Refleksi
Maritim Akhir Tahun
Siswanto Rusdi ; Direktur The National Maritime Institute
(Namarin)
|
KORAN
SINDO, 31 Desember 2015
Hanya dalam hitungan beberapa hari ke depan kita akan
meninggalkan 2015 menuju 2016. Tidak terasa perjalanan sang waktu begitu
cepatnya. Bagi jagat kemaritiman nasional, pergantian tahun ini menandakan
genap satu tahun program poros maritim pemerintah Presiden Joko Widodo.
Ada beberapa catatan terkait visi itu yang ingin penulis sajikan
dalam tulisan ini sebagai refleksi maritim akhir tahun. Pertama, selama
setahun poros maritim lebih merupakan gagasan yang polos dan baru belakangan
dilengkapi. Ia ditawarkan oleh Dr Rizal Sukma kepada Presiden Joko Widodo
ketika pilpres 2014.
Duta besar RI untuk Inggris Raya itu menerjemahkannya ke dalam
bahasa Inggris dengan istilah global maritime fulcrum, tetapi yang lebih
banyak dipergunakan berbagai kalangan adalah istilah global maritime axis .
Adalah Presiden Jokowi yang melengkapi kepolosan konsep poros
maritim dalam Konferensi Tingkat Tinggi Asia Timur yang digelar di Kuala
Lumpur November lalu. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu menyebutkan, ada lima
unsur dalam poros maritim, yakni diplomasi maritim, pertahanan maritim,
sumber daya maritim, budaya maritim, dan infrastruktur maritim.
Dalam sebuah seminar yang diadakan oleh CSIS untuk memperingati
setahun poros maritim beberapa waktu lalu yang penulis hadiri, salah seorang
pembicara kunci Arif Havas Oegresono, Deputi Kedaulatan RI Kementerian
Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumberdaya, mengatakan bahwa lima unsur
poros maritim yang disampaikan oleh Jokowi telah berkembang menjadi sepuluh
unsur.
Dalam tulisannya tentang poros maritim di sebuah media nasional,
Rizal mengatakan bahwa gagasan poros maritim yang dilontarkan Jokowi lebih
utuh dibanding wacana yang ada sebelumnya karena ia memiliki tiga elemen
dasar: sebagai sebuah cita-cita, sebagai doktrin, sebagai bagian dari agenda
pembangunan nasional, dan cara/strategi untuk mewujudkannya.
Sebelum poros maritim muncul, Indonesia sebenarnya sudah
memiliki konsep atau wacana kemaritiman pada level nasional. Ada wawasan
Nusantara dan benua maritim untuk menyebut di antaranya. Wawasan Nusantara
merupakan implementasi dari deklarasi Juanda yang dikumandangkan oleh Perdana
Menteri Juanda pada 13 Desember 1957.
Mengusung gagasan bahwa perairan antarpulau merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari Republik Indonesia dan karenanya Indonesia berhak
penuh atasnya, gagasan Juanda merupakan ide yang amat brilian. Suara Juanda
adalah suara mare closum pada saat dunia kala itu beranggapan bahwa laut
teritori satu negara hanya sejauh 12 mil dari garis pantainya atau sejauh tembakan
meriam.
Lewat dari jarak itu sudah merupakan perairan internasional (mare liberum). Pada 1982 pemikiran
Juanda diterima oleh kalangan internasional dan diundangkan dalam United Nations Convention on the Law of
the Sea. Silakan pembaca simpulkan apakah deklarasi Juanda itu tergolong
doktrin atau cita-cita atau bukan.
Sejak kemunculannya hingga kini semua orang membicarakan poros
maritim; ia menjadi topik utama dalam diskursus kemaritiman nasional. Sudah
ratusan artikel, seminar dan FGD diadakan untuk membahasnya. Dan, sudah
puluhan program yang dijalankan oleh kementerian dan lembaga dengan mencatut
(baca: atas nama) poros maritim.
Namun, tidak demikian halnya dengan deklarasi Juanda dan dengan
sendirinya wawasan Nusantara yang terdapat di dalamnya. Ia sepertinya sepi
dari perhatian publik luas sejak awal keberadaannya, hanya bergaung di
ruang-ruang kecil komunitas akademisi, peneliti, dan penggiat kemaritiman.
Hari Nusantaralah yang mengangkatnya agar tidak tenggelam ke
palung samudera sejarah. Kedua, poros maritim tidak memiliki direktif yang
jelas terkait pertanyaan dimulai dari mana upaya untuk mewujudkannya. Memang
sejak dicanangkan, poros maritim telah dieksekusi oleh berbagai K/L.
Hasilnya? Tumpang-tindih program tidak terhindarkan.
Dengan pelengkap yang ditambahkan oleh Presiden Jokowi, malah
justru membuatnya makin melebar. Menurut informasi dari Kementerian
Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumberdaya, kini tengah disusun dua buku
sebagai pedoman bagi seluruh pemangku kepentingan. Buku pertama akan berisi
aspekaspek politis seperti geostrategi, geopolitik dan lain sebagainya, dan
akan disusun oleh kementerian koordinator tersebut.
Sedangkan buku dua, memuat aspek-aspek teknis, akan disiapkan
oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Tahun 2014, ketika poros maritim
baru seumur jagung, kementerian itu menggelar beberapa FGD untuk menyamakan
persepsi, tepatnya mencari definisi, apa itu poros maritim (dan juga tol
laut).
Penulis tidak mendengar hingga kini definisi yang tepat mengenai
poros maritim dan kabarnya FGD yang diadakan gagal menemukan definisi yang
diinginkan. Apakah dengan akan diterbitkannya kedua buku yang disebut di muka
masalah definisi sudah tuntas dibahas? Semoga saja.
Persoalan definisi dan sejumlah persoalan lain yang melingkupi
poros maritim berawal dari penggunaan istilah yang sangat out of the box
sebagai salah satu ciri utama kepemimpinan Presiden Jokowi. Berpikir dengan
gaya seperti itu tidak salah, hanya saja dalam dunia yang makin menyempit
seperti saat ini penggunaan istilah yang tidak baku bisa kontraproduktif.
Dan, bidang maritim yang sejak awal sudah sangat mengglobal
sudah memiliki berbagai istilah baku untuk seluruh aktivitasnya. Untuk
menggambarkan sebuah pelabuhan atau negara (gabungan pelabuhan dan negara ini
menjadi istilah port state) yang
menjadi rujukan pelaku bisnis kemaritiman mondial misalnya, digunakan istilah
international maritime center
dengan elemen utamanya adalah hub and
spoke.
Ini berarti setiap IMC adalah hub bagi daerah sekitarnya dan
daerah sekitarnya adalah spoke. Yang menarik dari istilah IMC itu adalah kata
port atau pelabuhan. Dalam bahasa lain, jika sebuah negara ingin menjadi hub
(poros maritim walaupun tidak ekuivalen), maka yang pertama menjadi titik
pangkalnya adalah pelabuhan. Bukan yang lainnya.
Pelabuhannya haruslah dibuat efisien dan efektif. Seluruh elemen
nasionalnya mesti mendukung keberadaan pelabuhan itu dengan segenap upaya dan
mengenyampingkan berbagai kendala yang dapat mengganggunya. Bagaimana dengan
pelabuhan kita? Dalam setahun terakhir pelabuhan nasional telah berbenah diri
dengan target dapat menyaingi pelabuhan-pelabuhan utama di kawasan.
Fasilitas baru dengan ukuran masif untuk negeri kita tengah
dibangun. Sayang, upaya ini bisa jadi akan terganjal karena gerak politik
oleh parlemen yang cenderung berlawanan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar