Kamis, 22 Mei 2014

Kelemahan Ujian Nasional

Kelemahan Ujian Nasional

Darmaningtyas ;  Aktivis Pendidikan Tamansiswa
TEMPO.CO,  21 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Hasil ujian nasional (UN) tingkat SMA, SMK, MA, dan MAK telah diumumkan, dan nilainya ternyata tidak menggembirakan karena rata-rata hanya mencapai 6,12, jauh lebih rendah dibandingkan dengan nilai rata-rata ujian sekolah (US) yang mencapai 8,39 persen. Kesenjangan yang jauh antara nilai UN dan nilai US itu wajar, mengingat soal US dibuat oleh guru sendiri yang sudah tahu kemampuan muridnya, sehingga tidak akan membuat soal yang lebih rumit.

Muncul analisis bahwa penurunan nilai rata-rata UN tersebut disebabkan oleh adanya model soal matematika dan IPA yang berlevel internasional, seperti standar PISA (The Programme for International Student Assessment) dan TIMSS (The Trends in International Mathematics and Science Study). Model soal tersebut baru diberitahukan kepada publik oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M. Nuh melalui Twitter beberapa hari sebelum pelaksanaan UN. Itulah yang kemudian menimbulkan protes para peserta UN. Bahkan ada seorang peserta UN (Nurmillaty Abadiah, SMA Khadijah Surabaya) yang menulis surat terbuka kepada Menteri Nuh dan menantangnya untuk duduk dan mengerjakan soal matematika bersamanya tanpa melihat buku maupun Internet. Jika Mendikbud bisa menjawab benar lima puluh persen saja, beliau pantas diakui menjadi Menteri Pendidikan.

Surat terbuka Nurmillaty Abadiah itu telah menimbulkan kehebohan tersendiri, bahkan prahara baru dalam dunia pendidikan. Mendikbud sempat ragu surat terbuka tersebut ditulis oleh seorang siswi SMA, padahal senyatanya ditulis oleh seorang siswi SMA yang merasa frustrasi mengikuti UN, karena soal-soal yang dipelajari berbulan-bulan, termasuk ikut bimbingan belajar, tidak keluar. Masalahnya, ya, itu, soal UN mengikuti model PISA.

Namun, bagi penulis, hasil UN tahun 2014 ini juga misteri besar. Ini mengingat, di banyak tempat, soal UN betul-betul bocor. Di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, misalnya, 70 kepala sekolah dan guru berkomplot mencuri soal UN. Tapi mengapa hasil UN tidak tinggi? Adakah pemerintah mengambil kebijakan mengurangi nilai pada daerah-daerah yang dinyatakan bocor? Atau, ada kesenjangan antara nilai daerah satu dan daerah lain yang cukup tinggi sehingga, ketika diambil nilai rata-rata, didapat angka 6,12? Bila hipotesis terakhir ini yang terjadi, persoalan utama adalah adanya kesenjangan kualitas pendidikan antara satu daerah dan daerah lain, bukan pada UN. Kesenjangan tersebut perlu dipecahkan agar tercipta pemerataan kualitas pendidikan. Sayangnya, UN tidak mampu memecahkan masalah kesenjangan, melainkan justru memperlebar kesenjangan.

Meskipun pelaksanaan UN bermasalah dan hasilnya jelek, Menteri Nuh menyatakan bahwa seluruh perguruan tinggi negeri (PTN) sepakat menggunakan hasil UN sebagai satu kesatuan dalam Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) bersama nilai rapor dan prestasi akademik. Pernyataan tersebut diperkuat oleh pengurus Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia (MRPTNI) Rochmat Wahab, yang juga Rektor Universitas Negeri Yogyakarta. Menurut dia, seluruh rektor PTN sudah sepakat mengintegrasikan nilai UN ke dalam SNMPTN.

Bulatnya suara Kemdikbud dan Majelis Rektor PTN terhadap integrasi nilai UN ke dalam SNMPTN itu menunjukkan sikap pemerintah untuk tetap menerapkan UN sebagai penentu kelulusan. Suara masif yang menolak UN sebagai penentu kelulusan dianggap angin lalu saja. Ketidakberdayaan para rektor perguruan tinggi negeri, termasuk PTN terkemuka, untuk menolak kebijakan pengintegrasian nilai UN ke dalam SNMPTN, terjadi karena PTN itu merupakan unit pengelola teknis (UPT) Kemdikbud dan jabatan rektor ditentukan oleh Mendikbud. Padahal jelas, kredibilitas UN masih diragukan dan kredibilitas tes SNMPTN telah teruji lebih dari 30 tahun, sejak bernama SKALU, Proyek Perintis, Sipenmaru, hingga SPMB, dan kemudian berganti menjadi SNMPTN. Bila yang sudah terbukti kredibilitasnya ini harus menyesuaikan diri dengan yang masih diragukan, apakah ini bukan prahara baru dalam dunia pendidikan nasional sepanjang masa?

Penulis berharap para rektor perguruan tinggi negeri/perguruan tinggi swasta bisa lebih independen dalam bersikap demi menjaga kualitas pendidikan tinggi ke depan. Seleksi masuk PTN dengan model tes bersama, yang selama ini tidak pernah digugat kredibilitasnya, perlu dipertahankan demi menjaga kualitas pendidikan tinggi negeri, bukan justru menyesuaikan dengan UN. Menjadikan nilai UN sebagai dasar masuk ke PTN, sementara obyektivitas UN masih dipersoalkan, jelas kekeliruan besar. Boleh saja nilai UN dijadikan prasyarat, tapi penentu utama tetap hasil tes bersama. Nilai UN tidak bisa obyektif karena adanya perbedaan standar proses, guru (tenaga kependidikan), sarana dan prasarana, pengelolaan, serta standar pembiayaan antara daerah satu dan daerah lain. Karena itu, perlu hati-hati mempergunakan hasil UN sebagai dasar penerimaan mahasiswa baru di PTN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar