Industri
dan Pendidikan Vokasi
Budi Santosa ;
Guru Besar Teknik Industri ITS
|
KOMPAS, 16 Februari 2017
Seorang
pengusaha di Surabaya suatu hari datang ke kampus Institut Teknologi Sepuluh
Nopember (ITS) menawarkan kerja sama. Pengusaha yang juga seorang doktor
lulusan Jerman ini menawarkan fasilitas
untuk dosen dan mahasiswa yang ingin magang atau kerja praktik di
perusahaannya.
Dia bersedia
memberi fasilitas berupa studi kasus yang akan menjadi bidang garapan dosen
atau mahasiswa sekaligus honor memadai. Kemudian, ada sebuah politeknik
swasta di Purwakarta yang baru berumur tiga tahun yang punya kinerja luar
biasa. Politeknik ini hanya menerima mahasiswa dari kalangan miskin dan semua
diberi beasiswa. Direktur didatangkan dari sebuah universitas di London, para dosen berasal dari berbagai
universitas di Jepang, India dan Malaysia. Politeknik ini mempunyai teaching factory sebagai tempat praktik
mahasiswa dan produk hasil karya mahasiswanya diekspor ke luar negeri. Setiap
bulan politeknik ini memperoleh keuntungan tidak kurang Rp 300 juta dari
penjualan produk hasil karya mahasiswa tersebut.
Salah satu
terobosan dalam bidang pendidikan yang dicanangkan pemerintahan Joko Widodo
adalah meningkatkan pendidikan vokasi. Alasannya untuk memperbanyak tenaga
terampil siap bekerja. Arah pendidikan kita lebih tepat sasaran dengan
menggairahkan pendidikan vokasi ini. Hal ini
perlu didukung, baik oleh kalangan akademisi maupun kalangan industri.
Tanpa dukungan industri pendidikan vokasi hanya akan seperti pendidikan
akademik plus praktikum.
Baru-baru ini
Menteri Riset, Teknologi, dan Perguruan Tinggi Mohammad Nasir menyatakan
pemerintah mempermudah syarat pendirian pendidikan vokasi. Hal ini
dimaksudkan untuk mendorong munculnya
pendidikan vokasi di setiap daerah. Ini akan diikuti perubahan syarat-syarat pendidikan vokasi yang lebih
mudah dalam hal jumlah dosen. Jika
awalnya syarat mendirikan pendidikan vokasi harus memiliki enam dosen,
nantinya akan dikurangi, misalnya dengan tiga dosen akademisi. Namun, juga
akan ada syarat pendirian pendidikan vokasi harus menyertakan kerja sama
dengan industri. Syarat kedua ini adalah syarat mutlak agar pendidikan vokasi
dapat mencapai sasaran: menciptakan tenaga kerja dengan keterampilan kerja
yang memadai.
Nasir juga
menyatakan rendahnya indeks kemampuan bekerja pekerja kita. Sebelumnya pernah
dikeluhkan ketua Kadin tingkat kesiapan universitas dan kemampuan lulusan
kita masih kurang. Fresh graduate, lulusan baru, baik program S-1 ataupun D-3, memiliki kemampuan minim, jauh dari standar kebutuhan industri.
Kualitas lulusan perguruan tinggi (PT) kita tertinggal dari negara tetangga
seperti Singapura dan Malaysia.
Begitu juga
hasil tes Programme for the International Assessment of Adult Competencies
terbaru yang menempatkan Indonesia peringkat paling bawah di hampir semua
kompetensi. Survei terhadap tingkat kecakapan orang dewasa yang dilakukan
oleh OECD ini mengukur kompetensi yang diperlukan orang dewasa untuk bekerja
dan berkarya sebagai anggota masyarakat, seperti kemampuan literasi,
numerasi, dan kemampuan pemecahan masalah.
Pendidikan
vokasi adalah salah satu jawabannya.
Keberhasilan pendidikan vokasi tentu saja akan sangat ditentukan
adanya kerja sama dengan industri. Tanpa itu pendidikan vokasi akan banyak
membahas teori dan praktik di laboratorium tanpa pengalaman industri yang
memadai. Dalam pendidikan tinggi dan pendidikan vokasi kita khususnya,
pelibatan industri dalam proses pendidikan masih sangat rendah. Industri
lebih banyak mengambil dan menikmati hasil dari PT daripada ikut berinvestasi
selama proses pendidikan. Akibatnya, kemampuan bekerja lulusan PT kita rendah
karena pengalaman nyata untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan
(skill) yang relevan memang tidak didapatkan selama kuliah.
Kita bisa
becermin pada negara-negara industri maju terutama mengenai pendidikan vokasi
ini. Di Jerman, Belanda, atau AS,
pendidikan berkembang karena dapat dukungan besar dari industri.
Lulusan menjadi pandai bekerja karena selama masa pendidikan dapat pengalaman
bekerja di industri. Masa muda ketika kemampuan menyerap ilmu dalam taraf optimal sudah diperkenalkan
dengan dunia industri. Industri juga
berkepentingan mendukung sektor pendidikan karena dari sana mereka bisa
mendapatkan SDM yang terampil dan siap
mengembangkan industrinya. Di Indonesia mampukah kita mendapatkan kerja sama
mutualisme seperti ini?
Hubungan PT dan industri
Yang
diceritakan di awal tulisan ini termasuk kejadian langka sekaligus tipe ideal
hubungan industri dan pendidikan
tinggi serta model pengelolaan pendidikan vokasi. Seorang pengusaha swasta
menawarkan kerja sama seperti itu langka. Penyediaan fasilitas yang
ditawarkan bukan sekadar menyediakan tempat belajar, melainkan juga
menyiapkan kasus atau pekerjaan yang harus diselesaikan oleh dosen atau
mahasiswa yang terhubung dengan proyek-proyek yang sedang mereka laksanakan.
Tidak sekadar itu, perusahaan tersebut juga akan memberikan imbalan finansial
yang layak.
Dia melakukan
itu karena ingin melihat di Indonesia bisa berjalan kerja sama
pendidikan-industri seperti yang dia lihat di Jerman. Baru kali ini ada
sebuah perusahaan swasta yang belum
terlalu besar, tetapi punya visi bagus seperti ini. Kebanyakan yang terjadi
perusahaan besar atau BUMN yang melakukannya. Itu pun tak ada fasilitas yang
memadai atau hanya sekadar untuk memenuhi aspek tanggung jawab sosial
perusahaan (CSR).
Kadang
mahasiswa magang yang punya potensi bagus cuma dijadikan tukang ketik atau
tukang promosi di mal-mal. Sesuatu yang belum menyentuh makna inti
sesungguhnya dari suatu kerja sama. Atau bahkan ada yang tak peduli dengan
dunia pendidikan. Banyak yang hanya siap menyerap tenaga kerja tanpa mau
berinvestasi membantu mengembangkan kualitas SDM. Seakan ada anggapan
mahasiswa belum mampu bekerja secara profesional. Padahal, mahasiswa, setelah
mencapai semester tertentu, adalah
aset yang siap diberi tantangan dengan biaya lebih murah daripada tenaga
kerja reguler.
Perusahaan
Jerman atau Belanda memang merasa butuh dengan dunia pendidikan, terutama
vokasi. Bagi mereka tak ada yang lebih baik untuk mengisi kekosongan SDM
selain pendidikan tinggi vokasi. Tidak hanya di dalam hal politeknik,
anak-anak selevel SMA dalam bidang vokasi
sudah harus magang dan industri siap menampung. Industri semestinya
beruntung bisa mendapatkan tenaga-tenaga terampil dan bisa dibayar tidak semahal
karyawan reguler mereka.
Sulit diharapkan visi pendidikan dimiliki
pengusaha seperti contoh di awal tulisan ini.
Untuk itu, memang harus dilakukan langkah sistematis merangkul
industri untuk mau lebih berkiprah memajukan pendidikan tinggi terutama
vokasi. Awalnya adalah dengan menerapkan regulasi yang memaksa. Industri
dalam skala tertentu dipaksa menyediakan slot pekerjaan untuk diisi para
mahasiswa. Aturan ini akan memaksa mereka memfasilitasi para mahasiswa dalam
arti menyediakan tempat, kasus atau problem dan juga dukungan finansial. Ini bisa dijadikan ajang untuk membuktikan
bahwa merekrut tenaga mahasiswa bukanlah hal yang merugikan bagi industri.
Setelah proses berjalan, paksaan tadi diharapkan jadi kebutuhan. Di sanalah
pemerintah, dalam hal ini Kemristek Dikti dan Kementerian Perindustrian, bisa berperan dalam memajukan pendidikan
dan industri melalui regulasi. Aturan harus dikawal. Tidak sekadar
meluncurkan aturan lalu selesai tanpa pengawalan dan evaluasi.
PT juga perlu
aktif menjalin hubungan baik dengan industri dalam jangka panjang. Tanpa itu
industri akan enggan mendekat. Bagi mereka persoalannya adalah meraih untung
sebesar-besarnya. Tanggung jawab pendidikan urusan pemerintah dan lembaga
pendidikan. Riset atau pengajaran yang dikerjakan universitas atau politeknik
kadang tak sesuai yang mereka butuhkan. Hubungan baik lewat workshop,
pelatihan, atau mengundang kuliah tamu dari industri adalah hal-hal awal yang
bisa dilakukan lembaga pendidikan agar bisa dekat dengan industri.
Beberapa kendala
Pendidikan
vokasi juga perlu dukungan pemerintah daerah. Pemda perlu mendorong
berkembangnya pendidikan vokasi sesuai potensi daerah. Namun, sayang dalam
aturan perundangan sekarang belum diperbolehkan pemda menggunakan dananya
untuk mendukung pendidikan vokasi. Dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, pemda tak bisa membiayai PT. Inilah hal lain yang harus
diubah dari sisi aturan.
Di sisi lain,
masyarakat masih memandang pendidikan vokasi sebagai pendidikan level dua
setelah universitas. Mereka memandang yang bersekolah di vokasi tak akan
mampu menduduki jabatan penting di industri. Bahkan, banyak yang menempuh
pendidikan vokasi lalu melanjutkan ke jenjang akademik. Ini tentu perlu dapat
perhatian bahwa pendidikan vokasi bukan pendidikan kelas dua. Mereka yang berkarier
di industri lebih tepat masuk pendidikan vokasi. Banyak diperlukan tenaga
pelaksana dan sedikit untuk mengisi pemikir atau yang menjadi pimpinan.
Sesuai visi
ekonomi pemerintah yang menekankan program hilirisasi di mana diharapkan bisa
tercipta produk-produk bernilai tambah yang siap pakai, maka diperlukan
banyak tenaga terampil. Pendidikan vokasi dengan dukungan industi menjadi
penting. Orientasi pendidikan tinggi memang saatnya berubah untuk memperkuat
pendidikan vokasi ini. Tenaga-tenaga pendidiknya perlu mendapatkan pengalaman
industri baik melalui magang atau training sehingga materi ajar akan lebih
sesuai dengan kebutuhan dan mengikuti perkembangan industri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar