Pesan
untuk Mendikbud Baru
Yohanes N Widiyanto ; PhD
Candidate/The Ohio State University,
Dosen Unika Widya Mandala Surabaya
|
KORAN
TEMPO, 31 Oktober 2014
Pemerintahan baru Jokowi-JK dihadapkan pada kendala fiskal untuk
memenuhi keinginan mereka dalam memenuhi janji-janji kampanye. Kendala ini
tak terlepas dari beberapa pos anggaran yang memang sudah diplot, termasuk
anggaran 20 persen APBN untuk pendidikan, sebagaimana amanat UUD 1945 hasil
amendemen.
Salah satu pos yang menyita anggaran besar adalah dana untuk
sertifikasi guru yang mencapai Rp 60,5 triliun dalam APBN 2014, sebuah
kenaikan fantastis 50 persen dari tahun sebelumnya dan diperkirakan terus
membengkak setiap tahunnya. Dana sertifikasi yang dibagikan kepada guru pada
setiap bulannya tersebut setara dengan perbaikan 302.500 sekolah atau ratusan
juta penyertaan orang miskin dalam BPJS atau ribuan kilometer jalan baru. Ini
salah satu contoh dari investasi begitu besar yang akan sia-sia jika tanpa
pemikiran matang dan kerja efektif dalam mengawalnya.
Alih-alih melihat fantastisnya anggaran pendidikan, Anies
Baswedan, sang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) yang baru,
menyatakan pendidikan bukanlah investasi (detik.com/Oktober
28) saat ditanya apa target kerja dalam 100 hari pertama. Walaupun ada
kebenaran dalam pernyataannya, hal ini justru berkebalikan dengan pemikiran
Andy Hargreaves dan Michael Fullan, dua pendidik terkemuka abad ini, yang
menulis buku Professional Capital
(2013). Mereka mengajak kita semua berpikir bak seorang ekonom bahwa
pendidikan adalah sebuah investasi.
Tapi, kedua pendidik ini mengingatkan bahwa ada dua arus besar
dalam menyikapi pendidikan sebagai investasi, yaitu: business capital (permodalan berbasis bisnis) dan professional capital (permodalan
berbasis profesionalisme).
Pada arus pemikiran pertama ini, para pembuat kebijakan hanya
melihat kepentingan jangka pendek dalam merumuskan kebijakan pendidikan:
sekadar mempekerjakan tenaga guru muda yang mau digaji kecil, menggunakan
teknologi sebanyak-banyaknya sehingga kehadiran guru bisa diminimalkan, dan
memberikan para guru rasa ketakutan akan kehilangan pekerjaannya, agar mereka
mau bekerja lebih keras.
Arus pemikiran kedua adalah permodalan berbasis profesionalisme
yang bertujuan membangun sistem yang mampu menghasilkan guru berkualitas dan
berkomitmen untuk profesinya. Dalam bahasa sehari-hari, tujuan yang ingin
dicapai adalah teaching like a pro,
alias bukan amatiran. Laiknya seorang CEO perusahaan terkemuka, Mendikbud
baru harus mampu mengajak pemangku kepentingan yang lain untuk berpikir
bagaimana investasi yang luar biasa besar ini menguntungkan dalam jangka
panjang dan mampu menggerakkan kembali investasi baru.
Lebih jauh, Hargreaves dan Fullan menyatakan professional capital yang menjadi alat
keberhasilan pendidikan terdiri atas tiga modal, yaitu human capital (modal manusia), social capital (modal sosial), dan decisional capital (modal keputusan). Modal manusia menunjuk pada
profesionalisme pribadi para guru itu sendiri yang sudah terurai dengan bagus
dalam UU Guru dan Dosen.
Akan tetapi, pemerintah sebagai regulator juga harus tegas dalam
menentukan kelayakan kompetensi guru. Pengalaman uji kompetensi awal (UKA),
di mana pemerintah membatalkan aturan bahwa UKA adalah syarat untuk
sertifikasi guru setelah melihat hasil yang mengecewakan, merupakan salah
satu contoh bahwa guru tidak dijaga mutu pribadinya.
Lebih daripada sekadar tugas pemerintah, pihak yang pertama-tama
harus menjaga marwah profesionalisme guru adalah para guru sendiri. Para guru
harus sadar bahwa mereka adalah satu-satunya pekerja sosial yang mendapat
keistimewaan tunjangan sertifikasi.
Modal kedua adalah modal
sosial yang menunjuk pada kualitas dan kuantitas interaksi serta hubungan
sosial antarguru dan segenap pemangku kepentingan pendidikan. Selama ini yang
menonjol dari perjuangan organisasi guru adalah memperjuangkan gaji dan
status sebagai pegawai negeri semata. Mereka menutup mata apakah para anggota
yang diperjuangkan itu memang layak menjadi guru profesional atau tidak.
Modal yang ketiga, decisional
capital, adalah kemampuan para guru untuk mampu membuat keputusan yang
prima dalam menjalankan profesinya dan tidak semata-mata berpedoman pada
tupoksi. Di sinilah para guru menyadari harkat-martabatnya sebagai pendidik
dan bukan sekadar pengajar.
Alangkah baiknya kalau dana sertifikasi yang mereka terima juga
disisihkan untuk membeli dan membaca buku-buku bagus yang akan meningkatkan
wawasan dalam mengajar. Lewat refleksi yang terus-menerus, para guru akan
semakin tajam dalam menyikapi permasalahan di kelas dan di masyarakat.
Program sertifikasi guru sebagai salah satu investasi pendidikan
yang telah menelan biaya sangat fantastis tidak dapat dibiarkan seakan-akan business goes as usual. Ini investasi
besar yang harus dikawal sejak sekarang dengan road map yang harus jelas. Wacana professional capital menunjukan pada kita semua bahwa investasi
bidang pendidikan menuntut kerja sama dan kerja keras dari semua pemangku
kepentingan di negeri ini. Selamat
bekerja, Mas Anies. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar