Nasib
PPP di Tangan Jokowi
Ardi Winangun ; Pengamat
Politik; Tinggal di Matraman, Jakarta Timur
|
DETIKNEWS,
22 Oktober 2014
Puncak konflik di tubuh PPP sepertinya semakin memanas. Meski
islah terus dilakukan namun perpecahan terus terjadi. Konflik yang selalu
mendera partai itu sebab perbedaan kepentingan dan orientasi politik
anggotanya.
Pasca diselenggarakannya Muktamar PPP kubu Romahurmuziy, konflik
di tubuh partai berlambang Kabah itu sepertinya belum akan selesai. Pastinya
kubu Suryadharma Ali akan melakukan perlawanan. Masing-masing kubu akan terus
bergerilya agar kubunya disebut sebagai kubu yang paling sah.
Pasca kekalahan Prabowo Subianto dalam pemilu presiden dan tak
terakomodasinya PPP oleh Koalisi Merah Putih dalam pimpinan DPR dan MPR,
membuat partai itu seperti ayam kehilangan induknya. Bingung mencari induk
yang bisa memberi jatah kursi kekuasaan dan kesejahteraan kepada PPP.
Dalam posisi yang demikian maka berlabuh kepada kekuasaan Jokowi
yang dirasa sebagai jalan yang paling tepat daripada berada di Koalisi Merah
Putih namun tidak mendapat apa-apa. Bila berlabuh ke Jokowi pastinya partai
itu akan mendapat kursi menteri, dari sinilah eksistensi partai itu secara
kelembagaan dan finansial akan terjamin.
Tak heran bila selepas Muktamar PPP di Surabaya, ketua umum
terpilih, Romahurmuziy langsung menghadap ke Jokowi. Hal demikian,
sebenarnya, secara politik sangat memalukan sebab betapa hebatnya Jokowi
sehingga PPP yang memiliki sejarah besar sampai melaporkan masalah kepada
Jokowi. Emang Jokowi dewan pembina, sesepuh, atau ketua majelis syariah yang
setara dengan KH Maimoen Zubair?
Langkah Romahurmuziy itu mengingatkan kita pada masa Orde Baru,
di mana setiap ada masalah di tubuh partai misalnya konflik internal,
biasanya mereka mengadukan masalah itu kepada pemerintah dan yang menghadap
pemerintah yang mendapat restu atau dukungan. Langkah yang memalukan itu bagi
Romahurmuziy bisa jadi tak apa-apa sebab dengan cara itulah PPP kubunya akan
diakui oleh pemerintah. Dengan bergabung dengan Jokowi maka PPP kubunya yang
akan diakui, didukung, dan disokong oleh pemerintah. Dukungan dari pemerintah
itu pastinya juga berupa dukungan dana.
Jalan merapat ke Jokowi untuk menyelamatkan PPP, rupanya juga
diakui oleh kubu lainnya, kubu Suryadharma Ali. Buktinya, Surya datang dalam
pelantikan Jokowi sebagai presiden pada 20 Oktober 2014. Pikiran Surya
sepertinya sama dengan pikiran Romahurmuziy bahwa dengan merapat ke Jokowi
maka PPP akan mendapat bagian dari kekuasaan dan dari sinilah maka hidup
partai bisa tertolong.
Tak terakomodasinya PPP dalam kekuasaan yang dibangun Koalisi
Merah Putih di DPR dan MPR ditambah dengan adanya perpecahan, hal demikian
sangat menguntungkan Jokowi. Dengan faktor yang demikian membuat Jokowi tak
perlu mengharap PPP merapat kepada dirinya, justru PPP-lah yang merapat
kepada Jokowi agar mendapat legitimasi.
Pastinya Jokowi senang bila PPP merapat kepadanya sebab dengan
merapatnya PPP maka kekuatan Koalisi Indonesia Hebat yang terdiri dari PDIP,
Nasdem, Hanura, dan PKB, akan bertambah kekuatannya. Dengan merapatnya PPP ke
Jokowi maka kekuatan Koalisi Merah Putih yang sangat solid dan mempunyai jumlah
kursi yang signifikan akan menjadi melemah.
Jokowi pastinya akan memberi kursi kepada PPP bila mereka mau
merapat namun Jokowi pastinya akan memilih kubu PPP yang loyal kepadanya.
Loyal di sini adalah siap mendukung kebijakan-kebijakan Jokowi. Mendukung
kebijakan Jokowi di DPR bersama partai yang terhimpun dalam Koalisi Indonesia
Hebat di parlemen.
Syarat loyal pada Jokowi bila mendapat kursi tentu bagi
kubu-kubu yang ada di PPP bukan suatu hal yang sulit. Politik saat ini lebih
cenderung mengedepankan pragmatis daripada idealis. Baik kubu Romahurmuziy
maupun Suryadharma Ali, demi kekuasaan dan terus memegang kendali partai,
pastinya akan memilih jalan yang pragmatis dengan merapat ke Jokowi. Tinggal
sekarang Jokowi memilih PPP yang mana? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar