Suap,
Zone Base, dan Otoritas Veteriner
Khudori ;
Anggota
Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-Sekarang); Penggiat Asosiasi
Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
|
KORAN
SINDO, 17
Februari 2017
Pengaturan
pemasukan impor ternak dan produk turunannya, terutama daging sapi, kembali
memakan korban. Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar diduga menerima
suap terkait salah satu perkara yang ditanganinya: uji materi UU Nomor
41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Patrialis diduga menerima
suap dari importir daging Basuki Hariman. Menjadi menarik mempertanyakan
mengapa Basuki coba menyuap Patrialis? Bukankah Basuki bukan pihak yang
terkait dengan uji materi? Uji materi diajukan komunitas peternakan
(peternak, pedagang daging, dokter hewan, konsumen, dan akademisi), 16
Oktober 2015.
Objek gugatan
adalah Pasal 36 C ayat 1 dan 3, Pasal 36 D ayat 1, dan Pasal 36 E ayat 1.
Pokok gugatan terkait pemasukan ternak ruminansia indukan, ternak dan/produk
ternak ke NKRI bisa dari suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah
memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukannya. Sidang terakhir digelar 12
Mei 2016. Lebih delapan bulan ”mengendap”, uji materi ini membuat geger
publik lantaran ditengarai ada jual-beli pasal di balik suap kepada
Patrialis.
Patut diduga,
Basuki Hariman hendak menyuap Patrialis Akbar agar uji materi yang diajukan
komunitas peternakan ditolak. Mengapa? Dengan pendekatan zona base, importir
bisa mendatangkan ternak dan produk turunannya dari banyak negara. Dalam
kasus sapi dan daging serta produk turunannya, impor tidak hanya bisa
didatangkan dari negara-negara yang bebas penyakit mulut dan kuku seperti
Australia, Selandia Baru, dan Italia, tapi juga bisa dari negaranegara yang
belum bebas PMK, tapi memiliki zona bebas PMK seperti India.
Logikanya,
karena sumber pemasukan berasal dari banyak negara, harga akan kompetitif.
Importir berpeluang mendapatkan harga relatif lebih murah. Harga daging dan
sapi impor dari negara yang bebas PMK lebih mahal dari negara yang masih
endemik PMK. AS misalnya mengimpor daging sapi dari Australia dengan harga
premium 30% lebih tinggi daripada daging sapi asal negara tertular. Dengan
harga impor dari zona yang bebas PMK yang lebih murah, peluang importir
menangguk untung cukup terbuka.
Bukankah harga
daging sapi domestik masih tinggi? Secara tidak langsung, pemerintah juga
diuntungkan. Dengan harga daging dan sapi impor yang relatif murah, ada
peluang harga daging sapi di pasar domestik tertekan turun. Selain itu,
dengan pasokan yang ajek dan pasti, kelangkaan daging bisa dipastikan tidak
akan terjadi. Ditambah distribusi yang baik, pasokan yang kontinu akan
memitigasi instabilitas harga. Ujung-ujungnya, inflasi yang salah satunya
disumbang dari instabilitas harga daging bisa diredam. Dalam beberapa tahun
terakhir daging jadi kontributor inflasi.
Masalahnya,
”banjir” sapi dan daging impor itu jadi pertaruhan nasib peternak domestik.
Jika harga daging anjlok, apalagi bila sampai menyentuh di bawah harga pokok
produksi, peternak bakal merugi. Insentif ekonomi beternak bakal menurun.
Menurut kajian Tawaf dkk (2011), harga ternak berpengaruh nyata (38%)
terhadap pengembangan skala usaha ternak. Saat ini porsi impor daging sapi
masih 30% dari kebutuhan domestik. Jika peternak tak lagi menekuni usaha
ternak, ketergantungan impor daging makin tinggi.
Bukankah
selama ini mereka jadi tulang punggung penyediaan daging dan protein
domestik? Bukankah selama ini peternak kecil itu telah memikul tanggung jawab
sebagai penyedia pembibitan sapi -yang menurut UU Nomor 41/2014 seharusnya
jadi tugas pemerintah? Bagi usaha ternak besar atau korporasi, kebijakan ini
juga bersifat disinsentif. Mereka bakal mengalihkan ke bisnis daging impor
dan meninggalkan usaha peternakan. Bisnis yang semula mampu meningkatkan
nilai tambah bagi negeri ini lambat laun akan berubah menjadi bisnis yang
tidak lagi memberikan nilai tambah yang berarti bagi pendapatan nasional.
Kondisi itu
akan turut memberikan pengaruh kuat terhadap 120 sektor ekonomi lain yang
terkait dengan peternakan sapi potong di negeri ini (Tawaf, 2016). Dampak
lain adalah berkurangnya peluang kesempatan/ lapangankerja. Ujung-ujungnya,
negeri ini masuk dalam perangkap impor pangan (food trap), terutama daging.
Patut disadari, sampai sekarang pemerintah belum bisa memastikan kesiapan
Indonesia menghadapi kemungkinan berjangkitnya penyakit hewan menular utama,
terutama PMK.
Pendekatan
country base akan menjadi perisai ketidaksiapan itu. Salah satu yang krusial
adalah belum ada peraturan pemerintah (PP) tentang kesehatan hewan nasional
dan otoritas veteriner. PP ini jadi penangkal jika terjadi outbreak penyakit
hewan menular utama. Dengan PP itu, negara akan punya dana tanggap darurat.
Jika ada outbreak dan menjangkiti ribuan hewan ternak, kemudian ternak itu
harus dimusnahkan, akan ada dana ganti rugi. Anggaran ganti rugi itu saat ini
belum ada. Kasus PMK di Inggris pada 2001 penting jadi pelajaran.
Hanya dalam 14
hari, jumlah ternak yang dimusnahkan 4,22 juta ekor (meliputi domba, sapi,
babi, kambing, rusa, dan ternak lainnya). Kasus ini menurunkan pendapatan
usaha ternak hingga 71%, hotel dan restoran 52%, pertanian 58%, perdagangan
(pedagang besar dan ritel) 47%, industri manufaktur 42%, transportasi 42%,
jasa dan pelayanan 55%, bisnis finansial 23%, dan konstruksi 49% (Tawaf,
2016).
Outbreak di
Inggris memangkas pendapatan peternak Rp1 triliun/bulan, ekspor produk
peternakan menurun Rp9,45 triliun/tahun, dan menurunkan pendapatan sektor
pariwisata Rp82,5 triliun/tahun (Hutabarat, 2002). Dengan PP kesehatan hewan
dan otoritas veteriner nanti akan ada otoritas veteriner khusus yang mumpuni
dalam menentukan laik-tidak hewan ternak atau produk turunannya yang akan
masuk ke Indonesia. Mereka inilah yang memiliki otoritas dan menentukan
pelbagai kebijakan terkait ternak dan kesehatan hewan.
Otoritas bukan
di penguasa seperti saat ini. Otoritas veteriner yang powerfull akan
memastikan negeri ini terbebas dari ancaman terjangkit aneka penyakit hewan
menular utama, terutama PMK. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar