Pilkada
Serentak 2017: Harapan dan Kenyataan
Ramlan Surbakti ;
Guru
Besar Perbandingan Politik pada FISIP
Universitas Airlangga; Anggota Komisi Ilmu Sosial Akademi Ilmu
Pengetahuan
|
MEDIA
INDONESIA, 15 Februari 2017
KAMPANYE yang dilakukan
para pasangan calon (paslon) pada Pilkada Serentak 2017 ditandai satu
karakteristik, yaitu tidak melihat relevansi tema kampanye pilkada dengan
pembagian urusan pemerintahan antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota
sebagaimana diatur dalam Lampiran UU tentang Pemerintahan Daerah. Seharusnya
para paslon menawarkan program konkret dalam urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan provinsi atau kabupaten/kota untuk mencapai tujuan otonomi daerah.
Kebanyakan mereka menjanjikan suatu rencana kebijakan besar dalam bidang
pemerintahan yang tidak menjadi urusan provinsi atau kabupaten/kota.
Ironisnya, baik KPU Provinsi/KPU Kabupaten/Kota sebagai penyelenggara debat
maupun moderator, juga tidak melihat relevansi tema kampanye pilkada dengan
pembagian urusan pemerintahan yang diatur dalam UU tentang Pemerintahan
Daerah.
Pilkada di 101
daerah hari ini mudah-mudahan menjadi pilkada serentak yang serentak. Bila
tidak serentak seperti Pilkada 2015, tak hanya bertentangan dengan namanya,
tetapi juga menyimpang dari tujuan akhir pilkada serentak. Harapan terbesar
pada Pilkada Serentak 2017 ialah peningkatan kualitas dalam aspek persaingan,
kualitas pilihan, integritas pemilu, dan penegakan hukum pemilu. Semua pihak
akan menilai Pilkada 2017 sekurang-kurangnya pada keempat indikator ini.
Persaingan yang bebas dan adil di antara pasangan calon merupakan salah satu
indikator pilkada yang demokratis. Bila intimidasi, ancaman ataupun kekerasan
digunakan sebagai alat untuk mendapatkan suara, artinya telah terjadi persaingan
yang tidak bebas dalam pilkada.
Kemenangan
karena menggunakan intimidasi, ancaman ataupun ke kerasan, legitimasi
kekuasaannya patut dipertanyakan. Sebaliknya bila uang digunakan sebagai alat
mendapatkan suara, telah terjadi persaingan yang tidak adil. Itu karena
sebagian paslon berupaya mendapatkan kepercayaan/suara pemilih dengan
menggunakan uang dan/atau barang, sedangkan sebagian lagi berupaya mendapat
kepercayaan dengan menawarkan program konkret secara persuasif sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Hitung keuntungan
Penggunaan
uang dan/atau barang dalam proses pemungutan dan penghitungan suara dan dalam
proses rekapitulasi hasil penghitungan suara pilkada mengambil bentuk jual
beli suara. Sebagian pemilih memang mengharapkan ‘serangan fajar’ dengan
motivasi beraneka ragam. Uang dan/atau barang merupakan alat tukar atas waktu
yang diberikan untuk tidak bekerja pada hari pemilihan. Bagi pemilih yang
lain, lebih menguntungkan bila mendapatkan sesuatu dari paslon walaupun
sedikit tetapi pasti. Tidak sedikit yang berupaya mendapatkan keuntungan dari
satu atau lebih paslon untuk memenuhi kebutuhan yang semakin konsumtif.
Bagaimana
jual-beli suara ini berlangsung dideskripsikan secara lengkap dalam buku
‘Politik Uang di Indonesia: Patronase dan Klientelisme pada Pemilu Legislatif
2014’, (Yogyakarta: PolGov, 2015) yang disunting Edward Aspinall dan Mada
Sukmajati. Fakta tersebut tidak hanya menurunkan kualitas pilkada, tetapi
juga mengancam kedaulatan rakyat dan merendahkan martabat manusia. Pilkada/pemilu
berangkat dari suatu prinsip bahwa yang memegang kedaulatan negara (pemegang
semua kekuasaan negara seperti membuat UU, menjalankan, dan menegakkan UU)
adalah rakyat. Rakyat mendelegasikan sebagian kedaulatan itu kepada wakil
rakyat dan kepala pemerintahan (sistem presidensial).
Pendelegasian
sebagian kedaulatan itu dilakukan melalui pemilu (termasuk pilkada). Karena
itu sebelum mendelegasikan sebagian kedaulatannya, setiap rakyat/pemilih
harus mempertimbangkan semua pilihan secara seksama. Bila pemilih menjual
kedaulatannya, dia telah menjadi orang yang tidak berdaulat alias budak.
Sesungguhnya dia telah kehilangan harga diri dan martabat sebagai manusia.
Bila Panitia Pelaksana Pemilu tingkat bawah bersedia menambah suara suatu
paslon dengan mengurangi suara paslon lain, panitia tersebut bukan sekadar
melanggar ketentuan pemilu tetapi juga telah mengkhianati sumpah dan
mengingkari komitmen sebagai pelindung suara rakyat. Itu aib terbesar.
Pilkada serentak 2017 dikatakan berhasil bila pemilih memberikan suara bukan
karena intimidasi, ancaman dan kekerasan, ataupun karena uang dan/atau
barang.
Titik lemah
Integritas
hasil pilkada menjadi indikator berikutnya untuk menilai Pilkada 2017. Salah
satu titik lemah pilkada di Indonesia adalah proses rekapitulasi hasil
penghitungan suara yang cukup panjang, yaitu tiga tingkat itu pemilihan
bupati/wali kota dan empat tingkat untuk pemilihan gubernur. Rekapitulasi
yang panjang ini tidak hanya menyebabkan waktu yang lebih lama untuk
mengetahui hasil resmi pilkada, tetapi menciptakan peluang manipulasi
penghitungan suara di setiap tingkat rekapitulasi. Rencana KPU merekam dan
menyebarluaskan Sertifi kat Hasil Penghitungan (C1), perhitungan cepat atas
hasil penghitungan suara di TPS oleh berbagai lembaga survei pemilu, dan
rencana kawal pilkada (dengan merekam data hasil penghitungan suara yang
tercatat pada kertas/layar dan menyebarluaskan hasilnya) oleh
sejumlah
relawan, merupakan upaya mencegah manipulasi hasil penghitungan suara.
Pertanyaannya, apakah hal itu akan menjangkau 101 daerah yang
menyelenggarakan pilkada.
Akhirnya,
setelah setiap KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota mengumumkan hasil resmi,
setiap pihak tidak hanya mengamati integritas hasil pilkada, tetapi juga
penegakan UU Pilkada. Pelanggaran ketentuan administrasi pilkada itegakkan
Bawaslu. Karena itu kinerja Bawaslu akan menjadi sorotan. Yang menjadi
persoalan ialah penegakan ketentuan pidana pilkada. Kapolri membuat dan
melaksanakan suatu kebijakan yang pada intinya dugaan pelanggaran ketentuan pidana
pilkada baru akan ditegakkan setelah pemungutan suara selesai. Tujuannya
mencegah kemungkinan Polri berpihak pada salah satu paslon dalam penegakan
hukum. Khusus untuk Pilkada DKI 2017 dikecualikan dari kebijakan Kapolri
tersebut. Satu sisi kebijakan Kapolri itu berdampak positif dalam arti
mencegah keberpihakan dalam penegakan hukum. Pada sisi lain berdampak
negatif, yaitu para pemilih dan masyarakat tak bisa menilai hasil pilkada
dari segi penegakan hukum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar