Mencermati
Dinamika Strategis Asia Timur
I Gede Wahyu Wicaksana ;
Dosen Hubungan Internasional FISIP
Universitas Airlangga
|
JAWA
POS, 18
Februari 2017
Presiden
Amerika Serikat (AS) Donald Trump sudah mengirim sinyal sedang terjadi perubahan
lingkungan strategis di kawasan Asia Timur yang melibatkan tata kelola
hubungan Washington dengan Beijing. Sebagai aktor yang aktif dalam
menciptakan stabilitas regional Asia-Pasifik, Indonesia perlu mencermati
betul dinamika yang muncul. Tidak bisa disangkal, kebijakan kedua negara
adidaya, baik AS maupun Tiongkok, berpengaruh signifikan terhadap arah dan
substansi kebijakan luar negeri Indonesia.
Awal Februari,
Menteri Pertahanan James Mattis berkunjung ke dua sekutu terdekat AS, yakni
Jepang dan Korea Selatan (Korsel). Tujuan Mattis ialah menepis berbagai
spekulasi yang sempat berembus, terutama pada masa kampanye Trump mengenai
nasib aliansi militer Jepang, Korsel, dan AS. Trump memang meminta Jepang dan
Korsel memberikan kontribusi riil lebih besar dalam rangka membendung
kekuatan Tiongkok dan Korea Utara (Korut).
Artinya, Seoul
dan Tokyo harus mampu mengembangkan proyek persenjataan dan modernisasi
militer secara mandiri, cepat, dan efektif. Suatu hal yang sangat tidak
mungkin dilakukan saat kondisi ekonomi stagnan. Namun, Mattis berhasil
menenangkan situasi dengan menegaskan komitmen Washington tetap pada
penciptaan payung keamanan secara kolektif.
Sebelumnya
senator John McCain selaku ketua Komisi Angkatan Bersenjata Senat AS
mengajukan rencana penambahan anggaran belanja militer fantastis sekitar USD
7,5 miliar untuk pengembangan inovasi dan peningkatan kapabilitas militer
negara sekutu di Asia Timur. Juru bicara Trump menyebut proposal McCain
beresonansi dengan visi strategis Gedung Putih. Di era Presiden Barack Obama,
pada 2015 saja Pentagon sudah mengucurkan sekitar USD 425 juta untuk membantu
Vietnam, Malaysia, Indonesia, dan Filipina memperkuat dan meremajakan
infrastruktur, terutama bagi armada yang berhadapan langsung dengan wilayah Laut
China Selatan. Karena itu, ada benang merah kebijakan militer di bawah Obama
dan Trump.
Apa tujuan AS?
Menandingi dan menghalau (rebalance) peningkatan aktivitas Angkatan Laut
Tiongkok di Asia Timur sampai ke Samudra Hindia. Selama sepuluh tahun, mulai
2005 hingga 2015, belanja militer Tiongkok naik terus rata-rata 0,24 persen
per tahun sehingga pada 2015 total pengeluaran militer mencapai USD 13,4
miliar. Sebagian besar digunakan untuk membangun divisi tempur di Asia
Tenggara dan Asia Timur. Sementara di Samudra Hindia Tiongkok berfokus pada
pembangunan armada kapal selam bertenaga nuklir. Merespons Tiongkok, AS
menambah jumlah personel militer dan perlengkapan tempur di pangkalan milik
Australia di Samudra Hindia. Kabar dari Pentagon, AS pun ingin meluaskan
jangkauan jelajah armada Divisi V Asia-Pasifik yang dipersenjatai dengan
kapal selam nuklir sampai ke Samudra Hindia.
Satu lagi
perkembangan penting, Trump beralih dari pendekatan institusi multilateral
seperti Kemitraan Trans-Pasifik (Trans-Pacific Partnership) menjadi kerja
sama bilateral intensif. Sasaran Trump ada dua: memperkuat relasi dengan
kawan lama dan membina hubungan konstruktif dengan rival klasik seperti
Rusia. Yang pasti, semua kebijakan Trump dibingkai dalam strategi
meminimalkan pengaruh Tiongkok. Dibanding Obama, Trump lebih asertif terhadap
Tiongkok. Gejala itu barangkali mengindikasikan kebenaran tesis John
Mearsheimer bahwa kebangkitan Tiongkok di Asia akan menjadi ancaman bagi
hegemoni AS yang memudar. Walaupun tidak serta-merta bermakna di masa depan
terjadi benturan keras ataupun perang AS-Tiongkok, bagi pembuat kebijakan
luar negeri di Jakarta, indikasi perubahan yang sedang berlangsung perlu
diantisipasi.
Pertama,
secara geopolitik Indonesia dikepung dua raksasa militer yang sedang berlomba
memperbesar dan memperkuat diri. Bahkan, Indonesia menjadi bagian dari agenda
strategis Washington lewat kerja sama militer kedua negara. Sementara rencana
diversifikasi kolaborasi militer bersama Tiongkok masih belum terlaksana,
posisi Indonesia berseberangan dengan Tiongkok. Karena itu, apabila muncul
ketegangan antara Beijing dan Washington, Jakarta tidak akan bisa bersikap
netral.
Pandangan para
elite di Jakarta terhadap AS dan Tiongkok terbelah. Kalangan militer
nasionalis tetap menganggap Tiongkok sebagai pihak yang tidak bisa dipercaya
sehingga sepak terjangnya patut dicurigai. Kalangan nonmiliter, termasuk
diplomat dan pebisnis, menyadari potensi dan kinerja ekonomi Tiongkok yang
luar biasa. Statistik menunjukkan, sejak 2010 Tiongkok menggeser status AS
sebagai mitra dagang utama Indonesia. Sedangkan terhadap AS, elite di Jakarta
memersepsi AS lebih bisa dipercaya dan diandalkan daripada Tiongkok dalam
urusan kerja sama keamanan. Tetapi, dari sektor ekonomi, AS kalah bersaing
dengan Tiongkok meskipun masih tetap memiliki peran krusial.
Kedua,
kendaraan diplomatik utama Indonesia di Asia Timur pun tidak luput dari
ekstensi persaingan AS-Tiongkok. Contoh aktual, di internal ASEAN sangat
sulit menggalang kohesi dan kepaduan sikap dalam menghadapi dinamika
interaksi negara adidaya. Kamboja, Laos dan Myanmar menikmati manfaat ekonomi
dari banjir investasi dan bantuan luar negeri Tiongkok sehingga tidak mungkin
mereka akan bersikap kritis, apalagi konfrontatif, terhadap Beijing.
Sementara itu,
Filipina dan Vietnam yang bersengketa teritori dengan Tiongkok di Laut China
Selatan mendekat secara politik kepada AS. Mereka mengizinkan penggunaan
pangkalan angkatan laut di sekitar Laut China Selatan sebagai basis
pertahanan AS di Asia Tenggara. Implikasinya, hingga kini ASEAN belum
berhasil mencapai kata sepakat perihal kebijakan bersama merespons Tiongkok.
Dua institusi
lain, yaitu Konferensi Tingkat Tinggi Asia Timur dan Forum Regional ASEAN,
mendemonstrasikan satu kekuatan yang sekaligus menjadi kelemahan mereka:
keanggotaan yang terlalu inklusif. Semua aktor strategis diajak bergabung,
termasuk AS, Australia, Selandia Baru, Rusia, India, dan Tiongkok. Bahkan,
Korut pun masuk sebagai anggota Forum Regional ASEAN. Konsekuensinya, forum
yang dibentuk akomodatif sebagai pembuat norma dan aturan main gagal dalam
menerapkan hasil kesepakatan serta menghasilkan perubahan berdampak
strategis.
Dengan kata
lain, instrumen diplomasi kita hanya efektif di ruang pertemuan, tidak
efektif di lapangan. Indonesia berada dalam dilema dan krisis. Gaya
kepemimpinan Trump memperlihatkan betapa besar pengaruh ide dan preferensi
pribadi seorang pemimpin terhadap kebijakan negara demokratis meskipun
mekanisme check and balance telah berjalan sistematis. Trump adalah figur
yang susah ditebak, mau ke mana sebenarnya AS dibawa dan mau diapakan
hubungan dengan Asia ke depan. Untuk itu, Jakarta harus bersiap dengan
strategi jangka pendek, menengah, dan jangka panjang untuk melindungi
kepentingan bangsa di tengah pusaran politik AS-Tiongkok yang semakin
dinamis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar