Subsidi
Tetap Hindari Politisasi BBM
Heri Susanto ; Direktur Riset Katadata Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 19 November 2014
PEMERINTAH baru yang di dipimpin
pasangan Presiden Wakil Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla menaikkan harga
bahan bakar minyak (BBM) yang berlaku Rabu (19/11) mulai pukul 00.00 WIB.
Sebelumnya sejumlah penolakan mulai mengemuka, termasuk yang dilakukan dua
kader PDIP, Effendi Simbolon dan Rieke Diah Pitaloka.
Namun, perlu disadari para
penentang penaikan harga BBM bahwa Indonesia bukan lagi negara dengan
produksi minyak yang melimpah seperti era Presiden Soeharto. Pada masa
kejayaan Indonesia sebagai produsen dan eksportir minyak, 1970-2000, minyak
menjadi sumber utama devisa penopang pertumbuhan ekonomi. Sepanjang tiga
dekade tersebut, rata-rata produksi minyak 1,4 juta barel per hari, sedangkan
konsumsi minyak hanya 500 ribu barel per hari. Artinya, Indonesia memiliki
surplus 1 juta barel per hari yang bisa diekspor dan hasilnya digunakan untuk
membiayai pembangunan atau memberi subsidi BBM domestik.
Sebaliknya, dalam 14 tahun
terakhir, produksi minyak Indonesia terus merosot. Pada 2013 produksi hanya
sebesar 882 ribu barel per hari. Sebaliknya, konsumsi minyak kian melonjak
seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan per kapita,
yakni mencapai 1,6 juta barel per hari. Artinya, ada defisit minyak lebih
dari 800 ribu barel yang harus diimpor Indonesia hingga membebani fiskal,
cadangan devisa, neraca perdagangan, dan nilai tukar rupiah.
Yang tak kalah penting
dicermati, dengan harga Rp6.500 per liter, sesungguhnya harga premium di
Indonesia sebenarnya tergolong sangat murah di dunia.Harga tersebut hampir
sejajar, bahkan lebih murah jika dibandingkan dengan harga bensin di
negara-negara kaya minyak, seperti Irak dan Kazakhstan.Bahkan, jika mengacu
ke data Global Petrol Price, harga BBM Indonesia ialah ke-16 termurah di
dunia.
Dengan berkaca pada kondisi
tersebut, menuntut agar harga BBM tetap dijual murah tidaklah
realistis.Bahkan, sangat tidak adil dan tidak bijaksana bagi generasi penerus
bangsa Indonesia karena sumber daya minyak telah dikuras dan digunakan secara
boros. Bayangkan, dalam lima tahun terakhir saja, 2009-2014, sekitar Rp1.300
triliun subsidi energi telah habis dibakar.
Pola subsidi
Mengingat BBM merupakan
komoditas strategis dan diamanatkan konstitusi soal pemanfaatannya,
pemerintah perlu mempertimbangkan konsep dan solusi jangka panjang mengenai
penanganan subsidi BBM. Era BBM murah memang perlu diakhiri secara bertahap,
tetapi subsidi tetap perlu diberikan sesuai dengan amanat konstitusi.
Dengan berkaca pada persoalan
tersebut, konsep kebijakan subsidi tetap perlu dipertimbangkan kembali oleh
pemerintah baru. Dengan mekanisme itu, subsidi per liter BBM diberikan sesuai
dengan plafon dengan kisaran tertentu yang mengacu ke harga pasar. Misalnya,
subsidi diberikan secara tetap sebesar Rp500 atau Rp1.000 per liter.
Dengan pola tersebut, harga BBM
bersubsidi tidak tetap seperti sekarang. Namun, itu bisa berubah setiap
bulan, sesuai dengan perkembangan harga di pasar, seperti halnya pertamax.
Saat harga minyak dunia naik, harga BBM bersubsidi akan naik. Namun, saat
minyak dunia merosot, harga BBM bersubsidi juga akan menurun.
Kebijakan itu sebenarnya pernah
dilakukan di era pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri. Dengan menerapkan pola subsidi tetap, setidaknya ada
tiga manfaat yang bisa diperoleh. Pertama, besaran subsidi
BBM akan terkendali dan tidak mengganggu APBN. Pemerintah tidak perlu
mengkhawatirkan anggaran subsidi BBM akan selalu jebol seperti terjadi dalam
10 tahun terakhir.
Selama ini, hampir setiap tahun,
realisasi subsidi BBM selalu melebihi alokasi atau kuota yang ditetapkan
pemerintah bersama DPR. Itu terjadi karena konsumsi BBM terus melonjak, penyelundupan,
serta upaya penghematan yang tidak berjalan efektif. Akibatnya, pemerintah
kerapkali kembali datang ke DPR untuk meminta tambahan jatah kuota subsidi
BBM.
Kedua, meminimalkan potensi politisasi
kebijakan BBM. Selama ini, siapa pun yang memegang posisi pemerintahan akan
memilih kebijakan menaikkan harga BBM karena ruang gerak fiskal sangat
terbatas. Sebaliknya, partai oposisi cenderung menolak kebijakan penaikan
harga BBM. Namun, ketika partai oposisi memegang posisi sebagai pemerintah, penaikan
harga BBM kembali menjadi pilihan agar mereka memiliki anggaran lebih banyak
untuk infrastruktur dan peningkatan kesejahteraan sosial.
Landasan konstitusi
Dengan kebijakan subsidi tetap,
BBM subsidi akan sulit digunakan sebagai komoditas politik oleh dua kubu yang
berseberangan, yakni pemerintah dan oposisi. Ketika harga minyak dunia naik,
dengan sendirinya harga BBM akan naik tanpa harus susah payah meminta
persetujuan DPR. Gejolak politik yang kerap muncul akibat kis ruh kebijakan
harga BBM pun bisa dihindari.
Ketiga, memiliki landasan hukum
putusan Mahkamah Konstitusi pada 2003, yang menyatakan harga BBM di dalam
negeri ditetapkan pemerintah dengan memperhatikan golongan masyarakat
tertentu dan mempertim bangkan mekanisme persaingan usaha yang sehat dan
wajar.
Dalam menyampaikan pendapatnya
tentang harga BBM, MK menekankan campur tangan pemerintah harus menjadi
kewenangan yang diuta makan untuk cabang produksi yang penting dan menguasai
hajat hidup orang banyak. Namun, pemerintah dapat mempertimbangkan banyak hal
dalam menetapkan kebijakan harga, termasuk harga yang ditawarkan mekanisme
pasar. Itu berarti bahwa MK memberikan keleluasaan kepada pemerintah untuk
mengatur harga BBM bersubsidi.
Dengan
berkaca pada realitas yang dihadapi bahwa Indonesia bukan lagi negara kaya
minyak, tetapi menjual BBM secara murah, pengurangan subsidi BBM tidak
terelakkan. Namun, dengan mengacu ketiga alasan tersebut, penerapan
kebijakan subsidi dalam jumlah tetap perlu dipertimbangkan pemerintah agar
tidak melanggar konstitusi Republik Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar