Menghindari
Zero Sum Game Parlemen-Presiden
Rico Marbun ; Staf
Pengajar Universitas Paramadina
|
DETIKNEWS,
23 Oktober 2014
Kemeriahan selebrasi yang mengiringi pelantikan Jokowi-JK 20
Oktober lalu, mungkin adalah yang pertama sepanjang sejarah pemilihan
presiden langsung di Indonesia. Namun sebesar apapun gelombang euforia
publik, hukum besi politik tidak akan pernah berubah. Legitimasi melahirkan
ekspektasi. Semakin menggunung legitimasi, semakin melangit pula ekspektasi.
Realitas Menanti
Kata ‘kerja’ yang diulang berkali-kali oleh Jokowi dalam
pidatonya di Senayan dan Monas, menandakan bahwa sang presiden terpilih pun
sadar, bahwa janji-janjinya selama ini akan segera ditagih. Hanya saja,
sekuat apapun sebuah lembaga kepresidenan dalam sistem presidensial, variabel
parlemen akan selalu menjadi faktor yang tidak bisa diabaikan dalam rumus
pengelolaan Negara.
Pada babak inilah realitas politik telah menanti Jokowi. Terlepas
dari pakem bahwa peran DPR dalam kerangka koreksi dan penyeimbang mutlak
diperlukan, harmoni antara Medan Merdeka Timur dan Senayan mutlak diperlukan.
Dalam tataran praktis misalnya, keinginan Jokowi untuk segera memasukkan
program prioritasnya dalam revisi anggaran belanja Negara dalam waktu dekat,
jelas harus disetujui terlebih dahulu oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Ini berarti, keinginan presiden akan selalu berhadapan dengan
wewenang legislasi dan budgeting parlemen. Momen pertemuan antara kehendak presiden
dan parlemen inilah yang menjadi inti dinamika relasi presiden lima tahun
mendatang. Dinamika berarti dua hal, harmoni atau kebuntuan. Dan sedikit
banyak, bandul DPR yang cenderung mengayun ke kutub oposisi membuat sebagian
orang kuatir akan kemungkinan zero sum
game dalam hubungan parlemen presiden lima tahun mendatang.
Modal Utama Jokowi
Demi mencegah deadlock, Jokowi sebenarnya punya dua modal utama.
Kekuatan politik partai pendukung di parlemen dan kewenangan penuh sebagai
eksekutif. Sayangnya, matematika sederhana menunjukkan bahwa koalisi
Indonesia Hebat hanya bermodalkan 207 kursi atau 36,9%. Bahkan jika PPP
berubah haluan tanpa terbagi, angkanya baru mencapai 246 atau 43,9%. Ini
berarti koalisi Jokowi adalah minoritas, dan Jokowi adalah presiden
minoritas. Untuk menjamin kesuksesan, Jokowi harus bekerja keras agar
setidaknya dia bisa membangun koalisi mayoritas sederhana, syukur-syukur bisa
menjadi mayoritas mutlak. Bagaimanakah caranya?
Langkah pertama ialah dengan memperbesar size koalisi. Ini dapat
dilakukan dengan menggunakan wewenang eksekutif. Jaminan posisi kabinet bagi
partai yang mendukung mutlak diperlukan. Memperbesar retorika untuk tidak
bagi-bagi, dalam realitas lebih mendekati utopia atau bahkan kenaifan yang
berbahaya. Mengapa? Karena filosofi dasar politik ialah ‘the art of associating men based on interest’.
Langkah kedua ialah melunakkan tensi politik dengan lobi,
negosiasi dan komunikasi. Episode paripurna pemilihan pimpinan DPR dan MPR
menunjukkan bahwa penggunaan pola adu banteng dalam strategi komunikasi
dengan koalisi Merah Putih tidak akan membawa hasil apa-apa. Saat ini-lah
prestasi lobi Jokowi di Solo dan Jakarta yang kerap digembar-gemborkan selama
di Solo atau Jakarta dalam kasus pemindahan PKL dan penghuni waduk Ria Rio,
akan diuji di level nasional. Walaupun tentu elemennya lebih rumit, tapi
dasar teknik komunikasinya tetap sama.
Megawati ‘Idle’?
Namun dalam bab komunikasi ini-lah, ada liabilitas yang mencuat
ke permukaan. Seharusnya dalam berkomunikasi, kita berharap posisi Jokowi
sama seperti SBY. SBY memiliki dua daya tawar. Sebagai presiden sekaligus
tokoh utama partai. Apa kata SBY itu-lah kata Demokrat. SBY tidak perlu
mengkhawatirkan kohesi internal partai, karena seluruh kompenen partai ada di
belakang presiden.
Sementara, Jokowi adalah kasus yang berbeda. Kehendak Jokowi
belum tentu sama dan sebangun dengan PDIP. Jokowi tidak punya leverage
sebagai figur sentral PDIP. Dan dalam banyak hal, penentu akhir suara PDIP
dalam setiap komunikasi politik ialah Megawati bukan Jokowi. Justru di
sinilah potensi masalah mencuat.
Kegagalan masuknya Demokrat kedalam kubu Indonesia Hebat hanya
karena batalnya pertemuan antara Megawati dan SBY, yang ditengarai karena
enggannya Megawati bertemu SBY tentu adalah kesalahan yang tidak perlu. Kalau
mau melihat sedikit ke belakang, gagalnya Aburizal bergabung ke kubu Jokowi,
sedikit banyak juga disebabkan oleh gaya komunikasi Megawati yang diduga
tidak klop. Jika ini dibiarkan, Jokowi bisa dipastikan akan bertarung dalam
dua front sekaligus. Internal dan eksternal partai.
Tentu akan bijak bila PDIP dalam hal ini legowo untuk menjadikan
Jokowi sebagai corong utama suara partai, karena soliditas akan menguntungkan
PDIP dan Jokowi. Sementara di lain pihak, Jokowi harus mulai memposisikan dirinya
sebagai solidarity maker baru di tubuh PDIP. Tanpa dukungan PDIP yang kokoh,
bisa dipastikan langkah Jokowi akan semakin terseok-seok lima tahun
mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar