DPR
yang Terbelah
Ikrar Nusa Bhakti ; Profesor
Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS,
03 November 2014
POLITIK itu menarik, politik itu menghibur, tetapi politik juga memuakkan.
Tiga persepsi mengenai politik itu juga tecermin apabila kita mengikuti
perkembangan politik setelah Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014. Politik
menjadi menarik untuk ditonton jika kita melihat bagaimana elite-elite
politik, Prabowo Subianto dan Joko Widodo, misalnya, yang sebelumnya
bertarung habis-habisan dengan berbagai strategi dan taktik untuk memenangi
Pilpres 2014, kemudian saling menyapa dan berpelukan dengan penuh
persahabatan.
Pada era Demokrasi Parlementer pun, seperti yang diungkapkan
Taufik Ismail dalam salah satu puisinya, ada dua anggota parlemen dari dua
partai dengan ideologi yang berseberangan. Keduanya mengaum dan seakan ingin
menerkam serta mencabik-cabik lawan saat parlemen bersidang. Namun, begitu
keluar sidang, mereka dapat makan sama-sama dan mengobrol ibarat sahabat yang
amat kental.
Politik jadi tontonan yang menghibur apabila kita melihat
bagaimana para wakil rakyat di DPR beraksi di parlemen dengan tingkah dan
gaya bicara yang tidak kalah lucunya
dibandingkan dengan pelawak. Namun, politik juga memuakkan apabila sidang
parlemen tidak ditujukan untuk mencari solusi terbaik bagi bangsa dan negara,
melainkan adu kuat politik tanpa memikirkan asas kebersamaan dan kekeluargaan
yang termaktub dalam nilai-nilai Pancasila kita. Anggota DPD asal Aceh,
Ghazali Abbas, menggambarkan politik di parlemen sebagai ”monopolistik dan
hegemonistik”. Ini mengingatkan kita pada salah satu slogan yang muncul pada
era Orde Baru mengenai bahaya ”Diktator
Mayoritas dan Tirani Minoritas”.
Politik yang memuakkan itu bisa kita lihat saat DPR membahas RUU
MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), serta Tatib DPR yang disahkan pada 16
September 2014. Juga pembahasan RUU Pilkada sampai keluarnya Perppu Pilkada
Langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemilihan pimpinan DPR,
penentuan sempalan Fraksi PPP yang mengajukan nama-nama calon pimpinan
alat-alat kelengkapan Dewan, sampai ke rapat-rapat penentuan pimpinan alat
kelengkapan dewan, yang bukan saja sapu bersih pimpinan 11 komisi oleh koalisi pendukung Prabowo, juga hanya
menyisakan satu kursi untuk perempuan, yaitu posisi Titi Soeharto sebagai
Wakil Ketua Komisi IV.
Seorang anggota DPR dari Partai Amanat Nasional, Viva Yoga
Mauladi, menolak tuduhan terjadi diktator mayoritas di DPR sebab tak bertentangan
dengan konstitusi, UU MD3, dan Peraturan Tata Tertib DPR terbaru. Sebaliknya,
Hendrawan Supratikno, anggota DPR dari PDI Perjuangan , menuduh anggota DPR
dari koalisi pendukung Prabowo-Hatta telah melanggar sumpah/janji jabatan
yang mendahulukan kepentingan bangsa dan negara serta mengesampingkan
kepentingan individu, kelompok, atau golongannya, dan juga melanggar beberapa
pasal di dalam Tatib DPR, khususnya terkait aturan pemilihan para pimpinan
alat kelengkapan Dewan.
Becermin pada Demokrasi
Liberal
Herbert Feith dalam buku klasik yang wajib dibaca para ilmuwan
dan praktisi politik Indonesia, The
Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, menggambarkan mengapa
demokrasi konstitusional atau Demokrasi Liberal gagal pada 1957, hanya dua tahun
setelah Pemilu 1955 yang amat demokratis itu.
Dari pandangan kaum realis, yang menitik beratkan power atau kekuatan politik, Demokrasi
Liberal tidak gagal, tetapi digagalkan atau dimatikan oleh dua kekuatan
besar, yaitu Presiden Soekarno yang berkoalisi dengan TNI AD, yang berujung
dikeluarkannya Dekrit 5 Juli 1959 yang membubarkan Konstituante. Lalu,
disusul pembubaran DPR berganti dengan pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat
Gotong Royong. Bagi kalangan idealis, Demokrasi iberal memang gagal karena, meskipun
semua pelaku politik taat pada konstitusi negara (UUDS 1950), ada tiga
kondisi yang menyebabkan demokrasi gagal, yaitu kurangnya budaya demokrasi
kalangan elite politik, kurangnya pendidikan elite dan rakyat, serta
kurangnya basis ekonomi bagi demokrasi.
Jika kita kaji lebih lanjut, bergantinya sistem demokrasi di
Indonesia dari Demokrasi Parlementer ke Demokrasi Terpimpin, Demokrasi
Pancasila, dan terakhir demokrasi tanpa embel-embel sejak 21 Maret 1998, kita
melihat bahwa kalangan elite politik Indonesia tidak memiliki kesabaran
politik atau ketahanan politik untuk menerapkan satu sistem demokrasi. Kita
dapat memaklumi diterapkannya Demokrasi Parlementer saat Presiden Soekarno
dan Wakil Presiden Mohammad Hatta mengangkat Sutan Sjahrir sebagai perdana
menteri (PM) karena itu adalah untuk mencegah pemerintahan Indonesia adalah
boneka Jepang. Sjahrir adalah tokoh non-kooperatif terhadap Jepang.
Ditunjuknya Natsir sebagai PM oleh Bung Karno pada 6 September
1950 dan berakhir 21 Maret 1951, setelah mosi tidak percaya di parlemen,
menunjukkan kegagalan awal demokrasi liberal. Ada beberapa penyebab jatuhnya
Natsir. Namun, satu hal yang nyata bahwa Natsir sebagai tokoh Partai Masyumi
yang berbasis Islam modernis di perkotaan tidak memasukkan PNI dalam kabinetnya.
Kabinet Sukiman yang juga dari Masyumi, tetapi berkultur Jawa, memahami
betapa pentingnya memasukkan PNI ke dalam kabinet. Kabinet ini jatuh karena
politik luar negeri RI di bawah Menlu Ahmad Soebardjo dianggap melenceng dari
garis politik luar negeri RI yang bebas dan aktif dan dipandang ingin
membangun aliansi politik dengan AS. Era Demokrasi Liberal menunjukkan,
seorang menteri atau perdana menteri dapat dijatuhkan melalui mosi tidak
percaya.
Pergantian pemerintahan di Indonesia sampai 1998 menunjukkan
betapa politik, pertarungan ideologi, pertarungan kekuasaan, serta tidak
sabarnya para elite politik untuk menerapkan satu sistem secara lama sampai
benar-benar ajeg menjadi penyebab bergantinya rezim.
Politik di parlemen saat
ini
Jika kita melihat apa yang terjadi di DPR saat ini, menunjukkan
betapa warisan politik era Demokrasi Parlementer masih begitu kuat walau kita
menganut sistem presidensial. Elite politik di parlemen senang sekali
mengubah UU politik ataupun Tata Tertib Dewan, bergantung pada kepentingan
jangka pendek mayoritas koalisi di parlemen dan bukan kepentingan jangka
panjang menata politik Indonesia ke depan ke arah yang lebih terkonsolidasi
dan menuju ke kedewasaan politik.
UU Parpol atau UU Pemilu dibuat atau diamendemen tiap lima tahun
hanya untuk menemukan kompromi politik antara partai besar dan kecil. UU
Pilkada (2014) yang dianulir oleh perppu disebabkan kepentingan sempit
mayoritas partai koalisi pendukung Prabowo ketimbang untuk meningkatkan
kualitas demokrasi dan pemerintahan daerah. Keluarnya perppu sebagai
pengganti UU Pilkada tak langsung juga lebih diawali oleh kekuatan Partai
Demokrat dan unjuk kekuasaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono vis-À-vis
PDI-P dan Megawati Soekarnoputri walau memang berguna untuk menyelamatkan
demokrasi di tingkat daerah.
Pembuatan Tata Tertib Dewan, khususnya terkait tata cara
penentuan pimpinan DPR dan alat-alat kelengkapan Dewan, juga lebih didasari
kekuatan politik ketimbang asas kekeluargaan, kebersamaan, dan keadilan di
parlemen. Ketika PDI-P jadi pemenang pemilu yang tidak sampai mencapai suara
mayoritas di parlemen, pemilihan ketua Dewan melalui voting. Saat Partai
Demokrat menguasai parlemen hasil Pemilu 2009, penentuan ketua DPR atas dasar
suara terbanyak. Baru pada 2014 ini, UU MD3 dan Tatib DPR benar-benar dibuat
oleh koalisi mayoritas di parlemen 2009-2014 dan 2014-2019 yang
meluluhlantakkan asas kebersamaan, kekeluargaan, dan keadilan itu.
Berlakunya ”Diktator Mayoritas” di parlemen inilah yang
menyebabkan kegaduhan demi kegaduhan politik terjadi di parlemen. Koalisi
Indonesia Hebat merasa tidak diberi kesempatan ”naik ke ring tinju” untuk
berebut pimpinan Dewan karena dikunci oleh aturan sistem paket yang didukung
enam fraksi berbeda (saat PPP) masih bergabung ke Koalisi Merah Putih.
Lebih lanjut, saat penentuan pimpinan alat-alat kelengkapan
Dewan (komisi dan badan-badan), kisruh internal di PPP juga dijadikan
permainan politik. Dengan dalih PPP Suryadharma Ali masih sah dan sudah
mengajukan daftar nama calon pimpinan alat-alat kelengkapan Dewan, pimpinan
sidang pun mengetuk palunya. Tidak mengherankan jika kubu PPP versi Muktamar
Surabaya mengamuk hebat walau tindakan itu memang tidak patut dilakukan di
parlemen. Tidak mengherankan pula jika Koalisi Indonesia Hebat juga membuat
pimpinan DPR tandingan, sesuatu yang ditabukan dalam model parlemen dengan
sistem presidensial.
Kompromi atau macet
Ketika kabinet Joko Widodo-Jusuf Kalla sudah mulai bekerja, DPR
masih diselimuti kebuntuan politik. Dalam politik sesungguhnya tidak ada
kemacetan politik yang tidak ada jalan keluar. Dari sisi politik, DPR saat
ini mengalami kondisi stalemate, yaitu tiadanya jalan keluar karena semua
diblok, atau sudah sampai pada taraf deadlock.
Kondisi ini bisa diubah apabila para elite atau pimpinan partai
yang bertarung duduk bersama mencari jalan keluar terbaik, seperti kocok
ulang pimpinan-pimpinan alat-alat kelengkapan Dewan. Itu tidak cukup dengan
janji-janji politik dari pimpinan parpol dan pimpinan DPR dari kubu Koalisi
Merah Putih, tetapi diimplementasikan dalam kebijakan yang nyata. Kaukus
perempuan di dalam dan di luar parlemen juga dapat melakukan tekanan-tekanan
politik agar perwakilan perempuan di jajaran pimpinan dan alat-alat
kelengkapan Dewan benar-benar memberikan kesempatan bagi kaum perempuan untuk
menjadi pemimpin.
Bila gagasan ini tetap ditolak, tak ada cara lain bagi Koalisi
Indonesia Hebat untuk memperkuat argumentasi penopang eksekutif kala berbagai
kebijakan pemerintah diajukan kepada parlemen. Kalangan pers dan masyarakat juga
dapat menjadi kekuatan penopang demokrasi yang lebih substansial. Pembentukan
pimpinan DPR tandingan ataupun pembuatan perppu bukan jalan keluar yang baik
karena hanya akan menambah deadlock di DPR dan tidak mandirinya DPR.
Entah kapan politik di Indonesia benar-benar dalam rangka
bernegara dan berkonstitusi untuk kepentingan bangsa dan negara Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar