Kontribusi
Koperasi terhadap PDB
Djabaruddin Djohan ;
Pengamat
Perkoperasian; Pengurus LSP2I
(Lembaga Studi Pengembangan
Perkoperasian Indonesia) 1997-2010
|
KOMPAS, 18 Februari 2017
Menteri
Koperasi dan UKM, dikutip Kompas (30/12/2016), mengungkapkan, dengan basis
data yang benar dan lengkap, kontribusi koperasi dan anggota koperasi
terhadap produk domestik bruto nasional mencapai 23,21 persen, jauh di atas
angka 1,65 persen seperti disebutkan selama ini.
Kontribusi
sebesar 23,21 persen merupakan angka yang cukup besar, bukan saja untuk
ukuran koperasi Indonesia, melainkan juga ukuran koperasi dunia. Bandingkan
dengan kontribusi koperasi terhadap PDB di negara maju yang masuk dalam ICA
300 Global List: Finlandia (21,1 persen), Selandia Baru (17,5 persen), Swiss
(16,4 persen), dan Swedia (13,5 persen).
Dengan jumlah
koperasi 209.488 unit dan anggota 36.443.953 orang-yang merupakan koperasi
terbesar di dunia-ditambah dengan kontribusi koperasi terhadap PDB sebesar
23,21 persen, adalah suatu capaian fantastis yang belum pernah terjadi dalam
sejarah koperasi selama ini.
Betapapun
menggembirakan dan membanggakan, munculnya angka kontribusi koperasi terhadap
PDB sebesar 23,21 persen juga menimbulkan tanda tanya. Betapa tidak, hanya
selang satu-dua tahun setelah dinyatakan oleh Menkop dan UKM bahwa kontribusi
koperasi terhadap PDB hanya sebesar 1,65-1,7 persen, tiba-tiba angkanya
melonjak menjadi 23,21 persen.
Angka ini juga
kontras dengan berita-berita tentang koperasi di media massa yang selama ini
selalu negatif. Contohnya tentang pembubaran koperasi karena "tinggal
papan nama" saja atau tentang koperasi simpan pinjam (KSP) abal-abal
yang usahanya menarik dana simpanan sebanyak-banyaknya dari masyarakat dengan
menawarkan iming-iming bunga tinggi yang tidak masuk akal, yang kemudian
setelah dana terkumpul cukup banyak, dananya dilarikan oleh pengurus atau
manajemennya.
Kasus KSP
abal-abal ini masih terus berulang sampai saat ini, memunculkan kesan kuat
tak ada pengawasan ataupun pencegahan dari pemerintah. Kasus KSP abal-abal
yang saat ini tengah santer diberitakan adalah KSP Pandawa Group di
Depok.
Citra negatif
koperasi tak hanya diwakili oleh KSP abal-abal. Dari jumlah koperasi yang
telah disebutkan di atas, mayoritas koperasi berjenis KSP. Bahkan, untuk
koperasi berjenis koperasi serba usaha (KSU), usaha yang dominan (untuk tidak
mengatakan satu-satunya) adalah juga simpan pinjam. Sementara koperasi sektor
riil terkesan sulit berkembang.
Dari sekian
banyak KSP yang masih aktif, tak banyak
yang beroperasi dengan berbasis nilai-nilai dan prinsip-prinsip
koperasi. Indikasinya paling tidak tampak pada kelembagaannya (kepengurusan,
rapat anggota, pengawasan) yang dikelola secara demokratis, usaha ekonomi
yang sebesar-besarnya untuk melayani anggotanya, serta kepedulian kepada
masyarakat luas.
Kualitas
koperasi seperti ini diungkapkan oleh
Sven Ake Book dalam bukunya, Cooperative Values in a Changing World
(diterjemahkan menjadi Nilai-nilai
Koperasi dalam Era Globalisasi, Djabaruddin Djohan, 1994). Intinya,
"Koperasi yang sehat adalah gabungan antara ekonomi yang kuat, demokrasi
yang hidup, dan kepeduliannya kepada masyarakat luas". Kebanyakan KSP,
termasuk yang besar-besar dengan aset dan omzet ratusan miliar hingga
triliunan rupiah, dalam kenyataannya lebih banyak melayani masyarakat luas
yang diklaim sebagai calon anggota ketimbang anggotanya sendiri.
Berbagai penyimpangan
Masih
berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan
Kegiatan Simpan Pinjam oleh Koperasi, yang antara lain menentukan "calon
anggota dalam waktu tiga bulan setelah melunasi simpanan pokok harus menjadi
anggota", diabaikan begitu saja tanpa ada sanksi apa pun.
Dalam
kepengurusan, sudah jamak KSP-KSP ini pada umumnya "dikuasai" orang
yang itu-itu saja tanpa rotasi atau kaderisasi selama puluhan tahun, bahkan
ada yang mengarah ke sistem "dinasti" meskipun secara formal
pemilihan pengurus dilakukan melalui rapat anggota. Berlanjutnya penyimpangan
yang terjadi dalam praktik-praktik KSP juga disebabkan lemahnya pengawasan
pemerintah.
Hal ini
berbeda dengan lembaga perbankan yang memiliki mekanisme pengawasan yang
jelas dan ketat dengan pembina dan
pengawas yang kompeten sehingga setiap bank secara teratur bisa
dinilai kesehatannya. Pengurus harus melalui uji kelayakan dan kepatutan,
sedangkan kondisi keuangan dinilai dengan rasio kecukupan modal (CAR) dan
rasio kredit bermasalah (NPL). Jika dilanggar dikenai sanksi sehingga
penyimpangan mudah dideteksi.
Sementara
dalam kegiatan KSP/USP, mekanisme seperti itu tak dimiliki. Longgarnya
pengawasan terhadap KSP/USP kian mendorong maraknya perilaku menyimpang.
Berita santer tentang jual beli badan hukum KSP sebagai wadah "dagang
uang" yang sangat menguntungkan, dalam konteks perkoperasian simpan
pinjam seperti ini, rasanya bukan isapan jempol. Demikian juga perilaku
menyimpang KSP-KSP yang dengan lihainya menawarkan daya tarik
"koperasinya" melalui bunga simpanan yang tinggi yang tak masuk
akal sehat dan telah banyak memakan korban karena uang digondol pengurus/manajemen.
Kontribusi
koperasi sebesar 23,21 persen terhadap PDB tentu menjadi berita
menggembirakan jika itu diperoleh dari koperasi-koperasi yang sehat, baik
kelembagaan maupun usahanya, dan bukan hanya angka rekayasa. Dengan kata
lain, penyimpangan-penyimpangan yang terjadi selama ini oleh pemerintah telah
diluruskan. Benarkah demikian? Inilah yang menjadi pertanyaan. Gerakan
koperasi sudah sangat lama mendambakan kinerja koperasi yang benar-benar bisa
dibanggakan, yang dapat membangun optimisme akan masa depan koperasi
Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar