
tidak bisa disepelekan, walaupun banyak dari mereka yang telah kembali ke
Indonesia dengan berbagai alasan seperti dideportasi atau memang pulang
dengan keinginan sendiri.
Hijrahnya
warga negara Indonesia ke ISIS tidak serta merta begitu saja. Ada berbagai
faktor yang mendorong mereka untuk bergabung dengan ISIS. Abu Jandal, alias
Salim Mubarok Attamimi, warga negara Indonesia yang pernah tinggal di Malang
ini adalah salah satu orang yang aktif mengajak dan merekrut orang di daerah
Jawa Timur untuk bergabung dengan ISIS.
Ajakan
yang dilakukan Abu Jandal diduga dengan bujukan ekonomi. Rekrutmen secara
tertutup diduga dilakukan kerana sasaran calon simpatisan ISIS sudah jelas
dan merupakan kenalan dari Abu Jandal. Narasi-narasi disampaikan sehingga terbangun
motivasi calon simpatisan untuk bergabung dengan ISIS.
Alhasil
WNI yang tergiur dengan janji-janji ekonomi ini rela menjual asetnya dan
bersama keluarga atau secara bertahap mereka pergi ke Suriah melalui Turki.
Abu Jandal, yang kemudian diketahui telah tewas di Suriah, mengumpankan daya
tarik ekonomi sebagai pendorong calon simpatisan ISIS untuk hijrah ke Suriah,
sehingga terbangun motivasi untuk perubahan secara ekonomis dengan kemasan
ideologis.
Selain
faktor ekonomi, ISIS berhasil menciptakan daya tarik ideologis yang sangat
kuat sehingga mampu menggalang orang-orang yang murni ingin bergabung karena
persamaan keyakinan. ISIS menyebarkan doktrin-doktrin ideologis melalui media
sosial dan media masa secara masif. Publikasi atas ISIS yang sangat gencar di
seluruh dunia justru menciptakan daya tarik bagi banyak orang.
Orang
yang cenderung mempunyai paham atau keyakinan yang sama akan mudah bersimpati
dan akhirnya bergabung. Bahkan tidak sedikit yang melepaskan jabatan, harta,
keluarga dan apa yang telah dicapai hanya untuk bergabung dengan ISIS. Ini
terbukti pada kasus di Indonesia, mantan pejabat BP Batam dan mantan PNS
Kementerian Keuangan bergabung dengan ISIS.
Dari
ratusan orang warga negara Indonesia yang telah hijrah dan bergabung dengan
ISIS terdeteksi ada dua motivasi besar, yaitu ekonomi dan ideologi. Motif
ekonomi terjadi pada simpatisan yang digalang secara individu, face to face,
yang biasanya mempunyai hubungan sosial dengan perekrut yang telah lebih dulu
bergabung dengan ISIS.
Motif
kedua adalah ideologi. Motif ini bisa muncul karena memperoleh informasi
tentang ISIS melalui media sosial dan media masa. Interaksi dengan ISIS di
Suriah terjadi dengan bantuan internet dan setelah melakukan komunikasi
secara intens. Setelah terjadi komunikasi maka penggalangan dilakukan dan
orang yang tergalang tersebut akhirnya memutuskan untuk hijrah bergabung
dengan ISIS dengan motivasi ideologi.
Selain
hijrah, orang yang tergalang melalui media sosial dan media masa, bisa
diperalat sebagai lone wolf untuk melakukan aksi di Indonesia. Hal ini
seperti yang terjadi di Tangerang (20/20/2016) pada kasus penyerangan Polisi,
dan penyerangan di Gereja Katolik di Medan (28/8/2016). Dengan motivasi
ideologi dan doktrin-doktrin serta janji surgawi maka pelaku terdorong untuk
melakukan aksi teror
Faktor Penyebab
Mudahnya
sebagian warga negara Indonesia terdoktrin dan dimasuki ideologi oleh ISIS
menunjukkan ada masalah serius yang harus disikapi oleh pemerintah.
Seharusnya ideologi bangsa Indonesia Pancasila dan filosofi Bhinneka Tunggal
Ika mampu menjadi filter masuknya idelogi seperti yang digunakan oleh ISIS,
yang menghalalkan cara-cara keji untuk mencapai tujuan.
Warga
negara Indonesia dengan ideologi Pancasila dan filosofi Bhinneka Tunggal Ika
sadar akan perbedaan di Indonesia, perbedaan tersebut disikapi sebagai
sesuatu yang mengayakan dan menyatukan bangsa Indonesia sehingga tercipta
persatuan dan kesatuan bangsa. Namun, jika sebagai warga negara Indonesia
mempunyai sifat nasionalisme rendah, maka akan membuka diri untuk mencari
ideologi lain yang dianggap sesuai dengan keinginannya. Celah rendahnya
nasionalisme dan kehausan akan ideologi inilah yang dimanfaatkan oleh ISIS
melalui para perekrut secara langsung dan melalui media sosial untuk
menggalang simpatisannya.
Nasionalisme
akan tetap terjaga jika warga negara merasakan negara hadir dan ada serta
mampu menjadi pengayom bagi warganya. Jika pejabat negara dan elit politik
sibuk dengan kepentingannya masing-masing maka kepercayaan warga negara
terhadap pemerintah akan luntur dan secara langsung nasionalisme akan
berkurang. Hal ini terbukti pada berbagai unjuk rasa akhir-akhir ini yang
menampilkan aksi-aksi melawan simbol negara seperti penghinaan terhadap
Presiden atau bendera Merah Putih. Jika nasionalisme tinggi atau kuat tentu
hal tersebut tidak akan terjadi.
Pengaruh
kelompok intoleran terhadap masuknya ideologi garis keras cukup signifikan.
Kelompok atau organisasi intoleran terutama yang menentang Pancasila atau
yang berafiliasi dengan organisasi terlarang seperti ISIS harus ditindak
tegas. Jika dibiarkan dan masyarakat melihat bahwa negara tidak melakukan
tindakan terhadap kelompok tersebut maka ini menjadi jalan bagi ideologi
selain Pancasila untuk eksis di Indonesia.
Sikap
dan tindakan tegas harus segera dilakukan untuk menunjukkan posisi negara
dalam melindungi warganya dari ideologi dan paham asing. Pembiaran oleh
pemerintah akan membuat keraguan warga negara atas terhadap negara,
pemerintah, dan filosofi bangsanya. Celah ini sangat berbahaya karena bisa
dimanfaatkan untuk menggerus nasionalisme.
Pencegahan
Pemerintah
harus dengan cepat mengatasi fenomena ini. Nilai-nilai ideologi Pancasila dan
filosofi Bhinneka Tunggal Ika harus dipupuk kembali sebagai benteng terdepan
mencegah ideologi atau paham asing yang tidak tepat. Paham-paham asing
tersebut meskipun dengan kemasan ideologis akan menggalang warga negara
Indonesia dan akan mengadu domba sesama warga negara Indonesia.
Negara
harus hadir bagi warganya, para pemimpin dan elit politiknya sebagai teladan
yang baik bagi penerapan nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika,
bukan justru saling bertikai dan memamerkan aksi berebut panggung kekuasaan.
Ketidakpercayaan warga negara terhadap pemerintah dan elit politiknya akan
membuka celah lebar bagi ideologi dan kepentingan asing.
Deradikalisasi
harus diawali dengan kepercayaan warga negara terhadap pemerintah dan elit
politik. Kepercayaan tersebut yang akan menjadi energi bagi warga negara
untuk bergerak bersama-sama pemerintah untuk tetap setia dengan ideologi
Pancasila dan filosofi Bhinneka Tunggal Ika serta melawan ideologi asing yang
berpotensi mengganggu negara.
Jika
elit politik masih terus bertikai dan menujukkan atraksi politik yang tidak
sehat serta menjemukan, maka siap-siap saja daftar orang-orang seperti Wiwoho
dan Triyono Utomo bertambah panjang. Nasionalisme harus dibangkitkan,
dikuatkan dan dibangun sebagai garda terdepan pencegah ideologi asing
memasuki Indonesia, dan hal ini harus dimulai dari teladan pemimpin dan elit
politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar