Senin, 05 Mei 2014

Gunung dalam Mitologi Jawa

Gunung dalam Mitologi Jawa

Heri Priyatmoko  ;   Sejarawan Kota Solo, Alumnus Pascasarjana Sejarah, FIB UGM
SINAR HARAPAN,  05 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Hati siapa yang tak ketar-ketir atau waswas, lantaran beberapa gunung berapi di Nusantara kini mengalami peningkatan status dari waspada ke siaga, seperti Gunung Soputan, Lokon, dan Karangetang (Sulawesi Utara), Slamet dan Merapi (Jawa Tengah), Sinabung (Sumatera Utara), dan Rokatenda (Nusa Tenggara Timur).

Kita tidak bisa main-main dengan status gunung berapi yang menginjak level siaga. Jika benar-benar gunung berapi itu “batuk”, guguran lava dan awan panas bukan hanya merobohkan rumah dan mencabut nyawa, melainkan mampu memusnahkan peradaban masyarakat pegunungan yang sudah berlangsung berabad-abad.

Dari sekian gunung di atas, Gunung Merapi di perbatasan Jawa Tengah dan DIY tampaknya belum ada tanda-tanda perununan aktivitas dan perlu perhatian khusus. Sepanjang Kamis (1/5), terdengar tiga dentuman dari gunung berapi teraktif di Indonesia tersebut.

Kendati dentuman ini hanya terjadi di dalam perut gunung tanpa menyemburkan material, tetap saja membuat banyak orang eling (teringat), tepatnya eling mitos gunung. Penduduk tak punya bahasa ekologi, namun mereka memiliki pengalaman ekologi yang diungkapkan dalam bahasa mitos. Mitos melekat dalam memori kolektif masyarakat setempat, yaitu gunung yang sohor dengan wedus gembel ini dijaga mahluk halus.

Beda daerah, beda penunggu (sing mbaurekso). Di sisi selatan, gunung yang pernah memakan korban pakuncen Mbah Maridjan ini dihuni Ki Sapu Jagad, hamba Senopati yang merontokkan kekuasaan Sultan Pajang. Ki Sapu Jagad senantiasa membantu para penguasa Mataram. Guna mengenang jasanya, petinggi Keraton Mataram Islam menyelenggarakan upacara labuhan di Merapi. Di kawasan Boyolali, terdapat tradisi lisan Kyai Petruk yang disebut-sebut sebagai penjaga Gunung Merapi.

Beberapa tahun silam, saat mengerjakan riset di Kepuharjo, kaki Gunung Merapi, saya menggali fakta mental bahwa penduduk sekitar memiliki cara pandang unik terhadap lingkungan alam sekitarnya. Model peradaban berkembang di sana berbeda dengan peradaban yang tumbuh di ngarai. Salah besar jika kita menudingnya sebagai masyarakat primitif. Mereka memelihara mitos tersebut ternyata bagian dari tindakan konservasi alam.

Hidup keyakinan yang berakar dari kepercayaan leluhur dinamisme dan animisme. Manusia gunung yang tidak mengerjakan upacara sesaji persembahan kepada dhayang dengan tumpeng sebagai simbolisasi gunung, bisa kualat dan kampung ditimpa pagebluk. Mereka serius menjaga gunung, mata air, dan pepohonan besar yang dipercaya ada penunggunya.

Penghormatan terhadap penunggu gunung dengan perayaan tradisional itu, sesungguhnya merupakan rambu-rambu peringatan agar mereka tidak mengeksploitasi sumber daya alam pegunungan secara berlebihan, bila tidak mau diterjang bencana longsor dan kekeringan akibat pohon dibabat habis. Dari sinilah harmoni antara manusia dengan alam terwujud sehingga ditemukan keseimbangan makrokosmos dan mikrokosmos.

Proses ritual tradisional ini dimaknai pula sebagai ruang dialog imajiner antara penduduk dengan penguasa Merapi. Konon, lewat acara tersebut, bila akan terjadi bencana, masyarakat lokal sudah diberitahu melalui perlambang. Secara tidak langsung, ritual ini dapat merawat semangat warga bergotong-royong dan mengekalkan pengetahuan tentang gunung dalam diri mereka.

Selain melalui upacara tradisional, kawruh (pengetahuan) mengenai gunung dikenalkan lewat jalur kesenian. Kasus ini menunjukkan, gunung menjadi sumber inspirasi kesenian yang diklaim milik warga kota (kerajaan) dan bagian dari—meminjam teori yang diformulasikan Robert Redfield—tradisi besar.

Wayang pada dasarnya sebagai sarana penggambaran alam pikiran orang Jawa. Dalam jagad pewayangan, gunungan ialah simbol alam semesta. Bentuknya kerucut, mengingatkan kita pada ritus pemujaan nenek moyang, punden berundak.

Kerucut dipandang dari samping seperti segitiga menjulang tinggi, melambangkan Trinitas, Yang Maha Tinggi. Penampang kerucut berbentuk lingkaran melambangkan garis yang tidak berawal dan tidak berakhir, yang berarti abadi, Tuhan. Bentuk kerucut layaknya gunung, sealur dengan pandangan magis wong Jawa, bahwa terdapat puluhan gunung berapi di Pulau Jawa yang memberi kehidupan bagi penghuninya.

Gunungan dalam pergelaran wayang kulit berfungsi sebagai tanda mulai dan tamatnya suatu pergelaran, tanda istirahat, latar belakang suatu adegan, dan tanda pengganti misalnya gunung.

Dalam cerita Yudhakanda, sewaktu Hanoman disuruh Rama berburu daun lata maosadi, lantaran tak tahu bentuk daun itu, gunungnya yang ia angkat. Barangkali kita pernah memperhatikan tangan dalang begitu luwes mencabut gunungan yang tertancap di gedebog, lalu menggerakkannya, bahkan diputar-putar. Aksi itu menggambarkan dimulainya proses kehidupan dengan berinteraksinya semua unsur alam yang disebut Pancamahabhuta (Woro Aryandini S, 2002).

Dari gunungan sebagai lambang ekosistem, lagi-lagi kita belajar mengenai unsur alam. Ada gambar pintu gerbang melambangkan batas antara alam dunia dengan alam adikodrati, disebut kahyangan. Gambar rumah merupakan tempat para dewa di kahyangan maupun ruang hunian manusia di Bumi.

Selanjutnya unsur pohon, dalam tradisi Hindu yang kental memengaruhi pemikiran manusia Jawa, dimaknai sebagai tempat roh-roh bersemayam. Sejatinya, pohon memberi kehidupan bagi manusia, antara lain menghasilkan oksigen untuk pernapasan, sumber makanan, dan memayungi batok kepala.

Berikutnya, binatang harimau dan lembu di kiri kanan pohon menunjukkan keseimbangan binatang buas dan binatang jinak. Lembu meringankan tugas petani, memberi daging untuk dikonsumsi dan kotoran untuk pupuk. Masih ada lagi kala makara atau sohor, disebut banaspati sebagai makhluk halus penjaga hutan, dan mitosnya dirawat demi menakut-nakuti kepada siapa saja yang hendak merusak ekologi hutan.

Saat perhatian kita tertuju pada gunung berapi yang sedang berstatus siaga, mitos gunung kembali tersembul dan senantiasa membuat kita ingat alias eling. Nenek moyang tak pernah lelah mencekoki kawruh perihal gunung melalui upacara ritual dan wayang yang dibungkus mitos, supaya kita tidak abai pada (pengetahuan) pegunungan dan mampu menjaganya.

Tujuannya ialah mikrokosmos alias negeri ini tidak guncang dilanda bencana kekeringan panjang dan tanah longsor. Dalam kacamata keilmuan, pengetahuan lokal tidak tercampakkan atau jadi bahan cemooh mentang-mentang kita menyerap ilmu pengetahuan Barat di bangku kuliah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar