Polisi Juga Punya Hak Asasi
Reza Indragiri Amriel ; Penulis
Buku Polisi [Bukan] Manusia;
Alumnus Psikologi Forensik The
University of Melbourne
|
REPUBLIKA, 25 Januari
2016
Dalam satu bulan ini
saja ada sekian banyak peristiwa mengenaskan yang dialami personel Polri.
Polisi menjadi korban serangan teroris. Sebelumnya, polisi dihajar oknum
tentara. Juga, polisi ditembaki gerombolan pengacau di Papua. Yang mutakhir,
polisi dianiaya sindikat narkoba.
Polisi bertugas
melindungi hak asasi manusia (HAM) warga sipil. Tapi publik kerap abai bahwa
polisi, baik selaku manusia pribadi maupun individu profesi, juga mempunyai
HAM yang harus dijamin pemenuhannya. Diasumsikan, faktor mendasar di balik
pengabaian HAM polisi itu adalah anggapan polisi sebagai makhluk yang
melampaui manusia. Tidak hanya membuat polisi tidak mungkin jatuh sebagai
korban, kondisi omnipotent tersebut
justru memosisikan mereka sebagai satu-satunya pihak yang selalu disalahkaan
ketika terjadi pergesekan antara polisi dan masyarakat.
Anggapan seperti itu
pula yang boleh jadi membuat masyarakat dan media lebih peduli pada data
tentang jumlah dan jenis pelanggaran yang dilakukan personel Polri. Kehirauan
setara tidak diberikan pada jumlah dan penyebab cedera maupun tewasnya
anggota Korps Tribrata. Padahal, tidak tertutup kemungkinan kemalangan yang
diderita personel Polri tersebut juga disebabkan oleh tindakan-tindakan yang
dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap HAM mereka.
Terkuncinya persepsi
bahwa HAM semata-mata merupakan milik warga sipil bisa dipastikan menyebabkan
masyarakat sulit memikirkan nasib personel polisi yang menjadi korban dalam
insiden-insiden kritis. Efek lanjutannya, manakala HAM polisi dinihilkan,
tidak begitu manusiawi untuk menuntut polisi harus tetap mampu menjamin
terlindunginya HAM masyarakat sipil.
Ketika masyarakat
relatif tidak memiliki wacana mengenai HAM polisi, institusi kepolisian
sendiri sepatutnya memiliki keinsafan yang lebih baik dalam rangka memastikan
bahwa HAM polisi bukanlah isu masing-masing pribadi personel, melainkan
masalah yang dikelola secara terorganisasi (terlembaga).
Indikator bagi HAM
polisi yang terkelola oleh organisasi kepolisian adalah, antara lain,
tersedianya berbagai pranata tertulis yang mengatur tindak-tanduk personel
polisi. Prosedur tetap (protap) penanganan gerombolan pengacau keamanan,
misalnya, dapat dipandang telah peka HAM polisi apabila di dalamnya juga
mencantumkan gambaran definitif tentang cakupan hak personel dalam situasi
kritis dan mekanisme yang dapat personel tempuh ketika HAM mereka tercederai.
Jadi, protap peka HAM polisi tersebut tidak berhenti pada apa yang harus
polisi lakukan terhadap pengacau, tetapi juga berlanjut dengan uraian tentang
bagaimana sistem perlindungan HAM polisi bisa difungsikan. Salah satu bentuk
layanan utama bagi perlindungan HAM polisi tersebut adalah jaminan
penyelenggaraan investigasi atas situasi yang memviktimisasi polisi.
Selain masyarakat
ataupun pihak-pihak eksternal institusi kepolisian lainnya, organisasi
kepolisian sendiri juga bisa menjadi pelaku pelanggaran HAM terhadap
personelnya, baik yang dilakukan secara individual (ulah atasan terhadap
bawahan) maupun secara institusional yakni ketika organisasi memang tidak
berprakarsa membangun piranti-piranti perlindungan HAM polisi.
Bentuk-bentuk
pelanggaran HAM polisi secara internal tersebut biasanya bersangkut paut
dengan pengabaian terhadap hak-hak profesional personel. European Platform for Policing and Human Rights memuat beberapa
perinciannya: hak hidup, hak atas pengadilan yang adil, hak privasi,
kebebasan berekspresi, kebebasan berhimpun dan berkelompok, bebas dari
diskriminasi, hak atas lingkungan kerja yang adil dan mengembangkan, serta
jaminan keamanan sosial.
Ketika kasus
pelanggaran terhadap HAM polisi oleh pihak eksternal sering luput dari
perhatian publik, pelanggaran terhadap HAM personel yang berlangsung di
lingkungan internal kepolisian berpeluang lebih tinggi lagi terlewatkan dari
cermatan khalayak. Konsekuensinya, lebih pelik pula bagi polisi-korban untuk
memulihkan HAM mereka.
Pada sisi itulah
timbul kerisauan. Adakah kemungkinan bahwa 335 anggota Polri yang dipecat
pada tahun 2015 (meningkat hampir tiga kali lipat dibandingkan 119 polisi
yang dipecat pada tahun sebelumnya) hingga beberapa segi juga diakibatkan
oleh pelanggaran HAM yang mereka alami?
Pelanggaran terhadap
HAM personel, baik oleh pihak internal maupun eksternal, membuat
polisi-polisi tersebut mengalami demoralisasi yang kemudian termanifestasikan
ke dalam bentuk perilaku-perilaku tak pantas. Tragisnya, sasaran paling empuk
penyaluran demoralisasi itu justru pihak yang semestinya polisi ayomi, yaitu masyarakat. Bentuknya
mulai dari mutu pelayanan yang buruk hingga tindak kriminalitas yang memangsa
masyarakat.
Kendati HAM polisi
sama signifikannya dengan HAM warga sipil, namun tujuan perlindungan HAM
keduanya berbeda satu sama lain. Perlindungan terhadap HAM masyarakat sipil
berkutat pada bagaimana agar HAM mereka terjaga, terlindungi, termasuk oleh
institusi kepolisian. Sementara, perlindungan terhadap HAM polisi ditujukan
agar HAM mereka bisa terjaga, terlindungi sehingga para awak Korps Tribrata
tersebut pada gilirannya juga mampu menjaga dan melindungi HAM masyarakat
sipil. Allahu a'lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar