Kamis, 22 Mei 2014

Jokowi-JK Menggowes Indonesia

Jokowi-JK Menggowes Indonesia

Umbu TW Pariangu ;  Dosen Fisipol, Universitas Nusa Cendana, Kupang
MEDIA INDONESIA,  21 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
SENIN (19 Mei 2014), pasangan bakal calon presiden wakil presiden, Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK), resmi mendaftarkan diri sebagai peserta pemilu presiden dan wakil presiden 2014. Kedua pasangan ini mendaftarkan diri ke KPU dengan meng-gowes sepeda diikuti dan dikawal para elite politik koalisi, ratusan simpatisan, serta puluhan wartawan. Keduanya menyatakan siap untuk memperjuangkan amanat rakyat yang lebih besar dan semakin berat (Metrotvnews,19/5).

Deklarasi Jokowi-JK sebagai capres dan cawapres memang sudah diprediksi banyak kalangan dengan mencermati intensifnya komunikasi yang dirajut dua figur ini jauh sebelum pemilu legislatif. Prototipe duet politik ini oleh sejumlah pengamat politik dinilai memiliki keunggulan tidak saja dari aspek potensi elektoral yang bakal dipanen kelak. Namun juga keunggulan determinasi karakter dan komitmen kerakyatan yang sama-sama berangkat dari visi kerja politik populis berdasarkan bukti nyata dan bermuara pada penyejahteraan publik.

Jokowi membuktikan komitmen dan kerja populisnya selama menakhodai pemerintahan di Solo ataupun di DKI Jakarta. Kedekatan dengan rakyat dan simbol perjuangan wong cilik tidak saja dimanifestasikan dengan pendekatan personalitasnya, tetapi juga melalui kebijakankebijakan yang membela hak-hak masyarakat marginal. Ketegasannya dalam mendesain sistem birokrasi yang ramping, profesional, dan terikat pada kultur komitmen dan pembuktian kinerja yang melampaui standar (beyond of expectation) membuat kepemimpinan Jokowi selalu bisa diterima oleh berbagai elemen dan kepentingan.

Mengawinkan Jokowi dengan JK bukanlah kehendak politis belaka. Sosok kelahiran Watampone, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, yang sarat pengalaman di bisnis dan pemerintahan ini selalu tampil energik dan apa adanya. Kerendahan hatinya tidak saja tecermin dalam bahasa dan sikap tubuhnya di segala situasi, tetapi juga mewarnai `kerja advonturir' kemanusiaannya terutama ketika menjalankan panggilannya sebagai Ketua Palang Merah Indonesia hingga saat ini. Komitmen kemanusiaan dan predikat `guru' (tempat bertanya) bagi semua kalangan ini pula yang membuat mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, pada Mei 2011 lalu pernah menyebut JK sebagai tokoh yang mempunyai karakter berbeda dengan mantan pemimpin Indonesia lainnya.

Bagaimana peluang Jokowi-JK?

Dari segi probabilitas kerja mesin koalisi ataupun dukungan politik di parlemen, dua poros Prabowo-Hatta Rajasa mengungguli poros Jokowi. Koalisi PDIP-NasDem-PKB-Hanura menghasilkan 39,97% perolehan suara dan 207 dukungan kursi di parlemen, sedangkan koalisi Gerindra-Golkar-PAN-PKS-PPP menghasilkan 47,47% suara dan 292 dukungan kursi di parlemen.

Namun, koalisi yang dimotori PDIP secara soliditas lebih menonjol karena dukungan koalisi ini pada figur Jokowi-JK lebih merata dan satu suara. Salah satu keuntungan koalisi ini ialah hadirnya visi dan gagasan kolektif mewujudkan perubahan tanpa syarat (koalisi tanpa syarat) yang membuat titik temu dari segala tikungan elemen kepentingan dalam unsur koalisi lebih mudah diperoleh dan disinergiskan untuk meraih kursi RI 1 dan 2.

Adapun koalisi yang dimotori Gerindra masih terbentur pada friksi soal pencalonan Hatta yang kurang diterima oleh mitra koalisi: PPP ataupun PKS. Alasannya, Hatta bukanlah kader NU dan kurang memiliki gereget elektabilitas untuk menggaet dukungan. Friksi ini jika tetap tak berujung bisa menyebabkan diferensiasi dukungan politik di arus bawah yang memengaruhi target pencapaian basis dukungan terhadap pemenangan Prabowo-Hatta pada 9 Juli.

Lalu, apakah dengan modal koalisi besar meniscayakan kemenangan mulus di pilpres? Jawabannya tak sesederhana mengalkulasi peluang di atas kertas. Mesin politik dalam koalisi memang ikut menentukan kemenangan kompetisi, tetapi bukan segala-galanya. Di banyak kompetisi politik, kesepakatan politik yang terbangun di tingkat elitis (misalnya, koalisi pencalonan kepala daerah) tidak merepresentasi kecenderungan sikap politik di arus bawah yang preferensinya politiknya lebih dinamis dan cepat berubah.

Figuritas akar rumput

Publik akan lebih melihat figur ketimbang partai dalam menjatuhkan pilihan karena pilihan lebih bersifat pasti dan bisa dikontrol daripada kelompok partai yang sulit dikawal proses, mekanisme, serta akuntabilitas kinerjanya. Rendahnya apresiasi publik terhadap partai-partai yang diidentikkan korupsi, pelanggaran moral, kemanusiaan dan lain sebagainya menjadi bukti bahwa rakyat sudah memiliki kematangan sikap dan pendirian politik untuk mengarahkan kerja politik ke nilai dan pilihan politik yang lebih rasional dan kaya serat optik perubahan.

Hanya kombinasi figur yang memiliki rekam jejak prestasilah yang berpeluang menyerap dukungan politik maksimal. Dari segi ini, prominensia figuratif kepemimpinan masih tetap dipegang JokowiJK. Survei Indonesia Indicator (I2) menyatakan, kandidat pasangan Jokowi-JK menduduki peringkat teratas dalam pemberitaan media dalam jaringan kurun waktu 10-17 April 2014. Artinya dua sosok ini dianggap media sebagai kombinasi pemimpin paling tepat.

Survei Indikator Politik (20-26 April 2014) misalnya menempatkan A Jokowi sebagai pemimpin paling jujur, amanah, dapat dipercaya (84%), disusul Prabowo Subianto (68%), Aburizal Bakrie (Ical) (48%). Dari aspek bersih dari korupsi, Jokowi juga unggul dengan 73%, sementara Prabowo (60%), dan Ical (38%). Dalam aspek kemampuan memimpin pemerintahan, Jokowi tetap unggul walau tipis (81%) di atas Prabowo (80%) dan Ical (57%). Dari aspek empati atau perhatian terhadap rakyat lagi-lagi dominasi dan keunggulan Jokowi (91%) sulit digeser oleh Prabowo (71%) dan Ical (52%). Kepemimpinan Prabowo hanya unggul dalam aspek ketegasan, yakni 86%, mengalahkan Jokowi (74%) dan Ical (55%) serta unggul dalam hal pengalaman internasional, yakni 73%, disusul Ical (61%) dan Jokowi (57%).

Namun, dua aspek terakhir ini pun masih bisa diperdebatkan dalam konteks turbulensi kepemimpinan nasional. Misalnya, apakah preferensi ketegasan yang dilekatkan kepada figur Prabowo benar-benar kompatibel dengan karakter kebutuhan corak kepemimpinan yang dibutuhkan bangsa. Secara empiris Indonesia dengan sejumlah dinamika persoalannya tidak saja membutuhkan visualisasi diri dan politik tubuh kepemimpinan yang impresif, lantang, dan lihai membakar emosi publik melalui pesan-pesan heroik, tetapi lebih dari itu juga membutuhkan bukti empiris ketegasan melalui kemampuan mendorong dan mengeksekusi kebijakan disertai keberanian menanggung berbagai implikasinya.

Jika dibandingkan dengan Prabowo-Hatta, Jokowi-JK memiliki energi yang potensial untuk menyelaraskan kekuatan prinsip kebijakannya dengan keandalan komunikasi politik yang dua-duanya dikenal piawai menggunakan bahasa akar rumput.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar