Kepala
Daerah Jangan Terdakwa
Amzulian Rifai ; Ketua Ombudsman RI
|
KORAN
SINDO, 17
Februari 2017
Sebagaimana
juga publik terkait status terdakwa gubernur DKI yang tetap aktif, pendapat
para anggota Ombudsman RI juga terbelah. Itu sebabnya tidak dikeluarkan
pendapat atas nama lembaga setidaknya hingga pelaksanaan pilkada. Namun,
setelahnya setiap anggota dapat mengemukakan pemikirannya secara terbuka.
Ombudsman
mengundang menteri dalam negeri kemarin (Kamis, 16 Februari 2016), sehari
setelah hari pencoblosan untuk memberikan penjelasan terkait hal itu.
Mendagri beserta Dirjen OTDA responsif, hadir langsung. Bagaimanapun polemik
soal ini akhirnya gubernurlah sebagai eksekutornya.
Publik dibuat
bingung prokontra status terdakwa gubernur DKI Jakarta.
Para ahli
hukum terbelah dengan pandangannya sendiri. Apalagi dalam memandang suatu
kasus, seorang sarjana hukum sudah terlatih untuk berada pada posisi pro atau
kontra. Tidak sulit pula berargumentasi ”untuk berada di pihak sebelah mana
pun.” Kondisi itu malah memperkuat kebingungan soal argumentasi mana yang
benar.
Dalam soal
Ahok, kita menyaksikan dua kubu dengan pandangan berbeda. Tinggal publik
mereka-reka, ke mana arah si pemilik pendapat sekaligus menguji
konsistensinya.
Tulisan ini
tidak ada kaitan dengan hiruk-pikuk Pilgub DKI. Saya berpandangan justru
tidak terlalu pelik jika memandang sumber hukum tidak hanya formal berwujud
peraturan perundang-undangan yang hierarkis, tetapi juga bersifat materiil
bernilai filosofis dan sosiologis. Secara objektif, lepas dari berbagai
kepentingan pribadi, pengaruh pertemanan atau individual objective lain.
Saya
berpandangan dari aspek yuridis, sosiologis, dan filosofis sudah cukup alasan
untuk menonaktifkan sementara gubernur DKI Jakarta karena berstatus terdakwa
yang seharusnya sejak perkara didaftarkan.
Alasan Yuridis
UU No mor
23/2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur dengan jelas ”apa yang harus
dilakukan” terhadap kepala daerah berstatus terdakwa. Acuannya secara tegas
diatur dalam Pasal 83 ayat 1, 2, dan ayat 3. Pada ayat 1 berbunyi, ”Kepala
daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui
usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam
dengan pidana penjara paling singkat lima tahun, tindak pidana korupsi,
tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara,
dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Sedangkan ayat
2 menyatakan, ”Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang menjadi
terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberhentikan sementara
berdasarkan register perkara di pengadilan”. Selanjutnya pada ayat
3,”Pemberhentian sementara kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh presiden untuk
gubernur dan/atau wakil gubernur serta oleh menteri untuk bupati dan/atau
wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota”.
Di antara
perdebatan yang ada itu berputar ”kemana-mana”, tapi tidak fokus terhadap dua
hal yaitu status terdakwa dan jenis tindak pidananya. Jika fokusnya terhadap
dua hal ini, tidak perlu diperdebatkan soal ancaman pidana baik yang paling
singkat lima tahun ataupun setinggi-tingginya lima tahun.
Pertama status
terdakwa. Siapa saja kepala daerah yang berstatus terdakwa sebagaimana diatur
dalam Pasal 83 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah
harus diberhentikan sementara. Terhadap gubernur DKI Jakarta didakwakan
memenuhi unsur Pasal 156 dan 156a KUHP dengan ancaman hukuman penjara empat
tahun dan lima tahun.
Memang
perdebatannya soal ancaman pidana yang disebutkan dalam Pasal 83 (1) yang
paling singkat lima tahun. Pertanyaannya, apakah Pasal 156-b dengan ancaman
selama-lamanya lima tahun masuk kategori itu? Tentu dapat diperdebatkan.
Namun, logikanya, ancaman dalam Pasal 156-b tersebut masuk dalam irisan yang
dimaksud dalam Pasal 83 (1) tersebut. Lebih prinsip lagi karena selama ini
perdebatan hanya fokus pada soal angka lima tahun. Padahal, mestinya tengok
juga pada tindak pidananya. Apakah tindak pidana penistaan agama itu
kualifikasinya tidak masuk dalam Pasal 83 (1)? Tegasnya, apakah tindak pidana
penistaan agama dapat dikategorikan sebagai ”perbuatan lain yang dapat
memecah belah NKRI”? Tidak perlu ada lembaga khusus untuk menafsirkan makna
kalimat ”perbuatan lain yang dapat memecah belah NKRI.”
Banyak juga
yang tidak setuju jika komentar Ahok di Kepulauan Seribu tergolong penistaan
agama atau setidaknya tidak ada maksudnya untuk melakukan penistaan agama.
Namun, perdebatan itu mestinya reda karena materinya sudah ke persidangan.
Alasan Sosiologis
Apa yang
terjadi dengan masyarakat kita sekarang ini sudah cukup menjadi alasan untuk
memberlakukan Pasal 83 UU tentang Pemerintahan Daerah. Ada banyak kejadian di
tengah-tengah masyarakat yang dapat dijadikan pegangan untuk tidak ragu
memberlakukan status nonaktif sementara terhadap gubernur DKI. Di antara
memori publik yang paling kuat adalah pernyataan para petinggi negeri ini.
Dalam soal status aktif atau tidak aktif Gubernur Basuki, masyarakat
berpegangan dengan pernyataan mendagri sebagai penanggung jawab urusan ini.
Mengutip
media, mendagri secara tegas menyatakan pemberhentian sementara Ahok
dilakukan setelah masa cuti kampanyenya habis. Pernyataan seusai memberi
ceramah umum di Kampus IPDN, Jatinangor, Jumat(16/12/2016). Pernyataan tegas
juga disampaikan oleh Dirjen OTDA Kemendagri Soni Sumarsono. Ia menyatakan
bahwa pemerintah memastikan akan langsung memberhentikan sementara Ahok dari
kursi gubernur DKI Jakarta begitu terima surat keterangan terdakwa dari
pengadilan.
Diucapkan
Soni, ”Kita (Kemendagri) profesional, tidak pandang bulu. Jadi, kalau sudah
terdakwa, mustinya (Ahok) diberhentikan sementara.” Apa pun kondisi
sesungguhnya terhadap komentar mendagri dan dirjen OTDA ini, tetap saja
menjadi pegangan publik. Faktanya, ”janji” ini kemudian ditagih oleh publik,
seakan-akan harus dipenuhi. Kepada publik, pemerintah telah juga
mempertontonkan ketegasan. Sejumlah gubernur telah diberhentikan sementara
karena menyandang status terdakwa.
Di antaranya
Ratu Atut Chosiyah (gubernur Banten), Rachmat Yasin Bupati Bogor. Begitu juga
HM Suhadak, wakil wali Kota Probolinggo. Malah kepala daerah yang masih
berstatus tersangka, Bupati Ogan Ilir Nofiadi Mawardi, pada 30 November 2016
langsung dinonaktifkan. Jika alasannya karena OTT, dalam persidangan terbukti
tidak ada narkoba yang dituduhkan, dan mendagri dikalahkan. Walaupun dari
kasus ini, mendagri mengalami dilema, gerak cepat ternyata berbuah gugatan.
Problemnya, ”janji mendagri” jika tidak ditepati, memunculkan persepsi
inkonsistensi menerapkan aturan dalam kondisi yang sama. Jika ini yang
terjadi, pasti memengaruhi trust publik terhadap pemerintah.
Alasan Filosofis
Seorang kepala
daerah adalah panutan yang siap memimpin warganya. Bagaimana mungkin berbagai
titel ketokohan apabila seorang kepala daerah berstatus terdakwa.
Sesungguhnya ini juga mengapa perundang-undangan mensyaratkan ancaman pidana
lima tahun agar tidak mudah saja seorang kepala daerah berstatus terdakwa.
Secara filosofis, siapa pun di negeri ini tidak kebal hukum sehingga bebas
berbuat apa saja karena jabatannya.
Indonesia
dimaknai sebagai negara hukum yang berlaku bagi siapa saja. Pasal 27 (1) UUD
RI 1945 meletakkan dasar bahwa setiap orang sama di hadapan hukum (equality before the law). Umumnya
”orang hukum” terlatih untuk berputar-putar memainkan kata dan pasal.
Seringkali uraiannya bukan hanya logis, tetapi juga menarik. Akibatnya sangat
mungkin menjadikan pihak lain setuju atau malah meragukan argumentasinya
sendiri. Soal status nonaktif sementara gubernur DKI, tidak harus dengan fatwa
MA.
Repot juga MA
jika semua persoalan harus dimintakan fatwanya. Selain aspek yuridis,
mestinya aspek etika (birokrasi) menjadi rujukan pula. Bermoral atau
beretikakah jika kepala daerah berstatus terdakwa? Mestinya hal ini menjadi
renungan semuanya, jangan hanya berputar-putar tak berkesudahan soal angka
lima tahun saja. Sarjana hukum dilatih untuk siap berargumentasi di pihak
mana pun. Pada akhirnya nurani dan logika merekalah yang semestinya sebagai ultimate guidance, bukan kepentingan,
apalagi agenda pribadi.
Dalam
mengambil keputusan, apalagi atas persoalan rumit, tidak boleh atas dasar
alasan yuridis semata. Itu sebabnya hukum itu berasaskan kepastian, keadilan,
dan kemanfaatan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar