Relevansi
Perppu MK
Refly Harun ;
Praktisi dan Pengajar Hukum Tata
Negara;
Mengajar di Program Pascasarjana
Fakultas Hukum UGM
|
DETIKNEWS, 01 Februari 2017
Ditangkapnya
Patrialis Akbar, Rabu malam, 25 Januari lalu, adalah gempa kedua bagi
Mahkamah Konstitusi (MK). Gempa pertama, dengan skala richter lebih besar
terjadi pada tanggal 2 Oktober 2013 ketika Ketua MK (saat itu) M. Akil
Mochtar dicokok karena menerima suap dari Bupati Gunung Mas terpilih, Hambit
Bintih. Seperti halnya Patrialis, Akil juga ditangkap pada Rabu malam.
Goncangan
gempa Patrialis ini tidaklah sedahsyat gempa Akil, terlebih pengadilan bisa
membuktikan bahwa kejahatan Akil membentang mulai dari 2010 hingga
tertangkap. Ratusan miliar didapat Akil dari berdagang perkara. Lebih dari
seratus miliar pula harta disita negara. Media terperangah, khalayak marah.
Terhadap
Patrialis, bisa jadi, masyarakat mulai "terbiasa" dengan operasi
tangkap tangan (OTT) pejabat-pejabat tingkat atas oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Sebelum Patrialis, Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman
Gusman, yang berwajah sangat santun dan ramah, juga terkena jaring KPK. Irman
tertangkap tangan menerima 'buah tangan' seratus juta rupiah, yang diduga
bagian dari komitmen karena Irman telah berdagang pengaruh. Sebelumnya lagi,
sudah berderet anggota DPR yang ditangkap. Masyarakat tidak lagi marah,
tetapi seperti sudah pasrah dan menganggap biasa.
Respons Presiden Jokowi
Sikap
masyarakat tersebut tercermin juga dari Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Kendati menyesalkan tertangkapnya Patrialis, Presiden Jokowi terlihat belum
tergerak untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang
(perppu) untuk menyelamatkan marwah MK ke depan. Hal ini yang membedakan
dengan presiden sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sebagaimana kita
tahu, setelah tertangkapnya Akil, Presiden SBY mengeluarkan perppu, yang
kemudian dikenal dengan Perppu Penyelamatan MK.
Perppu
tersebut berisi tiga hal pokok. Pertama, hakim konstitusi tidak boleh berasal
dari partai politik (parpol). Andai dari parpol, setidaknya sudah pensiun
sebagai anggota selama tujuh tahun sebelum terpilih sebagai hakim konstitusi.
Kedua, rekrutmen hakim konstitusi melalui uji kelayakan dan kepatutan oleh
panel ahli independen yang dibentuk Komisi Yudisial (KY).
Mahkamah
Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Presiden, tiga lembaga yang memiliki
kewenangan konstitusional untuk mengajukan hakim konstitusi, tidak boleh
semau-muanya lagi dalam merekrut hakim konstitusi, sebagaimana Presiden SBY
menunjuk begitu saja Patrialias Akbar pada tahun 2013 tanpa proses seleksi.
Calon-calon dari ketiga lembaga tersebut harus diuji kelayakannya oleh panel
ahli independen tersebut. Mereka yang tidak lolos tentu tidak boleh
dimajukan.
Ketiga,
untuk menjaga keluhuran dan martabat hakim konstitusi, dibentuk majelis
kehormatan hakim konstitusi yang independen, yang sekretariatnya berada dan
difasilitasi KY. Pengawasan terhadap hakim MK dilakukan secara eksternal,
tidak internal seperti saat ini, agar lembaga pengawas ini lebih efektif
dalam bekerja.
Meski
tertatih-tatih dan harus melalui voting, perppu itu dapat disetujui DPR dan
menjadi UU Nomor 4 Tahun 2014. Namun, yang terjadi kemudian, undang-undang
itu dibuldozer MK. Sejumlah pihak, entah memperjuangkan kepentingan apa,
mengajukan pengujian UU Nomor 4 Tahun 2014. Prinsip bahwa sesorang harusnya
tidak boleh menjadi hakim bagi dirinya sendiri (nemo judex indoneus in
propria) ditabrak oleh hakim-hakim MK.
Tidak
ada protes berarti di masyarakat atas perilaku hakim-hakim MK tersebut.
Sebagian malah mendukung tindakan tersebut atas nama independency of
judiciary. Alhasil, hilanglah momentum untuk memperbaiki MK. Ditangkapnya
Patrialis adalah contoh sempurna kegagalan itu. Padahal, bila dirunut,
sebelum Akil ditangkap dan sekarang dibui seumur hidup, pada tahun 2010 saya
telah mengindikasikan ada yang tidak beres di MK.
Saat
itu sebenarnya Akil yang dituju, tetapi secara tidak sengaja yang terbukti
melanggar kode etik adalah Arsyad Sanusi. Hakim yang berasal dari MA tersebut
dianggap melanggar kode etik karena membiarkan anaknya menjadi
"broker" perkara di MK. Sayangnya, soal Arsyad terkesan dikecilkan
sehingga tidak menjadi pembelajaran sampai akhirnya Akil dijerat dan
Patrialias ditangkap.
Tetap Relevan
Masalahnya,
apakah kita mau belajar dan memanfaatkan momentum saat ini untuk memperbaiki
dan menjaga MK. Pada titik ini saya menganggap masih sangat relevan
menghidupkan perppu MK. Materi pokoknya setidak-tidaknya menyangkut tiga hal
di atas. Walau tidak harus persis, intinya harus ada perbaikan MK dari hulu
hingga hilir. Hulunya perbaikan syarat menjadi hakim konstitusi dan sistem
rekrutmennya. Hilirnya harus ada pengawasan terhadap perilaku hakim-hakim
konstitusi, karena hakim konstitusi juga manusia meski bersyarat negarawan.
Dari
sisi syarat hakim konstitusi, syarat tidak menjadi anggota parpol atau jedah
sekurang-kurangnya lima tahun sebagai anggota parpol sebaiknya dicantumkan
kembali. Bukan kebetulan bila Akil dan Patrialis berasal dari parpol sebelum
terpilih. Banyak yang salah mengerti mengenai larangan anggota parpol, yang
seolah-olah mendikotomikan antara parpol dan bukan parpol. Pemikiran seperti
itu keliru. Kita butuh parpol iya, tetapi cukuplah untuk jabatan-jabatan
politik baik di eksekutif maupun legislatif. Hakim konstitusi haruslah orang
yang beyond dari parpol agar betul-betul syarat negarawan terpenuhi.
Secara
natural, politisi berbeda dengan hakim. Politisi dituntut bergaul seluwes
mungkin, berkenalan dengan sebanyak mungkin orang, agar tercipta jaringan.
Hakim sebaliknya harus melalui jalan sepi, berkomunikasi dan bergaul harus
dibatasi, agar tidak mudah diinfiltrasi kepentingan-kepentingan pihak yang
berperkara atau pihak yang berkepentingan terhadap perkara. Sudah menjadi
rahasia umum dan keluhan banyak pihak, hakim yang berasal dari politisi
termasuk yang paling sering diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan,
terutama dari kalangan parpol sendiri. Adanya contoh hakim politisi yang
dianggap baik seperti Mahfud MD, tidak bisa menjadi pembenaran. Yang harus
dibangun adalah sistem, tidak bisa mengandalkan kecenderungan individual.
Soal
proses rekrutmen, selama ini tidak konsisten di ketiga lembaga. Presiden SBY
pernah membentuk pansel pada tahun 2008 untuk mengganti tiga hakim konstitusi
yang habis masa jabatannya. Namun, tahun-tahun berikutnya main tunjuk saja,
mulai dari penunjukan Hamdan Zoelva, Patrialis, hingga memperpanjang masa
jabatan Maria Farida. Perpanjangan masa jabatan juga sering dilakukan oleh
MA. Sementara rekrutmen di DPR lebih kental dengan kepentingan politik dan
uang ketimbang memilih sosok negarawan. Akil Mochtar terpilih kembali sebagai
hakim konstitusi dari saku DPR tahun 2013 tanpa proses yang transparan.
Terbatas Perilaku
Dari
sisi pengawasan, harus dipastikan pengawasan hakim konstitusi terbatas pada
perilaku dan tidak boleh masuk pada wilayah putusan yang merupakan mahkota
hakim. Prinsip independensi peradilan harus tetap dijaga. Sebaiknya pula
bahasa yang digunakan bukan pengawasan, melainkan "menjaga keluhuran dan
martabat" hakim konstitusi. Itu adalah bahasa konstitusi (UUD 1945).
Memang
tidak pada tempatnya hakim diawasi, apalagi hakim konstitusi. Konsep
pengawasan lebih sesuai untuk jabatan nonhakim. Jabatan hakim adalah
(seharusnya) jabatan yang sangat mulia, luhur, dan bermartabat. Tidak
sembarang orang (seharusnya) menjadi hakim. Hakim adalah wakil Tuhan di dunia.
Di ujung palu hakim, hidup mati seseorang sering ditentukan.
Namun,
hakim juga manusia, bisa tergoda untuk berperilaku menyimpang. Perbaikan
rekrutmen tidak cukup untuk menjaga hakim. Rekrutmen yang transparan,
partisipatif, objektif, dan akuntabel tetap harus dijalankan agar terpilih
hakim-hakim yang tidak saja memiliki kapasitas (profesional), melainkan pula
independen dan berintegritas. Setelah terpilih dengan proses yang baik,
hakim-hakim itu perlu juga dijaga agar tidak berperilaku menyimpang, apalagi
sampai menerima suap. Perppu harus dapat memastikan bahwa baik dari sektor
hulu maupun sektor hilir, para hakim konstitusi dapat terjaga.
Gempa
Patrialis memang lebih kecil dibandingkan gempa Akil, tetapi ini adalah
kerusakan lanjutan. Momentum ini harus dapat dimanfaatkan untuk menjaga dan
menyelamatkan MK. Perppu salah satu jawabannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar