Muhammadiyah
dan Pemerintah
Fajar Riza Ul Haq ; Direktur Eksekutif Maarif Institute
|
KOMPAS,
22 November 2014
“ORANG Muhammadiyah itu orang merdeka. Terserah
mereka dalam berwarga negara.” Pernyataan itu terlontar dari Buya Syafii
Maarif menjawab kejaran pertanyaan para wartawan seusai menerima kunjungan
Joko Widodo (calon presiden kala itu) di kediamannya (Kompas, 3/5/2014). Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah itu menepis
anggapan bahwa pertemuan dirinya dengan Jokowi mengarah pada kontrak politik
antara capres PDI-P itu dan Muhammadiyah. Buya Syafii sangat percaya semangat
egalitarian dan kemerdekaan dalam budaya organisasi yang kini berusia 105
tahun ini merupakan prinsip yang membuatnya tak oleng meski diterpa badai
pelbagai zaman, mulai dari era pra-kemerdekaan hingga era Reformasi.
Perjalanan
pemilu presiden yang lalu memang membuktikan bahwa institusi Muhammadiyah
berhasil menjaga netralitas politiknya, terutama tecermin dari sikap politik
Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin sebagai simbol marwah organisasi.
Namun, dinamika pilpres dan tingkat akomodasi pemerintahan Joko Widodo-Jusuf
Kalla terhadap Muhammadiyah akan menentukan relasi kedua entitas ini dalam
perjalanan pemerintahan lima tahun mendatang. Ini poin penting yang menjadi
refleksi bersama saat warga Muhammadiyah merayakan hari lahirnya yang ke-102
pada 18 November 2014.
Muhammadiyah tanpa negara?
Ada
harapan besar bahwa relasi Muhammadiyah dan negara pada era JKW-JK bisa lebih
produktif dibandingkan era SBY-Boediono yang cenderung ”dingin”. Gejala
”demuhammadiyahisasi” pada era SBY di beberapa kementerian telah mengusik
rasa keadilan. Sikap kritis tokoh-tokoh kunci Muhammadiyah ditengarai salah
satu pemicunya. Yang paling menohok Gerakan Tokoh Lintas Agama Melawan
Kebohongan Publik pada 2011.
Era
JKW-JK menawarkan jendela baru. Terlebih JK dikenal sangat dekat dengan
Muhammadiyah, juga Jokowi yang rajin menemui tokoh Muhammadiyah jelang
pilpres. Agak personal, Ibu Negara Iriana pernah mengenyam pendidikan di
Universitas Muhammadiyah Surakarta. Namun, asa itu harus membentur realitas
politik yang tak bersahabat menyusul pengumuman Kabinet Kerja oleh Presiden
Jokowi. Tak bisa dimungkiri kekecewaan melanda warga Muhammadiyah pasca
pengumuman kabinet. Pangkalnya, tak ada kader inti Persyarikatan sesuai
aspirasi organisasi dalam formasi kabinet itu, khususnya pos kementerian
pendidikan.
Tak
pelak Buya Syafii menjadi salah satu pusat pertanyaan, aduan, bahkan protes
dari banyak warga Muhammadiyah yang merasa kecewa, tidak terkecuali para
pengurus pusat dan daerah. Keberadaan beberapa menteri yang dianggap memiliki
subkultur Muhammadiyah tidak cukup mampu menghilangkan kegusaran. Penjelasan
belakangan bahwa Nila Moeloek ditunjuk menjadi Menteri Kesehatan atas
rekomendasi PP Muhammadiyah dirasa masih menyisakan tanya.
Namun,
dalam pesan singkatnya, Buya Syafii menulis respons bijak, ”Tidak perlu bersikap reaktif, sekalipun
kita memerlukan negara, Muhammadiyah 33 tahun lebih tua”. Disusul pesan
berikutnya, ”Jika ukurannya hanya jatah
kursi tanpa mengaitkannya dengan kepentingan bangsa secara keseluruhan, maka
mencari sahabat yang benar menjadi masalah serius” (27/10).
Pendiri
Maarif Institute ini sangat meyakini tesis kesetaraan hubungan antara
Muhammadiyah dan negara dengan mengutamakan kepentingan bangsa. Sebuah
penegasan arah politik kebangsaan Muhammadiyah yang lebih otonom dari
perspektif politik kewargaan. Apakah Muhammadiyah akan kehilangan akal
sehatnya karena aspirasinya tidak diakomodasi JKW-JK? Jelas tidak!
Muhammadiyah sudah lama hadir sebelum republik ini lahir dan sudah sekian
lama membantu pemerintahan dalam menunaikan amanat konstitusinya.
Dinamika
hubungan
Secara
historis, hubungan Muhammadiyah dan negara sangat dinamis dipengaruhi
pelbagai faktor dan orientasi aktor-aktornya. Menurut penelitian Saud El
Hujaj (Lihat Tanwir Vol 1 No 1, Mei, 2003: 74-75), ada tiga model relasi
Muhammadiyah dan negara sepanjang sejarah perjalanan Muhammadiyah. Pertama,
model hubungan Muhammadiyah tidak mencampuri urusan politik. Pendekatan ini
diterapkan pada masa Pemerintah Hindia Belanda. Organisasi yang dibidani
Ahmad Dahlan ini tidak terseret pada pilihan gerakan kooperatif dan
nonkooperatif dalam memperjuangkan Indonesia merdeka. Model yang disebut
Emmerson sebagai sikap akomodatif ini berlaku pula pada periode pasca Orde
Baru.
Kedua,
model hubungan Muhammadiyah sebagai subordinasi negara. Model ini terlihat
jelas pada masa pendudukan Jepang yang sangat militeristik. Muhammadiyah
menempatkan aktor negara sebagai institusi pemaksa yang mendisiplinkan manusia
dengan cara-cara kekerasan. Model ini juga berlangsung pada akhir Orde Lama
dan dekade pertama Orde Baru. Kekuatan-kekuatan sosial-politik di luar negara
dipinggirkan dan hanya menjadi aksesori penguasa.
Ketiga
adalah model hubungan Muhammadiyah yang masuk ke ranah kenegaraan. Pola ini
terpotret mulai dari keterlibatan mendirikan partai politik (Masyumi),
membidani kelahiran partai politik (PAN), hingga berperan aktif dalam
menentukan arah perjalanan bangsa. Pada masa Reformasi, Muhammadiyah memainkan
peran-peran strategis nonparpol dalam koridor masyarakat sipil, terutama pada
periode Amien Rais, Buya Syafii, dan Din Syamsuddin. Pada awal tahun 2003,
secara jernih Buya Syafii menuturkan bahwa Amien yang telah berjasa
mengeluarkan Muhammadiyah dari subordinasi negara sehingga mampu setara
dengan negara.
Lalu
bagaimana kira-kira hubungan Muhammadiyah dan pemerintahan JKW-JK? Secara
umum polanya tak akan keluar dari model ketiga seperti diyakini Buya Syafii.
Tentu kepemimpinan baru Muhammadiyah pada muktamar tahun depan akan ikut
menentukan, tetapi kecil kemungkinan mereka nanti akan mengambil jalan
memunggungi negara kecuali ada peristiwa luar biasa.
Paling
tidak ada tiga kondisi yang akan ikut memengaruhi tensi hubungan. Pertama,
langkah awal pemerintahan baru telah meninggalkan jejak yang kurang positif
di mata warga Muhammadiyah. Tentu tidak adil menghakimi sebelum bekerja.
Muhammadiyah tak akan sungkan mengapresiasi jika pemerintah berprestasi,
tetapi juga tidak gentar untuk memberikan kritik, bahkan koreksi seperti
telah ditunjukkan selama ini.
Kedua,
Muhammadiyah tak mengenal budaya mentransaksikan dukungan dengan posisi
politik, tetapi akan siap mendistribusikan kader-kader terbaiknya jika
diminta. Ini fatsun yang masih dipegang teguh kalangan mainstream. Namun,
jika pemerintah menempatkan orang-orang bermasalah dan atas dasar transaksi
gelap politik di pos-pos strategis kenegaraan, itu sudah mengundang musuh
sendiri.
Ketiga,
Muhammadiyah concern dengan agenda-agenda politik publik, seperti kedaulatan
ekonomi, pemberantasan mafia (migas dan impor), pengembangan sumber daya
manusia, dan pelayanan publik yang terjangkau. Selama JKW-JK tidak bergeser
dari komitmen akan nilai-nilai kebajikan publik dan keberpihakan pada
orang-orang tidak mampu, mereka akan memenangkan hati warga Muhammadiyah.
Sebab, rasionalitas dan etos manusia merdeka merupakan karakter yang ditopang
oleh tradisi kelembagaan yang kuat.
Akhirnya, selamat milad ke-102 Muhammadiyah! Tetaplah bersinar seperti
matahari yang tak mengenal pilih kasih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar