Menggagas
Pendidikan Khas Indonesia
Tans Feliks ; Guru Besar FKIP Universitas Nusa Cendana;
Peserta Senior Research Program Fulbright 2008-2009 di
Amerika Serikat
|
KOMPAS,
18 November 2014
SISTEM pendidikan Indonesia,
mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi saat ini, adalah warisan
pendidikan gaya lama. Sistem ini tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman
ketika pembagian kerja dalam masyarakat sudah sangat spesifik.
Karena itu, yang dibutuhkan
adalah individu yang (sangat) kompeten dengan karakter yang (sangat) terpuji
dalam bidang yang sangat khusus itu. Namun, di sekolah anak-anak kita tetap
saja diharuskan belajar banyak hal, seolah-olah mereka akan bekerja dalam banyak
bidang.
Dampak mempelajari banyak hal
adalah membuat anak-anak kehilangan fokus, yang pada gilirannya berdampak
pada, misalnya, semangat belajar menurun, daya juang dan daya saing lemah,
mutu rendah, pengangguran setelah belajar secara formal bertahun-tahun, dan
penghalalan segara cara untuk mencapai tujuan.
Ketidakmampuan lembaga
pendidikan formal seperti itu mendorong pemikir pendidikan, seperti Ivan
Illich (Deschooling Society, 1976,
Harmondsworth: Penguin Books) mendesak supaya pendidikan formal seperti
sekarang diganti dengan ”jejaring
belajar”. Bentuknya antara lain penciptaan pembelajaran informal yang
efektif-kondusif dengan bantuan individu tertentu yang kompeten dalam bidang
yang dipelajari.
Selain itu, banyak orang yang
merasa bahwa pendidikan formal tidak akan pernah mampu membuatnya lebih baik
sehingga meninggalkan pendidikan formal secara sengaja. Sebagai gantinya,
mereka belajar secara mandiri dan hasilnya mengagumkan. Sebutlah, misalnya,
Gunawan Mohammad dan Emha Ainun Nadjib. Dengan belajar mandiri, Gunawan
sukses menjadi wartawan dan Emha budayawan.
Pendidikan formal yang terbaikan
itu juga terlihat dalam diri banyak orang yang sukses justru setelah mereka drop out, seperti Thomas Alva Edison,
penemu lampu pijar, dan Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan
dalam Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo. Mereka adalah orang yang sukses
tanpa pendidikan formal tinggi. Mereka pun tidak berusaha kembali ke dunia
pendidikan formal, apalagi mengelabui masyarakat dengan membeli ijazah palsu.
Pendidikan khas
Fenomena seperti itu seharusnya
mendorong bangsa ini segera merombak secara substansial pembelajaran gaya
sekolah formal yang kurang efektif. Sekolah kita harus membiarkan anak-anak
belajar secara terfokus. Di SD, mereka cukup belajar membaca, menulis, dan
berhitung sederhana. Ditambah, misalnya, dengan mata pelajaran agama, untuk
pembentukan karakter yang berterima secara universal, dan beberapa mata
pelajaran yang berkaitan dengan keterampilan, seperti menyanyi, menari, atau
olahraga sesuai bakat dan minat siswa.
Pada level pendidikan yang lebih
tinggi, yaitu ketika bakat-potensi anak-anak itu mulai terlihat, mereka pun
belajar hanya mata pelajaran yang mereka minati atau mata pelajaran yang
sesuai dengan bakat-potensi mereka.
Dalam konteks ini, Indonesia
harus berani tampil beda dalam mengurus sistem pendidikan formal yang khas
dengan antara lain mendirikan sekolah menengah pertama dan sekolah lanjutan
tingkat atas (SMP dan SLTA) yang tidak lagi bersifat umum seperti sekarang,
tetapi sekolah khusus seperti SMP Matematika, SMP Bahasa Inggris, SMP Fisika,
dan seterusnya.
Untuk mendukung pembelajaran
khas seperti itu, kebebasan bagi guru untuk mendidik dan menentukan lulus
atau tidaknya seorang murid dari jenjang pendidikan tertentu harus bersifat
mutlak. Karena itu, UN harus dihapus; sekolah harus diberi wewenang penuh
untuk menyusun kurikulum yang pelaksanaannya diawasi ketat oleh pemerintah
pusat dan daerah, juga lembaga lain yang terkait pendidikan.
Lebih kompeten
Dengan belajar secara lebih
terfokus, tidak mustahil akan lahir banyak genius baru dari rahim pendidikan
formal bangsa ini. Kalau bukan genius, mereka pasti lebih kompeten, lebih
mandiri, dan lebih kompetitif dengan karakter yang lebih baik karena terdidik
dalam suasana yang bebas-merdeka, pas dengan bakat dan minatnya (baca,
misalnya, Carl Rogers, 1983, Freedom to
Learn, New York, Merill; Bernie Neville, 2005, Educating Psyche, Melbourne,
Flatchat).
Sebaliknya, hasil pendidikan
formal yang selama ini sudah dilaksanakan dengan biaya amat tinggi, 20 persen
dari APBN/D, akan tetap gagal. Kita tentu tidak menghendaki itu. Kehendak
kita adalah bahwa biaya setinggi itu sepadan dengan produk pendidikan formal
yang lebih mantap untuk pembentukan bangsa ini menjadi bangsa yang agung. Itu
sebabnya, mengapa sistem pendidikan khas Indonesia harus segera dibangun.
Presiden
Joko Widodo, yang sudah terbiasa dengan berbagai langkah fenomenal melalui
revolusi mentalnya, pasti mampu melakukan perubahan sistem pendidikan itu.
Sebab, untuk berubah memang hanya soal mental. Setelah berubah, seharusnya
bangsa Indonesia menjadi lebih kompeten dalam mengatasi masalah diri,
keluarga, dan bangsa sekaligus berbagai persoalan dunia. Semuanya, via
pendidikan khas Indonesia.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar