Pekerjaan Rumah
Pascakenaikan Harga BBM
Enny Sri Hartati ; Direktur Indef
|
MEDIA
INDONESIA, 19 November 2014
PADA awal pemerintahannya,
Presiden Jokowi mengambil keputusan yang cukup berani dengan menetapkan
kebijakan penaikan harga BBM bersubsidi sebesar Rp2.000 baik untuk premium
maupun solar. Argumen yang dijadikan dasar kebijakan tersebut antara lain
keterbatasan ruang fiskal dan subsidi yang tidak tepat sasaran. Selama lima tahun
terakhir, nilai subsidi BBM memang terus meningkat dari Rp139,1 triliun pada
APBN 2010 menjadi Rp211,89 triliun pada APBN-P 2014. Jika ditambah dengan
subsidi listrik, total subsidi energi mencapai hampir Rp365 triliun.Kondisi
itu memang menjadi salah satu penyebab ruang fiskal menjadi terbatas untuk
membiayai belanja yang produktif.
Argumen lainnya ialah subsidi
yang tidak tepat sasaran, karena lebih dari 80% dinikmati pemilik kendaraan
pribadi. Belum lagi, tingginya konsumsi BBM menyebabkan ketergantungan impor
dan menjadi sumber defisit neraca perdagangan. Indonesia sudah menjadi negara
net importer BBM dan berpotensi menjadi importir minyak terbesar di dunia.
Publik pun tentu sudah sangat
mafhum dengan semua argumen dan alasan yang dipaparkan pemerintah tersebut.
Namun, setiap rencana kebijakan penaikan harga BBM tetap saja menimbulkan
kontroversi.
Warisan masalah
Di samping itu, berbagai
permasalahan krusial diwariskan pemerintahan sebelumnya. Pertama, terjadi
penurunan pertumbuhan ekonomi. Triwulan III 2014 ekonomi hanya tumbuh 5,01%,
dan penopang utama pertumbuhan ialah konsumsi. Jika konsumsi masyarakat
menurun, pertumbuhan ekonomi bisa semakin anjlok di bawah 5%. Adapun jumlah
pengangguran terselubung atau pekerja tidak penuh masih mencapai 35,77 juta
orang dan jumlah masyarakat miskin dan rentan miskin hampir mencapai 100 juta
orang.
Kedua, penurunan daya beli
masyarakat. Selama tiga tahun berturut-turut pemerintah telah melakukan
penaikan TDL dan gas elpiji.Kebijakan itu mempunyai dampak yang sangat
signifikan terhadap penurunan daya beli masyarakat. Ketiga, ekonomi biaya
tinggi (high cost economy). Sektor
riil menghadapi tekanan biaya logistik, depresiasi rupiah, tuntutan kenaikan
UMP, dan suku bunga tinggi.
Keempat, penurunan daya saing
dan deindustrialisasi. Akibat tekanan ekonomi biaya tinggi, pertumbuhan
sektor industri terus mengalami penurunan. Pada triwulan III 2014 sektor
industri manufaktur besar sedang hanya mampu tumbuh 4,96% dan IKM tumbuh
5,18%. Kelima, ancaman stabilitas harga komoditas pokok. Tata niaga komoditas
pokok, kecuali beras sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar. Pemerintah
tidak lagi mempunyai instrumen mengendalikan harga seperti stok penyangga (buffer stock) komoditas strategis
sebagai instrumen stabilisasi harga.
Pekerjaan rumah
Dengan kompleksitas persoalan
yang mengiringi kebijakan penaikan harga BBM kali ini, tantangan Pemerintahan
Jokowi menjadi sangat besar. Minimal, pemerintah harus mampu membuktikan
bahwa kebijakan itu telah direncanakan dan dikalkulasi ekonomi secara matang
dan komprehensif. Juga telah disiapkan berbagai program realokasi yang
bersifat produktif dan memastikan kebijakan itu benar-benar sebagai langkah
penyehatan perekonomian serta mampu mereduksi berbagai gejolak perekonomian.
Minimal, terdapat 8 agenda yang
harus segera dilakukan, yaitu pertama, program stabilisasi harga kebutuhan
pokok. Pemerintah harus telah menyiapkan langkah-langkah pengendalian harga
kebutuhan pokok, baik menjaga kepastian pasokan maupun jalur distribusi. Termasuk
membenahi pola tata niaga komoditas strategis yang dikuasai kartel. Kedua,
realokasi subsidi tepat sasaran. Realokasi subsidi tidak hanya terbatas pada
program tiga kartu sakti, tapi konkret pada alokasi subsidi produktif.
Misalnya pemberdayaan untuk petani, nelayan, dan usaha mikro kecil.
Ketiga, meningkatkan peran stimu
lus fiskal. Dengan adanya kendali perencanaan pembangunan dikembalikan kepada
Bappenas (berbasis pada program Nawa Cita), menjadi awal terjadinya
koordinasi dan sinergitas program yang fokus pada peningkatan kinerja sektor
riil yang menjadi prioritas (pertanian, kemaritiman, industri, pertambangan,
pariwisata, dsb). Untuk itu, harus dilakukan reformasi secara fundamental
postur APBN-P 2015 untuk fokus pada peran stimulus fiskal.
Keempat, percepatan program
konservasi dan diversifikasi energi.Realokasi subsidi BBM harus diutamakan
untuk percepatan program konservasi dan diversifikasi energi serta adanya
konsistensi Kebijakan Energi Nasional. Kelima, menekan ekonomi biaya tinggi.
Sumber ekonomi biaya tinggi yang segera dapat dilakukan tanpa alokasi
anggaran yang besar ialah percepatan perbaikan dan penyederhanaan sistem
perizinan dan birokrasi. Selanjutnya, koordinasi kebijakan fiskal¬moneter
yang tepat untuk menurunkan y pengetatan likuiditas moneter dan p
optimalisasi stimulus fiskal.
Keenam, meningkatkan ruang
fiskal. Ruang fiskal masih sangat memungkinkan dioptimalkan untuk memenuhi
target pembangunan infrastruktur baik melalui efisiensi belanja pemerintah
yang tidak produktif, boros, dan tumpang tindih anggaran maupun
mengoptimalkan sumber penerimaan pajak atau penerimaan sumber daya dan
penerimaan negara non pajak (PNBP).
Ketujuh, memperbaiki tata kelola
migas. Dapat dimulai dengan upaya yang serius untuk memberantas perilaku rent seeker (mafia migas),
mengoptimalkan kemampuan kilang (impor BBM mentah bukan olahan), dan kerja
sama impor langsung dari negara produsen. Tak kalah penting ialah memperbaiki
pola distribusi BBM terutama di daerah dan luar Jawa. Keterbatasan jumlah pom
bensin dapat disiasati dengan Pertamina membentuk depo mini atau agen resmi
secara terdaftar dan menggunakan sistem kuota. Hal itu untuk menghindari
melonjaknya harga BBM yang harus dibayar masyarakat yang berada jauh dari
jangkauan pom bensin.
Kedelapan,
pengendalian konsumsi BBM. Kebijakan kenaikan harga BBM tidak serta-merta
mampu mengurangi besaran konsumsi dan impor BBM. Oleh karenanya harus
disertai upaya pengendalian dari sisi permintaan. Menciptakan transportasi
umum yang aman dan nyaman menjadi salah satu solusi yang urgen. Jika
langkah-langkah tersebut segera dilakukan, kebijakan ini akan membawa
penyehatan perekonomian, bukan justru sebaliknya membuat ekonomi semakin
terpuruk. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar