Menata
Dasar Pendidikan
Sutrisno ;
Pendidik, Mahasiswa
Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta
|
KORAN
JAKARTA, 02 Mei 2014
Setiap
tanggal 2 Mei, bangsa kita memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas).
Tanggal ketika Bapak Pendidikan Nasional, pendiri Taman Siswa yang dikenal
dengan nama Ki Hajar Dewantara, dilahirkan. Sungguh merupakan suatu
keniscayaan apabila di hari yang bersejarah ini kita berkontemplasi dan
berinstropeksi sejenak akan pendidikan kita. Diakui atau tidak, kualitas
pendidikan kita masih jauh dari harapan kalau tidak dikatakan berjalan di
tempat.
Sejak
awal para pendiri bangsa ini sangat memperhatikan masalah pendidikan. Hal itu
bahkan secara tegas dituangkan di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,
yang menetapkan bahwa salah satu tujuan kita bernegara adalah menciptakan
masyarakat yang cerdas dan berpendidikan. Dalam praktiknya, memang kita
melihat bahwa yang dilakukan sejak awal Indonesia merdeka bukan sekadar
pembangunan bangsa (nation building),
bukan hanya pembangunan negara (state
building), tetapi juga pembangunan kapasitas manusianya (capacity building). Di tengah
kehidupan ekonomi yang sangat berat pada waktu itu, kita tetap mengirimkan
orang-orang yang berpotensi untuk mengecap pendidikan di banyak negara.
Hasil
pendidikan itu memang tidak langsung kita rasakan pada masa awal kemerdekaan
itu. Namun, ketika negara ini memasuki masa pembangunan, orang-orang yang
mendapat kesempatan untuk belajar ke mancanegara itulah yang menjadi andalan,
menjadi motor pembangunan kemajuan Indonesia. Sayang memang upaya peningkatan
kapasitas manusia Indonesia tidak diprogramkan lagi secara khusus. Keinginan
untuk mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia membuat kita agak lupa untuk
mempersiapkan generasi-generasi penerus.
Akibatnya
memang kita rasakan sekarang ini. Kita kekurangan orang-orang yang bukan
hanya cerdas, tetapi juga orang-orang yang mempunyai hati. Teringat kita akan
ucapan Wakil Presiden Indonesia pertama, Mohammad Hatta, yang mengatakan
bahwa di zaman yang besar, yang muncul justru adalah orang-orang yang
berpikiran kerdil. Padahal mustahil kita akan mampu membangun bangsa ini
kalau kualitas manusia yang ada adalah kualitas yang medioker, yang
pas-pasan. Sebuah bangsa hanya bisa menjadi bangsa yang besar, bangsa yang
maju, apabila diisi oleh orang-orang yang juga berpikiran besar.
Dalam
era globalisasi saat ini, kualitas sumber daya manusia (SDM) menjadi salah
satu faktor penentu kedigdayaan suatu bangsa. Meski kita sadari betul bahwa
SDM yang berkualitaslah yang dapat membawa negara ini menjadi maju dan bisa
berkompetitif dengan SDM negara-negara lain. Pasalnya, kemajuan dan
persaingan di dunia yang semakin terbuka ini tidak mungkin dihadapi dengan
kualitas SDM yang serba pas-pasan. Tentunya kita sepakat bahwa pembangunan
harus mampu melahirkan manusia-manusia yang unggul dan semua itu hanya bisa
dicapai dengan pendidikan yang baik dan berkualitas.
Barangkali
sebaiknya kita mulai berpikir seharusnya kebijakan pembangunan pendidikan
sudah bergeser dari persoalan input ke pendekatan yang lebih menekankan pada
output dengan fokus kepada keberhasilan melahirkan SDM yang berkapasitas
unggulan dan berdaya saing tinggi. Pakar pendidikan Paolo Freire menyatakan
bahwa pendidikan harus menghasilkan output (lulusan) yang memunyai kemampuan
melihat masa depan. Artinya, hasil dari sebuah sistem pendidikan yang baik
adalah SDM yang memunyai kemampuan inovasi, kreatif, cerdas, dan peka terhadap
perubahan.
Pakar
masa depan, Alvin Toffler mengatakan, “Pendidikan
harus selalu mengacu pada masa depan.” Maka, pendidikan bertugas
mengembangkan pola-pola budaya baru agar dapat membantu masyarakat
mengakomodasi perubahan-perubahan yang sedang dan sudah terjadi. Secara
empiris, dunia pendidikan kita, meski mampu mengembangkan pola-pola pelatihan
dan pendidikan baru untuk menjawab aneka tuntutan perubahan dari zaman ke
zaman, masih terasa lamban. Padahal, secara imperatif maupun empiris era
globalisasi telah menjadi sebuah realitas yang harus dihadapi. Aneka
perubahan yang berlangsung mulai kelihatan dampaknya.
Sebenarnya
dampak-dampak globalisasi harus dihadapi dan diselesaikan, baik pada tingkat
wacana maupun tingkat kebijakan aksi. Dalam lingkup ini, pranata pendidikan
nasional, mau tidak mau, terlibat di dalamnya bersama dengan
kekuatan-kekuatan sosial, budaya, politik, dan ekonomi pada umumnya. Ini
penting agar dunia pendidikan tidak kian tumpul dan gamang dalam
mengantisipasi era globalisasi yang menjadi isu kita dewasa ini (A Malik Fadjar, 2004).
Presiden
terpilih dengan kabinet barunya serta DPR baru harus mengambil
langkah-langkah strategis dalam upaya membangun pendidikan nasional.
Investasi di bidang pendidikan secara nyata berhasil mendorong kemajuan
ekonomi dan menciptakan kesejahteraan sosial. Untuk itu, investasi di bidang
pendidikan harus didukung pembiayaan memadai, terutama yang diperuntukkan
bagi penuntasan program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun.
Bahkan, kini, diprogramkan untuk wajib belajar pendidikan dasar dua belas
tahun. Seiring pencanangan program ini, sudah semestinya semua pemangku
kepentingan berupaya dan berusaha sekeras mungkin menyelenggarakan dan
menyukseskannya.
Program
wajib belajar dua belas tahun tersebut bukan semata-mata bertujuan
meningkatkan rata-rata lama pendidikan rakyat Indonesia, tapi mendongkrak
kualitas SDM negeri ini. Dengan makin tingginya jenjang pendidikan SDM
Indonesia, kita meyakini bahwa daya saing kita dalam berkompetisi dengan
negara-negara lain juga akan lebih baik dan mungkin akan unggul. Kita
teringat pernyataan yang senantiasa disampaikan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan (Mendikbud), Mohammad Nuh, saat berdialog dengan jajaran dunia
pendidikan maupun peserta didik. Menteri mengatakan pendidikan adalah motor
untuk mengangkat kita dari kemiskinan. Tanpa pendidikan, impian untuk
mengangkat diri dari belitan kemiskinan serasa mustahil.
Mengikuti
agenda Millenium Development Goals
(MDGs), tahun 2015 Pemerintah Indonesia harus menjamin bahwa seluruh anak
usia sekolah dasar akan memperoleh pendidikan dasar. Ini sejalan dengan visi
nasional kita untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Bersamaan dengan itu,
akses ke pendidikan menengah dan pendidikan tinggi juga harus diperluas guna
mendukung upaya menciptakan knowledge society yang menjadi basis akselerasi
pembangunan ekonomi di masa depan.
Akhirnya,
melalui momentum Hardiknas ini, penataan kembali prinsip-prinsip dasar
pendidikan sudah waktunya dipikirkan kembali. Terlalu lama sudah perhatian
kita tertarik pada hal-hal yang bersifat praktis sehingga melupakan sesuatu
yang lebih fundamental dan berkaitan dengan masa depan bangsa ini. Kita harus
bersepakat bangsa seperti apa yang ingin kita bangun di depan itu. Semuanya
harus mengarah dan mendukung konsep bangsa yang ingin kita bangun itu.
Membangun pendidikan nasional adalah mempersiapkan masa depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar