Kamis, 02 Februari 2017

Menimbang Sistem Campuran

Menimbang Sistem Campuran
Indra Pahlevi  ;  Kepala Pusat Penelitian, Badan Keahlian DPR RI;  
Pemerhati Pemilu
                                                     KOMPAS, 01 Februari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Fase pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum di DPR telah memasuki tahapan pembahasan daftar inventarisasi masalah. Hal itu terjadi setelah pada Kamis (19/1), Rapat Pansus RUU Pemilu menyelesaikan agenda penyerahan daftar inventarisasi masalah fraksi-fraksi kepada pemerintah untuk selanjutnya secara intensif mulai dibahas 9 Februari 2017.

Dari rapat tersebut semakin jelas peta perbedaan antarfraksi atas berbagai isu krusial atas minimal lima isu, yakni sistem pemilu legislatif, ambang batas parlemen, ambang batas pencalonan presiden, alokasi kursi tiap daerah pemilihan, dan metode konversi suara ke kursi (Kompas, 20/1). Melihat kondisi demikian, tentu menjadi pertaruhan atas komitmen DPR dan pemerintah untuk menyelesaikan RUU Pemilu tepat waktu yang direncanakan akhir April 2017.

Atas berbagai isu krusial ini, isu sistem pemilu legislatif menjadi ”kunci” atas lancar tidaknya pembahasan RUU Pemilu. Sebab, jika sistem pemilu berubah, hal itu akan berdampak kepada isu lain, terutama isu alokasi kursi tiap daerah pemilihan dan isu metode konversi suara menjadi kursi, serta mungkin isu tentang pencalonan anggota legislatif oleh partai politik.

Tiga pilihan

Dari sikap fraksi yang ada di DPR, terdapat tiga pilihan yang mengemuka, selain usulan pemerintah yang menyebut dengan istilah ”sistem proporsional terbuka terbatas”. Fraksi PDI Perjuangan dan Fraksi Partai Golkar mengusulkan sistem proporsional (tertutup); Fraksi PPP, Fraksi Gerindra, Fraksi PKB, Fraksi PAN, Fraksi Nasdem, Fraksi Hanura, dan Fraksi PKS mengusulkan sistem proporsional terbuka (seperti Pemilu 2014 berdasarkan urutan suara terbanyak).

Sementara Fraksi Partai Demokrat mengusulkan sistem campuran meski dalam penjelasannya mengatakan agar pembahasan bisa cepat dengan tidak mengubah hal yang fundamental, terutama sistem pemilunya, yang berarti menghendaki sistem pemilu tidak berubah (sistem proporsional terbuka) (Kompas, 20/1).

Dengan peta tersebut, sesungguhnya pilihan atas sistem pemilu hanya terbatas kepada apakah menggunakan sistem proporsional terbuka (seperti Pemilu 2014 berdasarkan urutan suara terbanyak) atau menggunakan sistem proporsional tertutup. Dengan demikian, penggunaan sistem pemilu di Indonesia masih tetap berbasis sistem proporsional (proportional representation), meskipun pada dasarnya dalam dua pemilu terakhir (2009 dan 2014) sudah mencoba mencampurnya dengan sistem mayoritarian, yakni keterpilihan calon didasarkan pada urutan suara terbanyak di suatu daerah pemilihan.

Atas hal itu, kelihatannya fraksi-fraksi masih nyaman dengan penggunaan sistem proporsional meskipun dengan varian tertentu. Memang tidak ada sistem pemilu terbaik, yang ada adalah sistem yang kompatibel dengan kondisi dan kebutuhan suatu negara. Dalam perspektif Ramlan Surbakti (2014), setidaknya terdapat dua fungsi sistem pemilu.

Pertama, sebagai prosedur dan mekanisme konversi suara pemilih (votes) menjadi kursi (seats) anggota legislatif. Praktiknya adalah melalui penyelenggaraan seluruh tahapan pemilu.

Kedua, sebagai instrumen untuk membangun sistem politik demokrasi, yaitu melalui konsekuensi setiap unsur sistem pemilu terhadap berbagai aspek sistem politik demokrasi. Dengan demikian, pilihan atas satu sistem pemilu harus diarahkan untuk terselenggaranya kedua fungsi tersebut. Jika kita menilik sejarah pemilu di Indonesia yang selalu menggunakan sistem berbasis proportional representation, maka perlu direkayasa ulang sistem pemilu apa yang sesuai digunakan di Indonesia. Salah satunya dengan menggunakan sistem pemilu campuran. Apalagi, penggunaan sistem proporsional terbuka berdasarkan urutan suara terbanyak sejatinya menurut saya adalah menggabungkan sistem proporsional dengan sistem mayoritarian.

Secara konseptual, selain sistem pemilu proporsional dan sistem mayoritarian, juga terdapat sistem pemilu campuran yang basis utamaya adalah sistem proporsional digabung dengan sistem mayoritarian. Sistem ini yang merupakan varian dari sistem proporsional disebut sebagai mixed member proportional (MMP) seperti yang berlaku di Jerman, Selandia Baru, Bolivia, Italia, Venezuela, dan Hongaria (Andrew Reynold, 2001).

Varian ini mencoba menggabungkan ciri-ciri positif dari sistem pluralitas-mayoritas maupun sistem proporsional. Sebagian anggota parlemen dipilih melalui sistem mayoritarian (terutama varian first past the post atau sistem distrik berwakil tunggal), sebagian lagi dipilih berdasarkan sistem proporsional di mana keterpilihan calon ditentukan berdasarkan nomor urut yang disusun partai politik.

Selain MMP, terdapat juga sistem campuran yang disebut sistem paralel atau dikenal dengan sistem mixed member majoritarian (MMM) sebagaimana digagas Pusat Penelitian Politik LIPI. Prinsipnya hampir sama bahwa sistem proporsional tertutup digunakan bersama-sama dengan sistem mayoritarian. Usulan konkret LIPI kepada pansus menyebutkan bahwa sebanyak 392 kursi atau 70 persen dari 560 kursi DPR dipilih melalui sistem proporsional tertutup yang memberikan kewenangan kepada partai menentukan kader terbaiknya untuk menjadi calon terpilih.

Adapun alokasi kursi setiap daerah pemilihan ditentukan 3-6 kursi. Selanjutnya 168 kursi atau 30 persen dari 560 kursi DPR dipilih melalui sistem mayoritarian dengan daerah pemilihan (distrik) berwakil tunggal. Meski demikian, LIPI menyadari bahwa sistem ini perlu simulasi dan sosialisasi yang baik agar dapat memenuhi kebutuhan dan kepentingan semua pihak yang berkepentingan.

Menilik dari gambaran sistem campuran di atas, terlihat bahwa sistem tersebut dapat menjadi pilihan bagi Indonesia dengan mengingat sejarah, kondisi geopolitik, kondisi geografis, serta keberagaman yang ada. Selama ini basis sistem pemilu kita sudah menganut sistem proporsional. Dalam perkembangannya terutama sejak Pemilu 2009, kita sudah menerapkan sistem pemilu proporsional terbuka berdasarkan urutan suara terbanyak.

Dengan demikian, sistem pemilu Indonesia sesungguhnya berada antara sistem proporsional dan sistem mayoritarian. Kombinasi ini bukan tanpa alasan. Salah satu kritik utama sistem proporsional tertutup adalah rendahnya derajat keterwakilan (degree of representativeness) calon terpilih karena sepenuhnya ditentukan partai politik. Sementara sistem proporsional terbuka berdasarkan urutan suara terbanyak dinilai mampu menjembatani kesenjangan (gap) tersebut dan calon terpilih akan lebih memiliki kedekatan dengan konstituennya.

Memang masalah muncul kemudian terutama terkait tingginya praktik politik uang dan hanya calon populer serta memiliki modal besar saja yang akan terpilih. Kesemuanya memang akan sangat bergantung pada proses kaderisasi dan perekrutan yang dilakukan partai politik, termasuk bagaimana melakukan pendidikan dan sosialisasi politik kepada masyarakat tentang politik yang adiluhung.

Apa pun pilihannya, tentu masyarakat berharap wakil rakyat yang terpilih adalah wakil rakyat yang aspiratif dan lebih mementingkan rakyat Indonesia yang heterogen ini (kepentingan nasional). Sistem pemilu hanyalah alat (tools) untuk mencapai tujuan yang lebih besar, yakni terwujudnya lembaga perwakilan yang kredibel demi menuju Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera. Semoga. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar