Jaksa
Agung dan Penegakan Hukum
Zainal Arifin Mochtar ; Pengajar Ilmu Hukum dan Ketua PuKAT Korupsi
pada Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta
|
KOMPAS,
22 November 2014
PENUNJUKAN
HM Prasetyo menjadi jaksa agung oleh Presiden Joko Widodo memunculkan banyak
keraguan di kalangan masyarakat menyangkut prospek penegakan hukum pada era
pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Ketika nama tersebut diumumkan, tak
kurang dari delapan telepon kolega yang saya terima intinya mempertanyakan
tiga hal utama. Pertama, apakah penunjukan tersebut melanggar aturan hukum,
khususnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Kedua, apa
alasan sesungguhnya di balik penunjukan HM Prasetyo. Ketiga, bagaimana nasib
penegakan hukum oleh Kejaksaan Agung jika dikomandoi orang yang berlatar
belakang partai politik, seperti HM Prasetyo
Melanggar
UU Kejaksaan?
Jika
dibaca detail dalam UU Kejaksaan, syarat menjadi Jaksa Agung memang hampir
serupa dengan syarat untuk menjadi jaksa. Karena itu, ini hanya diatur secara
minimalis dalam Pasal 20 UU Kejaksaan yang menyatakan bahwa syarat menjadi
Jaksa Agung adalah, sebagaimana poin- poin khusus yang diatur dalam syarat
menjadi jaksa, warga negara Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, setia kepada Pancasila dan UUD 1945, berlatar belakang sarjana hukum,
sehat jasmani dan rohani, serta berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak
tercela.
Selebihnya,
posisi Jaksa Agung mutlak menjadi hak presiden untuk memilih siapa yang ingin
dia tunjuk untuk menakhodai ”Gedung Bundar”. Sepanjang tidak merangkap
jabatan-jabatan yang ditentukan di Pasal 21, sosok tersebut dapat dipilih
sebagai Jaksa Agung.
Menarik
untuk mencermati siapa HM Prasetyo. Adalah benar dia anggota DPR dari Partai
Nasdem, yang berarti ia pejabat negara atau penyelenggara negara yang diatur
menurut UU. Namun, apakah itu berarti ia melanggar Pasal 21 tersebut? Tentu
saja tidak! Begitu dia dipilih dan sebelum dilantik, ia sudah mengundurkan diri
sebagai anggota partai sehingga otomatis ia berhenti menjadi anggota DPR.
Artinya
jelas tak ada rangkap jabatan yang terjadi. Pelanggaran atas UU Kejaksaan
tidak terjadi. Menunjuk HM Prasetyo selaku Jaksa Agung adalah sah secara
hukum.
Walau
memang benar tidak ada aturan hukum yang dilanggar secara diametral oleh
JKW-JK, pertanyaan tentang alasan penunjukan itu tetap menjadi penting. Hal
ini mengingat karena sebelumnya terdapat sejumlah nama lain yang juga sempat
digadang-gadang menjadi Jaksa Agung dan beberapa di antaranya cukup diterima
publik.
Setidaknya
ada tiga pertanyaan yang bisa diajukan menyangkut HM Prasetyo. Pertama, apa
prestasi utama yang telah ditorehkan serta mendapatkan apresiasi publik
secara berarti. Rasanya sulit untuk bisa melacaknya dengan detail. Jejak dari
Kepala Kejaksaan Negeri Kotabumi (Lampung) hingga menjadi Jaksa Agung Muda
Tindak Pidana Umum di Kejaksaan Agung telah dilewati dan nyaris tak terendus
prestasi yang cukup menonjol. Demikian pula dalam hal pemikiran dan terobosan.
Hanya Presiden yang bisa menjelaskan alasan yang melatarbelakangi sehingga
akhirnya dia yang dipilih. Prestasi adalah perlambang penting dari
kapabilitas untuk menduduki jabatan Jaksa Agung.
Kedua,
rekam jejak. Rekam jejak adalah perlambang penting integritas. Integritas
adalah faktor yang tak bisa ditawar-tawar, sebagaimana ditegaskan dalam
persyaratan menjadi Jaksa Agung berdasarkan UU Kejaksaan, yaitu berwibawa,
jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela. Syarat ini syarat mutlak karena
tanpa ini, seorang Jaksa Agung dapat diberhentikan dari jabatannya.
Ketiga,
yang tidak kalah penting adalah mengapa memilih orang yang punya
akseptabilitas politik sangat tinggi. Hal yang boleh jadi, melebihi
akseptabilitas publiknya. Harus diingat, posisi Jaksa Agung adalah penegak
hukum. Konsep penegak hukum sesungguhnya adalah tidak boleh berpihak ke mana
pun, kecuali pada keadilan yang jadi esensi dari hukum itu sendiri.
Sebagai
sosok yang dekat dengan kepentingan politik, Jaksa Agung kali ini bukan tak
mungkin terjerat dengan kepentingan politik sehingga menghilangkan esensi
penegak hukum yang seharusnya berpihak semata-mata pada keadilan. Pada era
pemerintahan pasca Soeharto, tercatat hanya satu Jaksa Agung yang berlatar
partai politik kental.
Menyalakan
sistem peringatan dini
Pilihan
politik pada jabatan hukum ini menambah panjang keraguan terhadap tim
penegakan hukum pemerintahan JKW-JK. Dalam posisi sebagai pemerintah,
Presiden punya tiga posisi kunci yang berkaitan dengan penegakan hukum:
Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, dan Kapolri. Sayangnya, JKW-JK telah
memercayakan dua di antaranya kepada tokoh dengan latar belakang partai
politik yang sangat kental. Hal ini memunculkan kekhawatiran terhadap prospek
penegakan hukum pada masa pemerintahan JKW-JK.
Dalam
hal itulah, sistem peringatan dini sudah harus dinyalakan keras dan tegas
kepada tim hukum pada pemerintahan JKW-JK. Saatnya kita memberikan daftar
pekerjaan rumah yang dapat menjadi indikator penegakan hukum dan keadilan
pada era pemerintahan baru ini.
Kasus-kasus
yang sudah dijanjikan untuk diselesaikan pada masa pemerintahannya oleh
JKW-JK, misalnya pelanggaran HAM pada masa lalu, adalah salah satunya. Kita
juga perlu menagih penyelesaian kasus hukum yang ditengarai melibatkan
aktor-aktor politik. Selain itu, juga realisasi dari komitmen untuk segera
melakukan bersih-bersih kejaksaan mengingat belum banyaknya kemajuan yang
dibuat dalam reformasi internal kejaksaan selama ini.
Terakhir, salah satu yang paling penting adalah kemampuan kejaksaan
untuk segera berkolaborasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Jika
kejaksaan mau menguatkan pola kerja sama dengan KPK dan juga mau mengerjakan
dengan sungguh-sungguh beberapa pekerjaan rumah di atas, bisa jadi
kekhawatiran akan terjadi ”penegakan hukum rasa parpol” akan mereda. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar